Menuju konten utama

'Keproek Tjina': Gara-Gara Daendels, Kebencian Rasial Kian Membara

Kebijakan Daendels yang berorientasi cuan memicu sentimen negatif terhadap Tionghoa di Probolinggo. Meletuslah peristiwa Keproek Tjina.

'Keproek Tjina': Gara-Gara Daendels, Kebencian Rasial Kian Membara
Kawasan pecinan di Jawa. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Awal abad ke-19 adalah kebangkitan kelompok Cina peranakan di Jawa. Sejak akhir abad ke-18 hingga sebelum Perang Jawa (1825-1830), mereka memainkan peran penting di bidang ekonomi dan pengelolaan lahan. Beberapa di antaranya bahkan pernah memangku jabatan berpengaruh dalam administrasi kolonial dan diberi gelar setingkat Ronggo Tumenggung dan Bupati.

Bangkitnya komunitas elite Tionghoa di Jawa pada masa itu ditanggapi dingin oleh sebagian penguasa feodal Jawa. Orang Tionghoa yang sebelumnya hanya sebagai kelompok Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) yang menonjol berkat kegigihan dan keuletan mereka, mulai tumbuh sebagai pesaing dalam urusan penguasaan lahan di pedalaman. Sentimen rasial yang berlebihan kemudian timbul ketika Gubernur Jenderal Daendels mendirikan pemerintahan birokratis pertama di Jawa dengan mereduksi kekuasaan elite pribumi dan memberi kesempatan kepada orang-orang kaya Tionghoa.

Probolinggo menjadi saksi dari kerawanan sosial yang muncul atas kebijakan berani Daendels tersebut. Seperti dikisahkan Vlekke dalam Nusantara Sejarah Indonesia (2016: 233), kenaikan tuntutan fiskal pemerintah kolonial tahun 1807 memaksa Marsekal Guntur (Daendels) menjual kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada Kapiten Cina asal Pasuruan bernama Han Tik Ko. Hal ini berdampak pada pemecatan massal pejabat desa pribumi dan digantikan dengan orang-orang Tionghoa.

Kedudukan sebagai pemilik tanah dengan sendirinya membuat Han Tik Ko memperoleh gelar Mayor Cina. Setelah resmi menjadi pemilik Probolinggo pada 1811, dia diberi izin membentuk kesatuan bersenjata dan membuat uang kertas baru. Jadilah Han Tik Ko tampil bak penguasa feodal Jawa. Kekuasaannya menyamai bekas bupati sebelumnya, Raden Tumenggung Joyodiningrat, hingga dia dijuluki sebagai Babah Tumenggung.

Tidak sampai tiga tahun, kekacauan sosial karena persoalan politik desa membuat keluarga Han dan orang-orang Tionghoa lainnya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Puncaknya terjadi pada 1813, kerusuhan berdarah bernama Kepruk Cina atau dikenal juga dengan sebutan Perang Kedopok meletus di Probolinggo. Sasaran amuk massa adalah orang-orang Tionghoa, terutama Han Tik Ko sebagai tuan tanah.

Keputusan Gegabah Marsekal Guntur

Istilah Kepruk Cina (Keproek Tjina) pertama kali muncul dalam catatan penulis Belanda bernama Jan Gerrit Willem Lekkerkerker. Dalam Probolinggo, Geschiedenis en Overlever (1931), dia menerjemahkan peristiwa tersebut sebagai aksi penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa yang mengakibatkan kematian Mayor Han Tik Ko. Lekkerkerker juga merinci adanya perseteruan antara keluarga Han dengan keluarga Bupati Joyodiningrat yang sangat besar pengaruhnya di Probolinggo.

Claudine Salmon dalam laporan penelitian “The Han Family of East Java Entrepreneurship and Politics (18th-19th Centuries)” (1991, PDF) menyebut jejak keluarga Han di Jawa Tengah dan Jawa Timur bisa dilacak sejak awal abad ke-18. Secara turun-temurun, keluarga peranakan berpengaruh ini memiliki hubungan dekat dengan pemerintah kolonial dan kerap ditunjuk mengisi jabatan Kapitan.

Menurut Salmon, peristiwa jual beli wilayah antara Dandels dengan keturunan keluarga Han merupakan titik mula keterlibatan kelompok peranakan dalam pemerintahan. Pada 1810, Daendels memutuskan untuk menjual sejumlah tanah negara di Jawa Timur untuk menutupi kondisi keuangan pemerintahannya yang morat-marit. Distrik Besuki dan Panarukan dijual kepada Han Chan Piet, putra ketiga Kapiten Cina Han Bwee Kong.

Setelah strategi tersebut dianggap membuahkan hasil, Daendels kembali menjual sebuah wilayah di bagian tenggara Pasuruan kepada adik Han Chan Piet. Pada 1811, Probolinggo diserahkan kepada Han Tik Ko (atau Han Kik Ko dalam sumber berbahasa Cina) dalam sebuah upacara yang besar dan megah. Dia diberi izin untuk tinggal di kediaman bupati yang bagus, sementara bupati sebelumnya dimutasikan ke Sedayu, Gresik.

Sri Margana dalam disertasinya di Universitas Leiden, “Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, 1763-1813” (2007, PDF), mencatat wilayah pesisir utara Jawa Timur di sebelah tenggara Surabaya maju pesat di bawah kekuasaan kakak-beradik Han. Wilayah di sekitar Besuki dan Panarukan yang mulanya terbengkalai akibat perang, perlahan menjadi subur. Kondisi ini berangsur menarik perpindahan penduduk dari Madura dan Sumenep.

Beberapa laporan yang dikumpulkan Margana menunjukkan bahwa kabupaten di pesisir utara Jawa Timur berkembang pesat di bawah kendali pemilik Tionghoa. Seorang perwira Inggris, William Thorn, bahkan meyakinkan bahwa daratan berukuran empat puluh mil di sekitar Probolinggo mengalami peningkatan pesat. Dia memperkirakan kawasan tersebut bakal menjadi satu daerah terkaya di Jawa dan sangat padat penduduknya.

Model pengembangan wilayah dengan cara menciptakan negara di dalam negara yang dilakukan orang-orang Tionghoa di kota-kota pesisir utara Jawa Timur, lama-kelamaan menarik beragam reaksi. Beberapa pejabat kolonial berpendapat bahwa otonomi semacam itu dapat menimbulkan berbagai macam pelanggaran dan merupakan ancaman laten bagi tatanan negara jajahan. Kondisi ini berujung pada pengucilan Han Tik Ko beserta keluarganya.

“Pertama-tama oleh Inggris, kemudian Belanda, keduanya takut pada kapasitas manajerial keluarga Han dan mulai menganggap mereka sebagai pesaing yang ditakuti,” papar Salmon dalam tulisannya yang terbit di jurnal Archipel,Vol. 41 (1991).

Infografik Kepruk Cina

Infografik Kepruk Cina. tirto.id/Quita

Han Tik Ko Jadi Sasaran

Keberhasilan Han Tik Ko mengelola Probolinggo ternyata diiringi oleh kemunculan sebuah gerakan. Sekitar bulan April 1813, sebuah desa di kaki Gunung Bromo kedatangan seorang pendakwah dari Ampel yang dijuluki Kiai Mas. Dia menyatakan dirinya mampu menegakkan Islam di seluruh distrik Java Oosthoek (ujung timur Jawa) dengan jalan menghapus pajak dan mengusir orang Eropa dan Cina dari Jawa Timur.

Dalam waktu singkat, ribuan orang bergabung ke dalam gerakan baru ini. Pada 18 Mei 1813, sebuah kampung di dekat rumah Han Tik Ko yang tengah menggelar pesta dikepung sekelompok orang. Han Tik Ko tewas di tangan pemberontak sebelum pemerintah kolonial berhasil mengamankannya.

Perkembangan wilayah Probolinggo yang terlampau cepat diduga diperoleh dari hasil pemerasan tenaga kerja. Kenyataan bahwa Han Tik Ko kesulitan membayar sisa cicilan pembelian tanah Probolinggo yang mencapai satu juta ringgit semakin menguatkan dugaan tersebut. Di samping itu, dia juga harus menghadapi sikap permusuhan dari keluarga bupati lama yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat.

P.A. Goldbach, seorang pejabat kolonial yang sudah lebih dari 22 tahun tinggal di Jawa, telah memperingati Komisaris Inggris di Semarang tentang kerawanan sosial yang digerakkan kelompok fanatik di Probolinggo. Dia mengungkapkan bahwa rakyat Probolinggo masih menaruh simpati kepada keluarga Joyodiningrat yang secara turun-temurun memerintah daerah tersebut.

“Jika ada tempat di mana kerusuhan dan pemberontakan dapat terjadi, itu adalah di Probolinggo, di mana masih ada beberapa relasi mantan Bupati, dan yang melalui pemindahannya kehilangan sawah terbaik, ketidakpuasannya terhadap pemilik tanah sudah sangat terlihat,” paparnya seperti dikutip Margana.

Penggambaran mengenai semakin beratnya beban kerja yang diderita penduduk Probolinggo sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1803. Melalui laporan perjalanan Nicolaas Engelhard, diketahui bahwa eksploitasi tenaga kerja dan tingginya nilai upeti bukanlah hal yang asing bagi rakyat Probolinggo di bawah kekuasaan keluarga Joyodiningrat.

Baca juga artikel terkait ETNIS TIONGHOA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh