tirto.id - Pemerintahan melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah mengumumkan kenaikan upah minimum Provinsi UMP tahun 2018 sebesar 8,03 persen.
Kenaikan itu dilakukan dengan memperhitungkan tingkat inflasi dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Menaker Nomor B.240/M-NAKER-PHI9SK-UPAH/X/2018.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Haryadi Sukamdani menilai bahwa, kenaikan upah yang mengacu pada PP78/2015 adalah opsi terbaik yang bisa diambil saat ini.
Sebab, jika dibandingkan dengan kondisi sebelum PP itu keluar, kenaikan upah yang diatur hanya berdasarkan Undang-undang nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Kenaikan upah hampir selalu sama dengan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL).
"UMP itu sebetulnya adalah salah satu yang membuat pendapatan pekerja pemula, tidak ada pengalaman. Itu dulu prinsipnya, tapi, dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun itu berubah bukan jaring pengaman lagi tapi pada kenyataannya menjadi upah rata-rata," ujar Haryadi saat dihubungi Tirto, Kamis (18/10/2018).
Padahal dalam, beleid itu, kata dia, "upah minimum itu diarahkan menuju KHL, artinya KHL sebagai plafon atas."
Jika hal itu dibiarkan, maka industri padat karya lama-kelamaan akan terus berkurang karena tak sanggup membayar upah para pekerja. Hal ini, menurut dia, akan menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran lantaran hampir 50 persen tenaga kerja di Indonesia merupakan lulusan sekolah menengah pertama (SMP).
"Skill mereka terbatas dan harus diarahkan ke industri padat karya atau UMKM, jadi ini pilihan terbaik dari yang ada. Kalau enggak ada PP 78 lebih enggak bisa diprediksi lagi kebaikannya," tuturnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yandri Daniel Damaledo