tirto.id - Yasonna Hamonangan Laoly boleh saja menjadi bahan olok-olok karena kerap tergagap meladeni pertanyaan wartawan. Namun karier politiknya tidak demikian. Ketika gagal menjadi anggota DPR pada 2014, dia ditunjuk Joko Widodo menjadi Menteri Hukum dan HAM. Saat Kabinet Kerja jilid I hampir selesai, dia berhasil mengamankan posisi sebagai anggota DPR.
Tahun kekalahan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dalam kancah Pilpres 2004 menjadi awal mula perjalanan politik Yasonna di tingkat nasional. Dia terpilih menjadi wakil rakyat dari Sumatra Utara.
Sesuai keahliannya di bidang hukum, Yasonna menduduki bangku Komisi III DPR RI. Namanya masih belum banyak dikenal secara nasional kala itu. Komisi III malah mendapat kritik karena tidak mampu menyelesaikan empat rancangan undang-undang tentang pemberantasan korupsi. Di periode berikutnya, Yasonna tetap dipercaya rakyat. Namun kini dia duduk di Komisi II DPR yang membidangi masalah pemilihan umum, birokrasi dalam negeri, dan kependudukan.
Ketika dia dipilih Jokowi menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kinerjanya di Komisi II mendapat kritikan. Salah satu yang menguliti performanya adalah CNN. Pada 26 Oktober 2014, CNN merilis artikel bertajuk “Yasonna: Lama Urus Birokrasi, Jadi Menkumham”. CNN menyinggung bahwa Yasonna yang berada di Komisi II bersama kawan-kawannya tak bisa merampungkan UU Pemilu, padahal Pilpres 2009 harus berjalan kurang dari tiga bulan setelah pelantikan anggota DPR.
Meski di tahun 2014 dia gagal melenggang ke Senayan, Megawati menyodorkan namanya untuk dipertimbangkan Jokowi menjadi menteri. Hasilnya, dia terpilih dan namanya kembali harum. Yasonna kemudian berhasil menembus parlemen untuk ketiga kalinya pada Pemilu 2019.
Sebelum dia dilantik menjadi anggota DPR, dia memutuskan undur diri dari jabatan Menkumham.
Kinerja Melempem
Sebagai Menkumham, sejak awal banyak pihak yang meragukan kinerja Yasonna. Belum genap setahun menjabat, kritik bertubi-tubi datang kepadanya. Salah satunya karena dia tidak setuju revisi UU KPK dicabut dari program legislasi nasional DPR 2014-2019. Benar saja, sekarang UU KPK yang baru sudah disahkan dan menjadi salah satu pemicu demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta pada September 2019.
Selain karena UU KPK, perihal Yasonna yang mudah memberikan remisi pada koruptor juga menjadi kritik dari lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW). Apalagi Yasonna juga menyetujui remisi untuk pembunuh wartawan. Setelah protes berturut-turut, Kemenkumham dan Joko Widodo akhirnya setuju mempertimbangkan ulang pemberian remisi.
Ulah politikus PDI-P itu bukan hanya pada ranah hukum, tapi juga politik. Pada 2015 dia tiba-tiba mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan salah satu kubu Partai Golkar. Padahal partai berlambang pohon beringin itu sedang dalam sengketa hukum.
Hal-hal itulah yang membuat tahun pertama Yasonna penuh masalah.
Tahun berikutnya, Yasonna dihantam masalah cukup pelik, yakni pengawasan lembaga pemasyarakatan. Sampai Yasonna lengser, masalah itu masih jauh dari selesai.
Tidak usah jauh-jauh bicara perihal lapas di Palu yang kena bencana alam dan di daerah lain. Lapas Sukamiskin tempat koruptor mendekam tidak kunjung bisa dibereskan Yasonna.
Setiap tahun, ada saja napi yang kabur dari selnya. Pada 2015 terpidana kasus korupsi Hambalang keluar lapas untuk memimpin rapat. Tahun berikutnya terpidana korupsi mantan Bupati Bogor Rahmat Yasin juga menginap di hotel daerah Bandung. Setahun berselang, giliran terpidana korupsi impor daging sapi, Luthfi Hasan Ishaaq, yang pulang kampung keluar dari lapas.
Pada 2018 terpidana korupsi alat simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) Budi Susanto kedapatan mengunjungi pabriknya di daerah Karawang. Pada tahun akhir Yasonna menjabat, mantan Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen, akhirnya divonis delapan tahun penjara. Meski banyak dilanda kasus tahanan kabur, pengawasan dalam lapas sama dengan sikap Jokowi kepada Yasonna: cenderung membiarkan.
Di bulan Juni 2019, terpidana korupsi KTP elektronik Setya Novanto pelesiran bersama istrinya. Ini merupakan pelesiran kedua Novanto setelah mendapat vonis pengadilan.
Yasonna sudah mendapat kritik dari banyak pihak, salah satunya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, toh ia tetap cuek. Dia paham masalah pengawasan lapas memang berat, tapi di sisi lain ia tak mengakui berulangnya kejadian itu adalah kesalahannya.
"Ya biasalah kritik masyarakat, itu biasa, inikan Lapas ini memang jadi persoalan berat," ujar Yasonna di Kemenkumham, Selasa (18/6/2019).
Dia malah membanggakan capaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Kemenkumham dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal WTP hanyalah predikat yang disematkan karena instansi terkait sudah tertib soal laporan keuangan, bukan berarti lembaga itu berhasil secara substansial.
Puncaknya, Yasonna, yang bergelar profesor itu, malah meladeni kritikan masyarakat secara ad hominem. Dia menyebut Dian Sastrowardoyo dengan kata “bodoh” karena dianggap mengkritik Rancangan UU KUHP secara kurang tepat.
Yang dipermasalahkan Dian adalah Pasal 470 RKUHP yang mengatur hukuman bagi pelaku aborsi. Aktris lulusan Jurusan Filsafat Universitas Indonesia ini menganggap bahwa bagi korban perkosaaan aborsi bisa jadi salah satu solusi. Sementara Yasonna melihat Dian luput membaca UU Kesehatan yang melindungi korban perkosaan dari tindakan aborsi. Atas dasar itulah Yasonna mengatainya.
Dalam tayangan Indonesia Lawyers Club, Yasonna berkelit sekaligus mengulangi perbuatannya, yakni menyerang intelektualitas mahasiswa yang dia sebut sebagai “Dik” (adik). Upaya berkelit Yasonna muncul dalam pembahasan revisi UU KPK.
Dia menilai seharusnya mahasiswa menggunakan mekanisme judicial review untuk memprotes UU KPK karena sudah disahkan. Padahal poin mahasiswa jelas: jika memang UU KPK bermasalah, lantas kenapa disetujui pemerintah dan DPR?
Mahasiswa juga mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal itu sebenarnya juga masih sesuai aturan.
“Gugatlah di Mahkamah Konstitusi, bukan di mahkamah jalanan. Jadi kalau pakai Perppu, kok pakai Perppu baru disahkan? Gugat di Mahkamah Konstitusi. That’s the law,” kata Yasonna, Kamis (27/9/2019).
Dia lantas mengaku malu dengan ocehan mahasiswa yang mengkritik RKUHP tanpa membaca secara lengkap. Yasonna kemudian membandingkan dirinya dengan mahasiswa.
“Kalau saya dulu mau berdebat, saya baca dulu itu barang sampai sejelas-jelasnya baru saya berdebat. Kalau jujur ini saya sebagi dosen, saya malu apa yang saudara sampaiken,” tegasnya.
Namun dia mengesampingkan beberapa hal yang merupakan kritik substansial masyarakat. Misalnya soal pasal penghinaan presiden yang sering disalahgunakan. Dia memakai alasan bahwa sebagai pemimpin negara, presiden tidak boleh dihina.
Padahal selama ini, Jokowi sendiri selaku presiden belum pernah melaporkan penghinanya. Berdasarkan penuturan Yasonna, ini merupakan hasrat pribadinya sendiri. Alih-alih menerima masukan masyarakat, dia justru membungkamnya.
“Kebebasan yang sebebas-bebasnya, bukan kebebasan, tapi anarki,” katanya lagi.
Pernyataan Yasonna secara tidak langsung kontraproduktif dengan omongan lainnya bahwa dia menerima kritik dan masukan terkait RKUHP.
Meski setuju menunda, alasan Yasonna mengesahkan RKUHP itu hanya berlandaskan patriotisme buta. Pertama, penghargaan kepada tokoh-tokoh penggagas KUHP yang baru dan sudah meninggal. Kedua, membanggakan KUHP sebagai produk asli karya bangsa.
Direktur Lokataru Foundation Haris Azhar memberi satu pernyataan yang mungkin mewakili sebagian pemikiran masyarakat kepada Yasonna:
“Tugasnya Pak Menteri menjelaskan. Kenapa empat tahun [pembahasan RKUHP] merasa sudah lama? Toh sebelum empat tahun, sudah [lebih] dari 40 tahun kita bahas. […] Jadi gak ada beban buat rezim ini untuk memaksakan KUHP harus diselesaikan. Waktu SBY diturunkan tidak ada yang blacklist SBY karena SBY gagal mengesahkan RUU KUHP. Waktu Soeharto diturunkan, enam tuntutan reformasi, bukan karena KUHP,” kata Haris.
Yasonna hanya bisa diam mendengar ini. Ketika diberi kesempatan bicara, Yasonna tidak juga membalas pernyataan Haris terkait urgensi RKUHP.
Jokowi Harus Tambal Lubang Yasonna
Beruntung, masa jabatan Yasonna sudah selesai di periode pertama pemerintahan Jokowi. Dia juga mendapat bangku panas di parlemen.
Selain gagalnya Yasonna dalam mengesahkan RUU Pemasyarakatan dan RUU KUHP yang baru, dia juga tercatat tidak berhasil memenuhi Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla selama lima tahun ini.
Salah satu poin dari Nawacita adalah menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Meski kementeriannya menyangkut masalah HAM, selama lima tahun ini Yasonna kebanyakan lepas tangan.
Urusan pelanggaran HAM seperti kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965 hanya menjadi tanggungan Kemenko Polhukam dan Komnas HAM. Hingga akhir, kasus-kasus itu tetap berujung buntu.
Kini Yasonna berharap kembali ditempatkan di Komisi III yang membidangi hukum dan HAM. Dengan percaya diri, dia berkeinginan menyelesaikan RUU yang tertunda di periode sebelumnya—di mana dia juga ikut membahasnya mewakili pemerintah.
Banyaknya pekerjaan rumah yang tak berhasil dituntaskan Yasonna tentu harus menjadi fokus Jokowi di kemudian hari, jika dia ingin tetap menunaikan visi-misi sesuai janjinya. Salah satu caranya adalah dengan memilih menteri yang bisa menyelesaikan pekerjaan Yasonna selama ini. Wacana kabinet zaken atau pembantu presiden yang terdiri dari kalangan profesional bisa dijadikan pertimbangan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan