Menuju konten utama

Kepailitan Asuransi Bumi Asih dan Modus Kenakalan Kurator

Kurator yang mengurusi PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya ditetapkan sebagai tersangka penipuan dan pencucian uang. Minimnya pengawasan dari pengadilan memberi ruang lebar bagi kurator-kurator nakal.

Kepailitan Asuransi Bumi Asih dan Modus Kenakalan Kurator
Kantor Asuransi Bumi Asih Jaya di Matraman, Jakarta Timur. tirto/Andrey Gromico

tirto.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mencabut izin PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya (Bumi Asih) sejak 2013. Namun, perusahaan asuransi jiwa itu baru resmi dinyatakan pailit oleh pengadilan pada 28 Agustus 2015.

Saat itu, tiga orang kurator ditunjuk, mereka adalah Lukman Sembada, Raymond Pardede, dan Gindo Hutahean. Dalam proses kepailitan, kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor.

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), kurator haruslah independen. Ia tak boleh memiliki benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur. Seorang kurator hanya boleh memegang tiga perkara pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang dalam waktu bersamaan.

Kurator juga tak boleh menggunakan aset dan kekayaan debitur untuk kepentingan pribadi. Mereka akan mendapatkan imbalan atas jasa sebagai kurator, tetapi imbalan itu dibayarkan ketika proses kepailitan selesai.

Baca juga:

Sayangnya, 18 Mei lalu ketiga kurator Bumi Asih ditangkap Bareskrim Polri. Mereka diduga melakukan penggelapan aset milik perusahaan asuransi untuk kepentingan pribadi. “Mereka mengalihkan hasil pencairan unit link, deposito, dan aset lain milik Bumi Asih,” ujar Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Agung Setia dalam keterangan tertulis.

Hasil penyidikan menyebutkan bahwa total kerugian akibat perbuatan tersebut mencapai Rp20 miliar. Total aset Bumi Asih diperkirakan Rp1,1 triliun. Sampai saat ini, jumlah kreditur Bumi Asih mencapai 29 ribu dengan total tagihan Rp1,2 triliun. Tim kurator belum pernah melakukan pembagian sejak perusahaan itu dinyatakan pailit tahun lalu.

Ini bukan pertama kalinya kurator ditangkap pihak kepolisian dan menjadi tersangka. Tahun 2001 lalu, kurator PT Dharmala Sakti Sejahtera, yang pailit sejak 6 Januari 2000 juga sempat ditahan. Ari Ahmad Efendi ditahan dengan tuduhan menggandakan penjualan saham. Namun, ia kemudian dibebaskan karena ternyata tuduhan tersebut tidak benar.

Dalam praktiknya, memang ada banyak sekali celah bagi kurator untuk mendapatkan keuntungan dari aset debitur. Hal ini diperkuat dengan minimnya pengawasan dari hakim pengawas yang telah ditunjuk pengadilan.

Salah satu pengacara yang juga seorang kurator, Aji Wijaya membenarkan itu. Menurutnya, sangat mungkin atau besar peluang seorang kurator berbuat curang dan nakal dengan berbagai cara saat mengurusi aset.

Misalnya dalam proses lelang dan penjualan. Ada kurator yang nakal, menjual aset dengan harga miring, lalu ia akan mendapat komisi dari pembeli. Padahal, UU mengatur bahwa kurator berhak menerima fee penjualan aset sebesar 10 persen dari harga jual. Fee itu di luar imbalan jasa sebagai kurator.

Modus lain yang kerap dilakukan para kurator, lanjut Aji, adalah dengan membalik nama aset. Jadi aset yang tadinya atas nama debitur dibalik nama menjadi nama pribadi kurator. Modus ini lebih riskan untuk diketahui dibandingkan dengan mencari keuntungan dari menjual aset dengan harga miring.

“Ada juga yang punya cukong-cukong, jadi lelangnya dibikin sedemikian rupa hingga gagal, dan akhirnya aset dijual bawah tangan dengan harga lebih murah,” jelas Aji kepada Tirto, Jumat (21/7).

infografik kurator

Terlepas dari semua modus nakal itu, para kurator juga terkadang menghadapi persoalan ketidakpahaman dari penegak hukum akan UU Kepailitan. Seperti kasus yang dihadapi kurator Dharmala misalnya. Karena dalam proses kepailitan, bukan hanya kurator yang berpotensi berlaku curang, debitur juga.

“Pernah ada kurator yang dilaporkan karena jam debitur hilang. Debitur mengaku punya jam mewah 5 buah, padahal aslinya memang cuma 4,” kata Aji.

Terkait dengan fee jasa kurator, menurut UU Kepailitan, biaya tersebut dibayarkan setelah kepailitan berakhir. Berakhirnya kepailitan tentu setelah aset terjual dan tagihan dari para kreditur dibayarkan. Biaya yang boleh diambil di depan oleh kurator adalah biaya operasional pemberesan aset atau imbalan atas penjualan aset.

Minimnya Fungsi Pengawasan

Kurator, dalam melakukan pekerjaannya, sebenarnya tak bisa semena-mena, karena ia sejatinya diawasi oleh hakim pengawas di Pengadilan. Tetapi, menurut pantauan Tirto, pengawasan di Indonesia minim sekali.

Para hakim pengawas hanya mengawasi proses rapat kreditur. Mereka juga hanya memeriksa laporan dari para kurator yang disampaikan setiap tiga bulan. Laporan itu berisi perkembangan boedel pailit dan posisi keuangan. Hakim-hakim pengawas ini tampak pasif. Berbeda dengan hakim pengawas di negara seperti Belanda yang bisa bertindak lebih aktif.

Di Belanda, hakim pengawas kerap turun ke kantor debitur untuk melakukan inspeksi dan pengecekan. Di Indonesia, hal itu sulit sekali bisa dilakukan. Hakim pengawas di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tak hanya menjadi hakim pengawas, setiap hari, mereka juga mengurusi perkara-perkara niaga lain. Bahkan ada juga yang menjadi hakim tindak pidana korupsi.

Aji membenarkan itu. Berdasarkan pengalamannya menjadi kurator, pengawasan dari hakim pengawas memang dirasakannya kurang detail. “Kalau saya sih melihatnya memang sulit bagi hakim pengawas mengawasi secara independen dan detail untuk mencegah fraud dari kurator atau debitor, waktunya enggak memadai,” kata Aji.

Baca juga artikel terkait PAILIT atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Mild report
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti