tirto.id - Kota Semarang Jawa Tengah dapat dikepung tiga jenis banjir sekaligus: banjir kiriman dari hulu, banjir lokal, dan banjir rob. Ketiganya berkelindan jadi masalah menahun akibat kerusakan sosio-ekologis.
Pada 5 hingga 7 Februari 2021, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah melaporkan ada 43 titik banjir di Kota Semarang. Banjir kiriman dan banjir lokal mendominasi. Kawasan yang jadi langganan banjir rob juga tak luput terendam bahkan hingga Senin 8 Februari siang. “Masih belum surut kawasan Kaligawe, Genuk, Trimulyo wilayah timur,” kata Plh Kepala Pelaksana Harian BPBD Jateng Arif Wahyudhi kepada reporter Tirto, Senin (8/2/2021).
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan penyebab banjir kali ini lebih diakibatkan faktor alam, yaitu “curah hujan termasuk ekstrem” yang siklusnya tiap 50 tahun sekali dan pasang air laut yang cukup tinggi. Sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi, Minggu (7/2/2021), menyebut sebab non alam, yaitu dua masalah di hulu dan hilir. Ia mengakui bahwa itu buah dari “ketidakbecusan” dirinya.
“[Penyebab] hulunya penggundulan hutannya tinggi,” kata Ganjar. “Yang di bawah (hilir) kita menghadapi land subsidence (penurunan tanah).”
Untuk permasalahan di hulu, Ganjar bilang reboisasi terus dilakukan selama beberapa tahun terakhir, akan tetapi memerlukan waktu untuk menampakkan hasil. Sementara masalah di hilir, dia bilang cukup rumit diselesaikan lantaran tidak mudah mengontrol pembangunan di kawasan-kawasan tersebut.
Selain dua solusi itu, dia juga bilang telah membuat polder dan kolam retensi. Dia bilang kemarin dulu solusi ini efektif. “Tapi kali ini nampaknya angkat tangan saja, kita hari ini tidak sanggup.”
“Tidak usah menyalahkan curah hujan yang memang tinggi, hari ini memang tidak sanggup maka harus banjir,” tambahnya.
Lalu Ganjar mengemukakan soal Jalan Tol Semarang-Demak yang diproyeksikannya jadi solusi banjir. Ia mau agar jalan tol sekaligus menjadi bendungan yang akan dapat mengendalikan banjir di kawasan pesisir. “Jalan tolnya akan melingkar sehingga kami harapkan dapat mengendalikan banjir di robnya sehingga nanti memunculkan reservoir (waduk) di sana.”
Masalah Puluhan Tahun
Bosman Batubara, peneliti tata kelola air dan kota, kini mahasiswa doktoral dari IHE Delft Institute for Water Education dan Department of Human Geography, Planning and International Development, University of Amsterdam, mengatakan persoalan di hulu dan hilir Kota Semarang juga erat kaitanya dengan apa yang terjadi di daerah terdekat, khususnya Kabupaten Demak dan Kendal.
Di satu sisi ada kerusakan lahan di kawasan Semarang atas atau hilir, lalu di sisi lain ada ekstraksi berlebihan terhadap air tanah dan pembangunan yang masif menjorok ke arah laut. Ini semua membuat penurunan muka tanah yang diperkirakan mencapai 10 sentimeter setiap tahun.
Tanah yang turun membuat kawasan menjadi cekungan saat air hujan dari hulu tak terbendung. Selain itu, pembangunan yang menjorok ke laut mengakibatkan banjir rob, membuat sejumlah desa di Demak dan Kendal telah hilang menjadi lautan.
“Proses banjir ini berasal dari intensitas hujan tinggi yang bertemu dengan berbagai faktor ekologis yang prosesnya puluh tahun seperti tanah ambles, termasuk kerusakan lingkungan di bagian atas, dari mulai konversi lahan dari hutan menjadi pemukiman atau kampus dan macam-macam,” kata Bosman melalui sambungan telepon, Senin (8/2/2021).
Bosman dan beberapa akademisi lain baru-baru ini rampung melakukan penelitian terhadap persoalan banjir di Kota Semarang dan sekitarnya. Hasil penelitian kemudian dibukukan dengan judul Maleh Dadi Segoro (Berubah jadi Lautan).
Penggundulan hutan atau alih fungsi lahan di daerah hulu dan penurunan tanah di kawasan hilir yang diakui Ganjar sebagai biang banjir ini hanya dapat diperbaiki dalam jangka panjang.
Tak ada solusi instan termasuk membangun Tol Semarang-Demak yang disebut dapat menjadi tanggul, katanya. Malah menurut Bosman tol akan menimbulkan masalah baru. Pembangunan infrastruktur yang lagi-lagi menjorok ke laut akan semakin memperparah penurunan tanah. Sebab, kawasan Semarang bawah yang menjorok ke laut ini memiliki sedimen yang belum kuat karena strukturnya masih muda.
“Di mata saya itu justru akan potensial menjadi masalah baru karena justru beban infrastruktur dan volume kendaraan [di jalan tol] akan makin memperparah amblesan dan memperparah banjir di masa depan,” ujarnya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino