tirto.id - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi membenarkan bila biaya pengiriman logistik dengan transportasi laut di Indonesia masih tergolong mahal. Pernyataan Budi Karya ini sebagai respons atas paparan Gubernur Jawa Timur Soekarwo saat “Talkshow Outlook Economy 2019.”
Soekarwo dalam acara yang digelar pada 8 Januari 2019 itu mengatakan biaya pengiriman logistik antar-daerah sangat mahal. Ia mencontohkan dari Makassar ke Surabaya mencapai Rp20 juta per kontainer 20 feet. Padahal dari Surabaya ke Singapura dan Jepang masing-masing hanya Rp2,8 juta dan Rp4,2 juta per kontainer 20 feet.
Keluhan Soekarwo itu ada benarnya. Data Bank Dunia yang dikutip Institute For Development of Economics and Finance (Indef), misalnya, menyebut biaya pengiriman dari Jakarta ke Singapura, Hong Kong, Bangkok, dan Shanghai mencapai 150-200 dolar AS. Sementara dari Jakarta ke Padang, Medan, Banjarmasin, dan Makassar berkisar antara 1.400 hingga 1.700 dolar AS.
Budi Karya menyebut mahalnya biaya logistik itu disebabkan karena belum efisiennya layanan pelabuhan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah pengiriman logistik antar-pulau yang masih menggunakan pelayaran langsung kapal kecil.
Budi Karya menilai dwelling time juga turut berkontribusi pada mahalnya biaya logistik ini.
“Saya berteirima kasih [kritik Soekarwo]. Kami improve lah. Ini karena efisiensinya belum maksimal,” kata Budi Karya, Selasa lalu.
Karena itu, kata Budi Karya, pemerintah akan membenahi pelabuhan di Jawa, terutama Tanjung Priok. Harapannya, kata Budi Karya, Kemenhub akan menjadikan pelabuhan itu sebagai magnet bagi ekspor. Caranya, pengiriman logistik dipusatkan di Tanjung Priok.
“Jadi mari lah semua pemerintah daerah yang ingin ekspor. Kami kumpulin di Jakarta,” kata Budi Karya menambahkan.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita membenarkan fakta mahalnya biaya logistik antarpulau di Indonesia. Penyebabnya, kata Zaldy, adalah timpangnya kiriman dari Jawa ke Indonesia Timur dengan saat pengiriman dilakukan dari arah sebaliknya.
Asal muasalnya, kata Zaldy, kawasan Indonesia Timur dinilai lebih banyak menghasilkan bahan mentah, seperti hasil bumi sehingga pengiriman tidak bisa dilakukan dengan kontainer.
Dalam hal ini, kata Zaldy, pemerintah perlu membenahi hilirisasi di daerah-daerah agar hasil ekspornya berupa produk jadi.
“[Selama ini] volume kontainer dari Jawa ke Indonesia Timur ada isinya. Kalau sebaliknya malah kosong sehingga biayanya mahal,” kata Zaldy saat dihubungi reporterTirto.
Faktor lainnya, Zaldy menyoroti kebijakan pemerintah yang cenderung lebih mementingkan subsidi pada pengadaan kapal bagi tol laut. Padahal, kata Zaldy, sebaiknya uang itu diarahkan ke pembangunan pelabuhan di wilayah timur.
“Harusnya subsidi diberikan untuk membangun pelabuhan di [Indonesia] Timur. Jadi sangat jauh dari janji pemerintah. Kebijakannya tidak konsisten dalam membangun sektor maritim Indonesia,” kata Zaldy.
Ekonom dari Indef, Bhima Yudistira menilai kondisi itu mencerminkan visi maritim Presiden Joko Widodo dalam logistik laut belum tercapai. Bhima mengatakan biaya logistik Indonesia mencapai 24 persen dari PDB. Padahal jika ingin bersaing, kata dia, idealnya nilai itu berada di angka 15 persen dari PDB.
Bhima mengatakan keadaan itu menunjukkan pemerintah lebih mementingkan pengembangan infrastruktur darat ketimbang laut.
Padahal, kata Bhima, infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih banyak tertinggal dibanding di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) negara lainnya. Terutama bagi pelabuhan yang mampu melayani deep sea port untuk kapal kargo.
Data searates menunjukkan Indonesia hanya memiliki 15 terminal kargo. Rinciannya di Jawa terdapat 4 yang berlokasi di Cilegon (Banten), Tanjung Priok (Jakarta), Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur).
Sementara di Sumatera terdapat 7 terminal kargo yang terdiri dari Belawan (Sumatera Utara), Perawang (Riau), Panjang (Lampung), Padang (Sumatra Barat), Jambi, dan dua di Palembang (Sumatra Selatan).
Di Kalimantan hanya terdapat 2 terdiri dari Pontianak (Kalimantan Barat) dan Samarinda (Kalimantan Timur). Di Sulawesi hanya tercatat 2 yang terdiri dari Bitung (Sulawesi Utara) dan Makassar (Sulawesi Selatan).
Belum lagi, kata Bhima, sebagian besar infrastruktur yang dibangun masih terlampau terpaku pada pergerakan orang dibanding barang. Ia mencontohkan tarif tol Trans Jawa bagi kendaraan barang yang lebih mahal dibanding kendaraan pribadi.
“Daripada BUMN dapat penugasan jalan tol mendingan alokasi anggarannya untuk pelabuhan laut,” kata Bhima.
Selain itu, Bhima juga menyoroti masih diperlukannya pembenahan bea cukai yang dinilai masih memakan waktu yang tergolong lama dan belum bebas dari pungutan liar.
Menurut Bhima, Presiden Jokowi perlu mengambil langkah tegas, misalnya memastikan barang sudah harus keluar dari pelabuhan dalam 2 hari.
Jika hal itu tidak kunjung dibenahi, Bhima khawatir bila mahalnya biaya logistik akan membuat investor enggan masuk ke Indonesia.
“Kalau biaya logistiknya terlalu tinggi, investor bisa relokasi pabriknya ke Vietnam atau Thailand yang lebih murah biaya logistiknya,” kata Bhima.
Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengakui bila sejumlah angkutan logistik di Indonesia masih ada yang berbiaya mahal.
Namun, Luhut mengklaim saat ini keadaan itu sudah berangsur membaik.
Luhut menilai mahalnya biaya logistik itu disebabkan karena masih ada penyesuaian terhadap infrastruktur yang baru dibangun. Ia cukup optimistis bila layanan yang disediakan infrastruktur itu akan berangsur tertata dengan baik.
“Saya kira akhir tahun ini [hasil pembangunan infrastruktur] akan terlihat bisa membuat cost-nya lebih murah. Bisa 10, 30 atau 50 persen turunnya. Kami masih belum tahu ya,” kata Luhut kepada wartawan di Gedung Kemenko Kemaritiman.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz