tirto.id - Penyesalan selalu datang terlambat. Tiap-tiap orang punya penyesalannya masing-masing. Salah satu penyesalan yang kerap muncul adalah salah mengambil jurusan kuliah.
Min Liang Tan, pendiri sekaligus chief executive officer (CEO) Razer, perusahaan teknologi yang identik menciptakan perangkat berbau video game, tak mengenal penyesalan atas salah jurusan pendidikan yang diambilnya. Tan bukanlah lulusan sekolah teknologi. Ia merupakan sarjana hukum lulusan National University of Singapore. Ia kuliah dalam rentang 1998 hingga 2001 di kampus itu.
Sebelum mendirikan Razer, Tan sebetulnya telah memiliki pekerjaan yang terkait dengan ilmu kesarjanaannya. Ia adalah seorang pengacara yang mengabdi pada Mahkamah Agung Singapura. Namun, dalam wawancaranya dengan Christine Tan dari CNBC, Tan mengaku bahwa dunia video game, khususnya saat memosisikan diri sebagai gamer, selalu jadi urutan pertama dalam hidupnya. Unggul dibandingkan menjadi seorang pengacara.
“Saya selalu (menempatkan posisi sebagai seorang) gamer di urutan pertama dan (sebagai seorang) pengacara di urutan kedua. Ketika saya menikmati menjadi seorang pengacara, ada sesuatu dari dalam diri yang ingin keluar untuk melakukan sesuatu yang berbeda,” tutur Tan menjelaskan isi hatinya.
Pemuda yang lahir pada 5 November 1978 ini kemudian menciptakan Razer pada 27 Juni 2005 bersama kawannya bernama Robert Krakoff. Razer merupakan perusahaan yang diciptakan mengikuti isi hatinya. Dengan slogan “for gamers by gamers”, produk andalan Razer ketika pertama kali meluncur hanya sebatas mouse atau tetikus.
Dari sanalah Razer pelan-pelan menjadi perusahaan besar. Pada 13 November 2017 lalu, Razer menjadi salah satu perusahaan rintisan teknologi yang akhirnya melakukan penawaran saham perdana (IPO). Pada pembukaan itu, saham Razer dipatok seharga HK$3,88 yang kemudian melejitkan nilai perusahaan menjadi $4,4 miliar.
Tentu, ada perjalanan panjang yang harus dilalui Razer sebelum akhirnya melakukan IPO. Razer memulai perjalanan di dunia teknologi video game dengan merilis Diamondback, tetikus khusus gaming pada 2005. Pada 2006, bekerjasama dengan Microsoft, Razer kemudian merilis tetikus gaming lainnya bernama Habu. Setelahnya, sang perangkat ikonik bernama DeathAdder kemudian lahir.
Tahun 2007 merupakan tahun perluasan varian perangkat. Keyboard khusus gaming bernama Lycosa adalah pcontohnya. Di tahun yang sama, Razer menghadirkan pelantang Razer Mako.
Inovasi berikutnya lahir pada 2010. Selepas puas merilis tetikus dan keyboard, Razer kemudian merilis Megalodon, headset yang juga membidik segmen gamer. Pada 2012 Razer merilis Blade, laptop gaming yang diklaim sebagai yang tertipis. Terakhir, perusahaan yang dipimpin sarjana hukum itu merilis ponsel bertajuk Razer Phone.
Selain merilis perangkat berbau gim, Razer pun aktif mengakusisi perusahaan rintisan teknologi lainnya. Tercatat, ada 3 perusahaan yang akhirnya dibeli Razer. Itu adalah Nextbit System, THX, dan Ouya.
Rangkaian portofolio Razer itu membuahkan empat kali founding rounds. Intel Capital, firma investasi yang berada di bawah naungan Intel, jadi salah satu pemodal. Tercatat, atas nilai yang dipublikasikan, Razer memperoleh uang senilai $175 juta dari babak pencarian modal itu.
Kritikan pada kualitas
“Kami selalu ingin membuat produk gim fenomenal, bukan hanya periferal tapi segala produk. Itu bisa berbentuk user interface, sistem, dan perangkat lunak,” jelas Tan dalam wawancaranya bersama e27.co. Secara tersirat, Tan ingin menciptakan produk-produk handal.
Sayangnya, keinginan Tan menciptakan produk yang handal menghadapi batu sandungan. Batu itu ialah banyak kritikan terhadap permasalahan build quality Razer. Paling tidak, ini terekam di banyak forum online teknologi internasional.
Di Linux Tech Tips, terdapat thread berjudul “Razer Blade Quality Issues”. Selain itu, pada Tom’s Hardware, muncul thread berjudul “Razer Quality Suck - Fact or Myth”. Lalu, di Notebook Review terdapat perbincangan berjudul “Is Razer QA really that bad?”. Terakhir, di forum online situsweb mereka sendiri, ada obrolan bertajuk “Bad Build Quality Stigma”.
Jika isu soal build quality ini tak segera diatasi, sangat rawan menggembosi tumbuh kembang perusahaan tersebut. Padahal, harga produk-produk Razer terbilang mahal. DeathAdder contohnya. Mouse tersebut dijual seharga $69,9, atau hampi sejuta rupiah.
Bakti pada orang tua
Juniper Research, firma riset dunia digital, menempatkan Tan di posisi ke-3 sebagai sosok eksekutif paling berpengaruh di dunia teknologi pada tahun 2015 lalu. Tang hanya kalah dari Satya Nadella (Microsoft) dan Jonathan Ive (Apple). Namun, ia unggul dibandingkan Travis Kalanick (Uber) dan Jack Ma (Alibaba).
Sukses Tang dalam jalur teknologi tak membuatnya menyesal pernah mengenyam pendidikan hukum. Dalam wawancaranya dengan Sumiko Tan di Straits Times, secara tersirat terungkap bahwa hal itu merupakan baktinya pada kedua orang tua. Kedua orang tua Tan, Tan Kim Lee dan Low Ken Yin, merupakan sosok yang menekankan pentingnya pendidikan. Bagusnya mereka tak mewajibkan pendidikan yang telah diperoleh dibaktikan di jalur formal. Secara sederhana, bergelar sarjana hukum tak melulu wajib bekerja di bidang hukum.
“(Kedua orang tua saya) tidak seperti itu, kamu harus menjadi dokter, kamu harus menjadi pengacara. Mereka lebih seperti, lihatlah orang-orang yang kamu dapat bantu sebagai dokter, dan lihatlah apa yang, secara fundamental, bisa dilakukan sebagai seorang pengacara untuk menolong,” tutur Tan menjelaskan jalan pikiran orang tuanya.
Soal pendidikan ini, orang tua Tan tak main-main. Selain Tan, tiga anak lainnya adalah bukti. Saudara laki-laki Tang, Min Han, merupakan seorang ahli Onkologi. Dua saudarinya, E Ching dan E Fang, merupakan sosok fisikawan dan pengacara.
Bersama Tan, ketiga saudaranya itu bersekolah di Nanyang Primary. Lalu, mereka melanjutkan ke Raffles Institution sebelum berlanjut ke Hwa Chong Junior Collage. Pada National University of Singapore, Tang memperoleh gelar kesarjanaannya.
Selain meraih pendidikan tinggi, bakti Tan yang lain ialah keengganannya jauh-jauh dari orang tua. Razer memiliki kantor di San Fransisco, AS, dan Singapura. Ketika berada di Singapura, Tang tinggal di rumah orang tuanya. Di Kamar yang ditempatinya sedari kecil. Suatu hal yang terbilang unik bagi sosok pemilik kekayaan sebesar $700 juta.
“Saya tidak suka mengatakan ini tapi inilah faktanya. Ada banyak tempat logis (dan strategis) membuka toko (atau perusahaan), benar, Shenzhen atau Taipei, tapi ya. Hal mendasar bagi saya adalah kembali ke sini di Singapura, menghabiskan waktu bersama kedua orang tua. Itu adalah hal terpenting bagi saya,” tutur Tang.
Akhirnya, meskipun Tang tak membaktikan ilmu hukumnya di jalur formal, National University of Singapore, pada 2015, kemudian memberikan penghargaan padanya. Tang merupakan satu dari 10 alumni NUS yang memperoleh penghargaan di segmen “Outstanding Young Alumni.”
Penghargaan itu jadi bukti bahwa konsep salah jurusan atau bekerja tak sesuai pendidikan, hanyalah pembenaran bagi sosok-sosok yang telah kalah dalam hidupnya.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Zen RS