tirto.id - Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menilai seharusnya kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak berbarengan dengan kenaikan harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya.
“Misalnya, tarif dasar listrik naik, maka kami akan membayar dengan harga lebih mahal. Ini bertolak belakang dengan Nawa Cita yang ingin mewujudkan hidup dan pekerjaan layak,” kata dia ketika dihubungi Tirto melalui telepon, Kamis (18/10/2018).
Pemerintah akan menaikkan UMP sebesar 8,03 persen pada 2019. Kenaikan UMP ini memperhitungkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data yang diambil oleh Kementerian Ketenagakerjaan dari BPS, menyebutkan inflasi mencapai 2,88 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,15 persen. Kombinasi antara keduanya sebesar 8,03 persen.
Nining juga berpendapat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8.240/M-Naker/PHI9SK-Upah/X/2018 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2018, membuat kepala daerah dapat (tidak wajib) menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) untuk kabupaten/kota tertentu yang mampu membayar upah minimum lebih tinggi dari UMP.
“Artinya bagi kabupaten/kota yang tidak mengajukan atau merekomendasikan kenaikan upah kepada gubernur yang berdasarkan pada ketidakmampuan, maka di daerah itu tidak ada kenaikan. Hal itu merugikan kaum buruh,” terang Nining.
Nining melanjutkan, kenaikan upah yang dibatasi dengan inflasi dan PDB nasional dalam PP 78 dapat dipastikan nilainya akan sangat kecil.
“Dengan kata lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang berorientasi pada politik upah murah,” jelas dia.
Sementara itu, dalam siaran pers yang diterima hari ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, menolak kenaikan upah minimum.
“Kenaikan upah minimum akan membuat daya beli buruh jatuh. Karena kenaikan harga seperti beras, telur ayam, transportasi (BBM), listrik, hingga sewa rumah kenaikannya lebih besar dari 8,03 persen,” ujar dia.
Iqbal menegaskan idealnya kenaikan upah minimum tahun depan sebesar 20 hingga 25 persen. Angka sebesar itu berdasarkan pada hasil survei pasar kebutuhan hidup layak yang dilakukan FSPMI-KSPI di beberapa daerah.
Lantas, dia meminta agar kepala daerah mengabaikan surat edaran tersebut dan tidak menggunakan PP 78/2015 dalam menaikkan upah minimum.
"Sebab acuan yang benar adalah menggunakan data survei Kebutuhan Hidup Layak, yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," ucap Iqbal.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Dipna Videlia Putsanra