Menuju konten utama

Ketika Manga dan Dorama Jadi Alat Propaganda Tentara

Bagaimana militer Jepang memopolerkan heroisme dan urgensi pertahanan pada publik yang cenderung pasifis? Lewat industri kreatif.

Ketika Manga dan Dorama Jadi Alat Propaganda Tentara
Film Joker Game. FOTO/ IMDB

tirto.id - Netflix merilis First Love akhir November silam. Serial drama Jepang atau biasa disingkat J-dorama itu terinspirasi dari lagu berjudul sama milik penyanyi kelahiran New York, Hikaru Utada.

Nyanyian patah hati yang nyaris berusia seperempat abad ini begitu populer. Sampai sekarang bahkan masih bertahan dalam daftar 200 lagu top dunia versi Billboard. Itulah yang mungkin jadi salah satu pertimbangan Netflix untuk membuat versi filmnya. Selain itu barangkali juga dalam rangka menarik pangsa pasar generasi milenial yang tumbuh dengan lagu-lagu Utada.

Sesuai lirik lagu, First Love berkisah tentang cinta pertama sepasang kekasih remaja yang terpaksa kandas di tengah jalan. Namun, setelah dihantam beragam dinamika kehidupan, mereka akhirnya dipersatukan kembali.

Plot cerita cenderung standar dan hambar, arahnya juga tidak terlalu sulit ditebak.

Meski demikian, ada satu hal yang membuat First Love agak berbeda dari roman picisan biasa. Angkatan bersenjata nasional yang dibentuk pemerintah Jepang pasca-Perang Dunia II, Jieitai atau Pasukan Bela Diri/Self-Defense Force (SDF), ternyata menaruh perhatian khusus pada serial berisi sembilan episode ini.

Proses produksi First Love rupanya sudah melibatkan Kōkū Jieitai, cabang SDF untuk Angkatan Udara. Melalui akun Twitter, mereka ikut mempromosikan jadwal rilis dorama tersebut sembari mengumumkan bahwa mereka “bekerja sama” dengan aktor-aktornya. Kicauan tersebut dipenuhi dengan banyak tagar, termasuk #C130 yang merujuk pada jenis pesawat angkut militer Hercules produksi perusahaan senjata asal Amerika Serikat, Lockheed Martin.

Kehadiran SDF dalam First Love disisipkan lewat karakter protagonis laki-laki Harumichi Namiki. Namiki bercita-cita menjadi penerbang dan mengenyam pendidikan pilot pesawat tempur di Angkatan Udara.

Keseharian Namiki sebagai kadet di asrama militer ditampilkan dengan detail dan rapi: baris-berbaris, menyetrika baju seragam sendiri, dihukum atasan karena terlambat berkumpul, merangkak di rumput untuk berlatih menembak, mempelajari mesin pesawat dan mendiskusikan cara kerjanya, sampai akhirnya lolos ujian menerbangkan unit pesawat tempur. Namiki kelak juga menerbangkan Lockheed C-130 Hercules yang sudah disinggung akun Twitter Angkatan Udara.

Ketika seseorang bertanya tentang urgensi Jepang memiliki tentara dan menyepelekannya “sekadar memboroskan uang pajak,” Namiki menjawab tegas bahwa dirinya “bukan tentara.” Tugasnya setelah lulus sebagai pilot adalah untuk “melindungi” dalam konteks “situasi darurat atau bencana.”

Aktivitas Namiki dalam balutan seragam militer selalu dilatari dengan alunan musik terompet syahdu nan heroik, khas adegan dalam film militer yang (mencoba) menggugah semangat.

Pendidikan Namiki berlangsung sepanjang awal tahun 2000-an—beririsan dengan peristiwa 9/11 dan Perang Irak. Tidak heran jika dalam satu adegan, Namiki dan kawan-kawan kadetnya menyaksikan siaran TV tentang perdana menteri Jepang kala itu, Junichiro Koizumi, yang diinterogasi oleh parlemen Diet karena hendak mengirimkan pasukan SDF ke Irak untuk melakukan aktivitas “non-pertempuran” di “zona aman”.

Di dunia nyata, Koizumi, yang pernah bilang “serangan AS [ke Irak] sesuai dengan Piagam PBB,” mendapat pertentangan kuat dari mayoritas publik Jepang. Dukungan Koizumi terhadap Perang Irak dianggap berlawanan dari prinsip pasifisme dalam Konstitusi 1947. Pasal Sembilan terang-terangan menolak pengerahan kekuatan militer Jepang dalam konflik internasional.

Meski demikian, di musim panas 2003, parlemen Jepang akhirnya “mengesahkan pengerahan pasukan terbesar sejak 1945,” catat The Guardian. Misi ke Irak tersebut kelak melibatkan 5.500 anggota Angkatan Darat SDF (untuk misi kemanusiaan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur publik selama 2004-2006) dan 3.500 anggota Angkatan Udara SDF (mengangkut penumpang dan material sesuai kebutuhan PBB serta pasukan multinasional, 2003-2008).

Kembali pada karakter Namiki di First Love, dia dan kawan-kawannya diperintahkan untuk “membantu rekonstruksi Irak di divisi transportasi.”

Khas adegan menjelang perang yang lazim ditemui di skenario film Hollywood, kepergian Namiki dan kawan-kawan diiringi dengan pidato penyemangat oleh pejabat militer di hanggar. “Kalian adalah fondasi negara... fondasi keamanan dan perdamaian negara kita,” kata pejabat itu. Kalimat selanjutnya berisi asumsi tentang rakyat Irak sehingga Jepang merasa perlu pergi membantu mereka. “Meskipun situasi keamanan Irak sulit diprediksi dan tidak pasti, rakyat Irak sangat ingin membangun negara yang stabil dan demokratis di bawah rekonsiliasi nasional.”

Kepergian Namiki membuat sedih saudaranya yang tunarungu dan tunawicara. Namiki berusaha menenangkannya dengan memakai bahasa isyarat yang kira-kira artinya: “Melindungi negaramu sama dengan melindungi keluargamu.” Keluarga Namiki lalu mengiringi kepergiannya ke Irak dengan penuh haru sambil mengibar-ngibarkan bendera Jepang.

Pada saat yang sama, di sisi luar lapangan terbang, berlangsung demonstrasi antiperang.

Ambisi Militeristik Jepang Abad ke-21

Entah disengaja atau tidak, First Love dirilis bertepatan dengan pengumuman mengejutkan dari Perdana Menteri Fumio Kishida. Dia berkomitmen meningkatkan anggaran pertahanan jadi dua persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama lima tahun ke depan. Persentase tersebut sesuai dengan target negara-negara anggota NATO—meskipun Jepang bukan bagian dari mereka.

Artinya, Jepang memerlukan total 48 triliun yen sampai 2027. Dana sebanyak itu kemungkinan dipenuhi dengan cara menaikkan pajak perusahaan, kalangan berpenghasilan tinggi, rokok, bahkan masyarakat luas. Selama ini sejak 1960, anggaran militer Jepang konsisten di angka satu persen PDB.

Target anggaran bombastis merupakan satu dari sekian agenda yang dimuat dalam tiga dokumen strategi pertahanan yang baru saja disahkan pemerintah pada pertengahan Desember silam.

Menurut dokumen berjudul Strategi Keamanan Nasional, Jepang sekarang berada “di tengah situasi keamanan pascaperang yang paling parah.” Ketidakstabilan geopolitik tengah berlangsung, dicerminkan oleh invasi Rusia ke Ukraina dan kemajuan pesat militer Cina yang meningkatkan potensi invasi ke Taiwan.

Dilansir dari Nikkei Asia, dokumen-dokumen tersebut menekankan urgensi Jepang untuk membangun sistem pertahanan independen—maksudnya agar tidak bergantung pada Paman Sam saja. Jepang merasa perlu “mempersiapkan pondasi kuat untuk skenario terburuk.”

Dokumen yang sama juga menyinggung Cina sebagai “tantangan strategis terbesar yang pernah dihadapi [Jepang],” merujuk pada aktivitas kapal-kapal Cina di perairan Jepang di sekitar Kepulauan Senkaku/Diayou yang kepemilikannya disengketakan oleh kedua negara. Versi dokumen sebelumnya menyorot Cina sekadar sebagai “kekhawatiran komunitas internasional.”

Poin kunci dari dokumen-dokumen pertahanan terbaru ini berkaitan dengan kemampuan Jepang untuk melakukan serangan balik atau counterstrike capability. Istilah ini tidak dimaknai secara agresif, melainkan didefinisikan halus sebagai “langkah-langkah pertahanan diri yang diperlukan dengan minimum” dan dibatasi pada “target militer” seperti markas angkatan bersenjata.

Sebagai perbandingan, kebijakan pertahanan sebelumnya menyatakan Jepang “tidak punya sarana untuk menyerang negara musuh.”

Tak berapa lama kemudian, administrasi Kishida mengumumkan alokasi dana sebesar 7 triliun yen atau sekitar Rp700 triliun untuk sektor pertahanan sepanjang 2023—naik 26 persen dari 2022. Anggaran yang bertujuan “memperkuat kapabilitas pertahanan Jepang secara drastis” ini akan dipakai di antaranya untuk memenuhi kebutuhan persenjataan canggih seperti membeli amunisi, rudal jarak jauh produksi AS, pesawat nirawak atau drone, dan tentu saja menjaga “keberlangsungan dan ketahanan” Pasukan Bela Diri atau SDF.

Angkatan Udara SDF kebagian ratusan miliar yen untuk membeli pesawat jet tempur tipe F-35 produksi Lockheed Martin dan rudal buatan Kongsberg dari Norwegia. Kemudian Angkatan Laut berkesempatan menambah sejumlah unit helikopter antikapal selam dan kapal patroli Offshore Patrol Vessel (OPV).

Meski bagi pemerintah situasi geopolitik penuh ancaman, pandangan publik justru terpecah belah. Survei oleh Kyodo pada Desember mengungkap lebih dari 53 persen responden menolak rencana kenaikan anggaran pertahanan. Responden yang setuju hanya 39 persen. Sebanyak 64 persen responden juga ogah dibebankan pajak lebih tinggi untuk membiayai anggaran militer baru. Terkait kebijakan baru tentang kapabilitas untuk melakukan serangan balik, sebanyak 50 persen responden setuju, 42 persen menolak.

Otoritas Jepang paham betul bahwa perang atau militer memang bukan topik favorit kebanyakan populasi yang dasarnya berorientasi pasifis. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila mereka berusaha memopulerkan narasi-narasi heroisme dan urgensi tentang pertahanan nasional kepada publik dengan memanfaatkan industri hiburan kreatif, termasuk First Love.

Jauh sebelum First Love rilis, militer sudah memanfaatkan medium komunikasi lain yang tak kalah menarik: komik khas Jepang alias manga.

Ada Manga sebelum First Love

Matthew Brummer dalam artikel yang terbit di The Diplomat pada 2016 menulis bagaimana berbagai institusi pemerintah Jepang mulai menyadari kesuksesan komersial manga baik di dalam maupun di luar negeri sejak awal dekade 1970-an. Manga dipandang berguna untuk menyampaikan informasi politik, bisnis, sampai edukasi umum kepada masyarakat luas.

Efektivitas manga tidak bisa dipisahkan dari karakter menggemaskan atau imut-imut (kawaii). Mereka menimbulkan daya tarik spesial di mata penikmatnya yang disebut moe. Penulis buku The Moe Manifesto Patrick Galbraith mendeskripsikan moe sebagai respons afektif, semacam reaksi kognitif atau emosional terhadap karakter fiktif atau representasi mereka.

Sampai pertengahan 1980-an, lanjut Brummer, nyaris seluruh kantor pemerintah sudah memanfaatkan manga sebagai medium komunikasi publik.

Hanya ada satu lembaga yang masih takut atau malu-malu melakukannya. Siapa lagi jika bukan Kementerian Pertahanan? Keraguan ini terutama dirasakan oleh angkatan bersenjata SDF yang pembentukannya setelah Perang Dunia II disambut dengan kritik dan dicitrakan buruk oleh publik Jepang maupun internasional.

Situasi berubah memasuki dekade 1990-an. Dalam rangka mempermudah penyampaian pesan-pesan dan misinya kepada publik, Kementerian Pertahanan mulai merangkul industri kreatif manga dan kultur kawaii.

Keputusan ini tidak terlepas dari situasi ekonomi Jepang yang melesu dan munculnya berbagai potensi ancaman keamanan dari luar negeri. Citra Jepang sebagai negara tangguh dan berpengaruh pun pudar. Sektor pertahanan semakin terpanggil untuk berpartisipasi dalam menciptakan tatanan keamanan.

Demikianlah konteks lahirnya Prince Pickles, maskot imut yang diadopsi militer Jepang sekitar 30 tahun lalu. Kisah Prince Pickles dibukukan dalam tiga serial manga yang menargetkan pembaca muda. Tokoh ini tinggal di negeri yang berbatasan dengan tetangga berbahaya. Maka dari itu dia mendirikan pasukan sendiri, aktif melakukan latihan fisik, bergabung dalam misi-misi perdamaian ke luar negeri, serta terlibat dalam penanganan bencana.

Sebagaimana lazim karakter protagonis, Prince Pickles juga punya pacar, namanya Miss Parsley.

Ketika Jepang mengirim SDF ke Irak, Prince Pickles ikut berpromosi melalui gambar yang menunjukkan dirinya bersalaman dengan karakter yang memakai penutup kepala khas orang Arab, kufiya. Gambar itu dilengkapi kalimat: “For the future of Iraq, Japan Self-Defense Forces”.

Infografik Citra Militer Jepang REV

Infografik Citra Militer Jepang. tirto.id/Fuad

Di samping usaha untuk mengasosiasikan aktivitas militer dengan karakter yang lucu, Jepang juga memanfaatkan serial manga pendek untuk merekrut anggota SDF. Hal ini pernah dilakukan oleh SDF di Prefektur Okayama. Isinya sederhana jika bukan naif: tentang ketertarikan pelajar SMA pada pendidikan militer SDF yang menurutnya terlihat “keren”.

Masih dilansir dari artikel Brummer di The Diplomat, contoh lain manga yang proses pembuatannya sudah disponsori oleh militer adalah serial berjudul Gate: Jietai Kare no Chi Nnite, Kaku Tatakeri (sejak 2011 sampai sekarang) yang juga ada versi anime-nya (2015-2016).

Gate berangkat dari novel fantasi sejarah buatan seorang eks-anggota SDF, Takumi Yanai. Kisah berlatar masa sekarang ini dibuka dengan kemunculan gerbang misterius di keramaian ibu kota Tokyo. Dari situ keluar berbagai monster dan karakter jahat dari abad pertengahan Eropa. Para penjahat membuat kacau seluruh kota dengan membunuhi warga setempat, sehingga pemerintah Jepang mengerahkan pasukan terhebatnya dari SDF untuk melawan mereka.

Seiring dengan semakin besar ambisi pemerintah Jepang untuk memperkuat sektor pertahanan, bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu ke depan kita akan mendapati lebih banyak dorama romantis beraroma militer seperti First Love atau manga dan anime bergenre fantasi yang menyisipkan unsur-unsur heroik.

Baca juga artikel terkait JEPANG atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino