Menuju konten utama

Ketika Pengungsi Rohingya Dicurigai

Memahami perbedaan pengungsi dan pencari suaka.

Ketika Pengungsi Rohingya Dicurigai
Pengungsi Rohingya berjalan melalui air setelah menyebrangi perbatasan menggunakan perahu di Sungai Naf, Teknaf, Bangladesh, Kamis (7/9/2017). ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

tirto.id - Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, menjadi perhatian publik saat rekaman dirinya yang tengah diwawancara mengenai pengungsi Rohingya di provinsi itu beredar.

Ia bilang tidak suka dengan protes yang dilakukan oleh pengungsi Rohingya, yang dianggapnya mengganggu ketertiban publik. Banyak warganet menganggap Syahrul Yasin Limpo keterlaluan karena dianggap tidak sensitif dengan kondisi Rohingya saat ini.

Rekaman itu merupakan rekaman beberapa bulan lalu. Menurut sang gubernur, konteks wawancara itu dicerabut. Ia mengaku tidak sedang berkomentar mengenai kondisi pengungsi Rohingya saat ini. Saat itu, gubernur mengomentari adanya aksi unjuk rasa para pengungsi yang hampir ricuh dengan pihak kepolisian. Ia menilai protes warga Rohingya itu keterlaluan.

“Sebelumnya saya mendapat laporan jika aksi unjuk rasa mereka (para pengungsi) hampir ricuh dengan aparat kepolisian yang mengawal aksi. Sehingga saat saya ditanya soal para pengungsi tersebut, spontan saja saya jawab kalau saya tidak senang dengan mereka, sebab kita sudah fasilitasi dengan fasilitas terbaik, kok malah tidak mau ikut aturan kita? Jadi maksud saya, ngapain mereka datang ke Sulsel kalau hanya mau bikin rusuh. Kekhawatiran saya, jangan sampai mereka memicu konflik juga di sini,” kata Syahrul, seperti dikutip JPNN.

Di luar pernyataan kontroversial Gubernur Syahrul sebagai pejabat publik, pemerintah Indonesia sendiri telah menunjukkan komitmen kemanusiaan terhadap para pengungsi Rohingya. Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Bangladesh Mahood Ali untuk membahas rencana bantuan kemanusiaan Indonesia untuk para pengungsi dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, yang berada di Bangladesh.

Pertemuan ini membahas upaya mengatasi masalah kemanusiaan secara menyeluruh dan komprehensif, dari hulu di Myanmar sampai ke hilir di Bangladesh, negara yang dituju para pengungsi Rohingya.

Menlu RI sebelumnya juga telah berkomunikasi dengan Menlu Bangladesh dan menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia siap membantu Pemerintah Bangladesh dalam menangani masalah pengungsi.

"Untuk kesekian kali, saya sudah berbicara dengan Menlu Bangladesh. Saya sudah berbicara mengenai masalah bantuan yang dapat kami berikan ke Pemerintah Bangladesh untuk menangani masalah pengungsi," kata Menlu Retno seperti dikutip Antara.

Baca juga:

Retno Marsudi Antar Bantuan Kemanusiaan Rohingya ke Myanmar

Membandingkan Respons Indonesia dan Negara Lain dalam Krisis Rohingya

Meski pemerintah sudah menunjukkan kepedulian terhadap Rohingya, permasalahan pengungsi tidak sesederhana memberikan penampungan tempat tinggal, bantuan makanan, dan jaminan keamanan. Di Eropa, kecurigaan dan xenofobia bahkan membuat pengungsi dibenci.

Dari survei Pew Research pada 2016, diketahui beberapa negara berpandangan negatif terhadap muslim di Eropa, antara lain Hungaria, Italia, Polandia, Yunani, dan Spanyol. Sementara itu, negara yang berpandangan positif adalah Inggris Raya, Swedia, Perancis, Jerman, dan Belanda.

Uni Eropa pada 2010 menyebut kawasannya adalah rumah dari 13 juta imigran muslim. Orang-orang Eropa memiliki ketakutan para pengungsi ini mengancam lingkungan mereka, mengambil pekerjaan mereka, dan membuat negara menjadi terbebani.

Sentimen ini kemudian dibakar dengan kebencian rasial, juga Islamofobia. Hal ini diperparah dengan tindakan perilaku individual pencari suaka atau pengungsi yang dianggap bertentangan dengan hukum dan nilai yang dianut negara lain.

Baca juga: Eropa Setelah Teror Brussels

Di Cologne, Jerman, pada malam tahun baru 2015 dilaporkan pelecehan seksual massal oleh sekumpulan orang. Dari 31 pelaku, 18 di antaranya adalah pencari suaka. Meski di antara pelaku ada dua orang Jerman, tetapi banyak warga Jerman menganggap bahwa "pengungsi muslim" yang melakukannya.

Pada tahun yang sama, empat pengungsi asal etnis Rohingya, Myanmar, dan Bangladesh, yang ditampung di kamp pengungsian Bayuen, Kabupaten Aceh Timur, ditangkap petugas Satuan Polisi Pamong Praja karena kedapatan mengisap ganja.

Pada tahun sama bulan September empat pengungsi perempuan Rohingya mengaku diperkosa. Setelah penyelidikan dilakukan terhadap empat pengungsi tersebut, ternyata info itu ketahuan bohong. Hal ini berdasarkan hasil visum dari RSU Cut Meutia. Ini yang lantas melahirkan kecurigaan dan rasa marah terhadap pengungsi yang dianggap tidak tahu terima kasih.

Padahal, Konvensi dan Protokol Status Pengungsi yang dirilis Badan PBB urusan Pengungsi (UNHCR) telah menggariskan kewajiban pengungsi. Ia tercantum dalam Pasal 2: setiap pengungsi yang datang ke negara lain wajib mematuhi hukum dan regulasi yang ada untuk menjaga ketertiban umum.

Maka, pemahaman diperlukan, baik dari pengungsi maupun negara untuk melakukan dialog. Banyak pengungsi yang datang ke negara baru sama sekali asing dengan hukum serta adat istiadat di mana mereka tinggal. Ketidaktahuan pengungsi ini bisa menyulut gesekan antara pengungsi dan penduduk atau pemerintah daerah setempat.

Pengungsi, Pencari Suaka, dan Pekerja Migran

Kadang-kadang, konflik juga dipicu lantaran orang-orang yang terlibat tak paham ihwal pengungsi. Kelompok ini kerap dikelirukan sebagai pencari suka dan pekerja migran. Tentu kategori terakhir bisa menyulut masalah sosial. Alih-alih diberi belas kasih, pengungsi yang dipersepsi sebagai "pekerja migran" akan mudah dianggap sebagai saingan warga saat mencari kerja.

Pengungsi mendapat perhatian luas sejak Perang Dunia II saat negara-negara anggota PBB mendorong lahirnya apa yang sekarang dikenal sebagai Konvensi PBB Tahun 1951 tentang Status Pengungsi. Semula konvensi ini diterapkan untuk mereka yang mengungsi di Eropa sebelum tahun 1951.

Pada 1967, sebuah protokol untuk konvensi ini telah menghapuskan pembatasan waktu dan tempat yang dirumuskan sebelumnya. Konvensi ini merumuskan pengungsi sebagai orang yang punya ketakutan beralasan atas adanya penganiayaan berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik. Mereka berada di luar negara asalnya, dan salah satunya karena rasa takut tersebut, tidak bersedia menerima perlindungan dari negaranya.

Definisi pengungsi kemudian berkembang seiring zaman. Pengungsi HAM atau human rights refugee, misalnya, adalah mereka yang terpaksa meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena ada ketakutan dipersekusi akibat ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik.

Ada pula humanitarian refugees: mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman karena tidak aman oleh konflik (bersenjata) di negara mereka. Mereka, pada umumnya, dianggap sebagai "alien" di negara tempat mereka mengungsi. Konvensi Jenewa 1949 menyebut orang-orang ini sebagai “protected persons.”

Untuk menentukan status pengungsi, ada kriteria-kriteria yang dibuat dan disusun oleh UNHCR dan diadopsi oleh negara-negara yang meratifikasinya. Kriteria ini termasuk bahwa orang/kelompok tersebut mengalami persekusi di negara asalnya, sebagaimana yang dialami oleh etnis Rohingya; atau orang/kelompok tersebut lari dari perang yang berkecamuk di negara asalnya, seperti orang Suriah dan Irak.

Baca juga: Pengungsi asal Suriah Rindu Kampung Halaman Meski Hancur

Infografik Berakit-rakit ke hulu mencari perlindungan

Pada praktiknya, tidak semua orang bisa disebut pengungsi. Orang-orang yang melarikan diri ke luar negeri, karena alasan ekonomi agar bisa lebih baik, tidak bisa disebut sebagai pengungsi.

Orang yang sengaja pindah untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau mendapatkan kartu kewarganegaraan dengan cara menyelundupkan diri juga tak bisa disebut sebagai pengungsi. Atau mereka yang pindah ke negara lain untuk mendapatkan kenikmatan pribadi.

UNHCR menjalankan prosedur Penentuan Status Pengungsi (RSD) lewat registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka. Setelah registrasi, UNHCR akan melakukan wawancara individual dengan masing-masing pencari suaka, dengan didampingi seorang penerjemah yang kompeten.

Proses ini melahirkan keputusan yang menentukan apakah permintaan status pengungsi seseorang diterima atau ditolak dan memberikan masing-masing individu sebuah kesempatan (satu kali) untuk meminta banding apabila permohonannya ditolak.

Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat dengan negara-negara yang berpotensi menerima pengungsi. Sampai akhir Maret 2017, sebanyak 6.191 pencari suaka dan 8.279 pengungsi terdaftar di UNHCR Jakarta secara kumulatif.

UNHCR juga menyebut pengungsi yang telah ditempatkan secara tetap di suatu negara, tidak akan mengalami pengusiran yang mengancam kehidupannya. Artinya, jika Bangladesh dan Indonesia meratifikasi konvensi pengungsi, mereka wajib menjaga pengungsi Rohingya.

Konvensi ini juga menjamin bahwa tidak akan ada penghukuman terhadap pengungsi yang masuk secara tidak sah, kecuali jika keamanan nasional menghendaki lain. Misalnya melakukan kekacauan di mana mereka tinggal.

Baca juga artikel terkait ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Hukum
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani