tirto.id - Inda (31 tahun) bersama temannya baru saja selesai menonton film bioskop di salah satu mal yang berlokasi di Jakarta Pusat. Ia pun langsung pulang, dan menuju tempat parkir mal untuk mengambil kendaraannya.
Namun, di tengah perjalanan menuju tempat parkir, perempuan asal Surabaya ini mendadak berhenti. "Eh sebentar, isi [saldo] OVO dulu. Disini bayar parkirnya lewat OVO," katanya sembari memencet ponsel pintarnya.
Membayar parkir di mal-mal saat ini memang sudah tidak seperti dulu lagi. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, cara membayar parkir pun kian beragam, salah satunya melalui aplikasi pembayaran atau dompet digital.
OVO adalah salah satu aplikasi pembayaran berbasis server yang menyediakan pembayaran parkir. Namun demikian, pembayaran parkir melalui OVO di mal ini hanya tersedia di mal-mal milik Lippo Grup. Mal-mal tersebut di antaranya seperti Lippo Mall Kemang, Pejaten Village, Lippo Mall Puri, Hypermart Puri, dan Plaza Semanggi. Tak hanya itu, pembayaran parkir melalui OVO juga tersedia di sejumlah rumah sakit milik Lippo Grup.
Bisa dikatakan, upaya Lippo Grup mengembangkan OVO guna memperkokoh diri sebagai salah satu pemain utama pembayaran melalui aplikasi di Indonesia tidaklah main-main. Pembayaran parkir melalui OVO adalah salah satu senjatanya.
Meski begitu, toh langkah Lippo mengembangkan OVO melalui parkir ini tidak berarti mulus dalam perjalanannya. Pembayaran parkir di mal melalui aplikasi OVO ini dinilai memonopoli lantaran menjadi satu-satunya alat pembayaran aplikasi.
"Sekarang ini transaksi boleh pakai apa pun, [kalau cuma pakai OVO] ini berarti memaksa kita untuk memiliki aplikasi dia," kata Sularsih, Ketua Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kepada Tirto.
Dugaan OVO melakukan monopoli parkir di sejumlah pusat perbelanjaan juga masuk radar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KKPU). Saat ini, KPPU sedang meneliti terkait dugaan monopoli itu.
"Kebijakan beberapa mal menerapkan parkir hanya dengan OVO sudah masuk penelitian," ujar Komisioner sekaligus Juru Bicara KPPU Guntur Syahputra Saragih sebagaimana dikutip dari Tempo.
Potensi Bisnis Parkir
Ketika dikonfirmasi terkait dugaan monopoli parkir mal tersebut, Head of Public Relation OVO Sinta Setyaningsih mengatakan kewenangan menentukan metode pembayaran parkir di mal merupakan kewenangan pengelola layanan parkir.
"Terkait dengan metode pembayaran untuk lahan parkir, kewenangan itu merupakan ranah pengelola layanan parkir. OVO hanyalah penyedia layanan pembayaran," ujar Sinta dikutip dari Media Indonesia.
Meski begitu, metode pembayaran parkir di mal-mal Lippo Grup juga sebetulnya tidak hanya melalui aplikasi saja. Pengelola parkir juga menyediakan pembayaran tunai bagi pengunjung pusat perbelanjaan.
Terlepas benar tidaknya dugaan monopoli tersebut, bisnis parkir memang menggiurkan. Bagaimana tidak, populasi pengguna parkir sangatlah besar. Ambil contoh populasi kendaraan bermotor di DKI Jakarta.
Berdasarkan data Statistik Transportasi DKI Jakarta, jumlah sepeda motor pada 2016 mencapai 13,98 juta unit dan mobil sebanyak 3,52 juta unit. Jumlah kendaraan itu belum termasuk kendaraan dari kota-kota sekitar Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. Peluang ini tentu sayang jika dilewatkan, apalagi pembayaran parkir melalui aplikasi juga bisa terjadi di luar pusat perbelanjaan.
Di sisi lain, tren transaksi non-tunai di Indonesia belakangan juga semakin melejit. Berdasarkan studi Visa Consumer Payment Attitudes 2018, pembayaran non-tunai di Indonesia menjadi paling diminati.
Dari total responden sebanyak 4.000 orang yang tersebar di tujuh negara Asia Tenggara, sebanyak 85 persen responden Indonesia menggunakan ponsel pintaruntuk melakukan pembayaran. Selain itu, sebanyak 75 persen responden lebih memilih untuk menggunakan pembayaran contactless apabila tersedia luas.
Lebih lanjut, sebanyak 76 persen responden di Indonesia percaya diri bahwa mereka bisa hidup tanpa uang tunai selama 24 jam. Persentase ini merupakan yang tertinggi di antara sejumlah negara tetangga di Asia Tenggara lainnya. Lebih lanjut, sebanyak 47 persen mengatakan bahwa mereka dapat hidup tanpa tunai selama tiga hari.
Tingginya minat terhadap penggunaan pembayaran non-tunai juga tercermin dari jumlah uang tunai yang dibawa. Survei tersebut menemukan bahwa sebanyak 57 persen responden Indonesia sudah berpindah ke pembayaran elektronik dan mulai meninggalkan uang tunai.
Sebagai catatan, demografi responden di Indonesia adalah pria dan wanita berusia 18 tahun ke atas dengan penghasilan pribadi bulanan dari Rp3 juta ke atas.
Minat yang tinggi akan transaksi non-tunai juga diakui Perkumpulan Pengelola Perparkiran Indonesia (PPPI). "Tren transaksi non-tunai juga berlaku di parkir. Hampir 70 persen tempat parkir, terutama di Jakarta ini mulai menyediakan pembayaran non-tunai," kata Ketua Dewan Pengawas PPPI Anggawira kepada Tirto.
Meski begitu, Anggawira juga mengingatkan pemerintah untuk menyediakan payung hukum yang jelas mengenai transaksi jasa perparkiran guna menjaga iklim bisnis perparkiran tetap wajar dan tidak merugikan antar pengelola parkir.
Berbeda dengan pendapat pihak OVO, menurut PPPI, apa yang dilakukan oleh pihak OVO sebagai penyedia jasa perparkiran yang menggunakan pembayaran non-tunai dengan aplikator tunggal merupakan salah satu praktik monopoli usaha.
Sebagai catatan, selain OVO, sejumlah dompet digital lain sesungguhnya juga mulai masuk ke dalam bisnis parkir ini. Melalui aplikasi Parkee, misalnya, konsumen dapat menggunakan Go-Pay, LinkAja dan DANA untuk membayar parkir di sejumlah titik parkir yang dikelola oleh CentrePark.
"Dengan tren pembayaran digital ini, saya pikir perlu ada aturan lain yang khusus membahas perparkiran ini, bukan hanya dari peraturan daerah saja, tetapi peraturan pemerintah pusat juga," jelas Anggawira.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara