tirto.id - Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jakarta, SARMAN Simanjorang, menilai kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen masih belum tepat dan perlu dikaji ulang.
Kenaikan UMP yang mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan, itu menurutnya masih abai terhadap faktor eksternal yang mempengaruhi dunia usaha seperti menguatnya dolar terhadap rupiah.
Karena itu, menurutnya, kenaikan UMP berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tersebut harus dikaji ulang agar tak memberatkan pengusaha.
"Kita rasakan melemahnya nilai rupiah yang berdampak pada biaya operasional yang dialami pengusaha. Apalagi pemerintah menerapkan hampir semua komoditi impor dan di antara komoditi itu banyak bahan baku yang dibutuhkan industri," kata Sarman saat dihubungi Tirto, Kamis (18/10/2018).
Menurut Sarman, kenaikan UMP harus benar-benar dikaji secara tepat sebab hal ini akan mempengaruhi investasi di Indonesia yang ujung-ujungnya akan menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Hal ini harus dilihat dari segala aspek, bukan sekedar kepentingan buruh maupun pengusaha saja.
"Pada umumnya dari pengusaha itu taat kebijakan. Tetapi kita harus realistis melihat kondisi ekonomi kita saat ini. Pengusaha kan sangat tertekan karena faktor eksternal," imbuhnya.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2019 sebesar 8,03 persen. Hal itu tertuang dalam surat edaran (SE) tertanggal 15 Oktober 2018, dengan Nomor B.240/M.NAKER/PHI9SK-UPAH/X/2018.
Nilai ini, ujar Sarman menambahkan, masih terlalu tinggi meski jika dibandingkan dengan kenaikan sejak 2016, angka 8,03 persen merupakan yang terendah.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yantina Debora