tirto.id - Pada tahun 1900, Nikola Tesla mempunyai gagasan cemerlang yang melampaui zamannya. Ketika dunia baru saja mengalami kemudahan berkomunikasi lewat penemuan telepon oleh Alexander Graham Bell pada 1876, ilmuwan berkebangsaan Amerika Serikat itu ingin mewujudkan world wireless system atau dunia tanpa kabel.
Tesla percaya bahwa di masa depan dunia akan terhubung melalui alat transmisi nirkabel lewat menara-menara pemancar listrik. Namun, gagasan ini gagal terwujud karena masalah pendanaan dan dianggap melawan teori-teori kelistrikan.
Enam dekade kemudian, wacana mewujudkan dunia tanpa kabel kembali dicetuskan oleh ilmuwan Massaschusetss Institute of Technology (MIT), J.C.R Licklider, yang memopulerkan istilah Intergalactic Network (1960)—sebuah jaringan yang memungkinkan komputer di seluruh dunia dapat terhubung dan saling bertukar data. Sementara Leonard Kleinrock merumuskan teori packed-switching (1961), teori pemecahan file digital ke dalam bentuk yang lebih kecil untuk ditransmisikan ke komputer tujuan.
Meski masih tertuang dalam makalah penelitian, pemikiran-pemikiran tersebut kelak memberikan wawasan terkait konsep jaringan global yang kelak dikenal sebagai internet. Barulah pada 1969, Amerika Serikat melalui Departemen Pertahanan lewat proyek Advanced Research Projects Agency (ARPA) mengembangkan teknologi packed-switching dan berhasil menciptakan ARPANet.
Penemuan yang menjadi cikal bakal internet ini bertujuan untuk menciptakan teknologi komunikasi militer yang dapat memudahkan koneksi antar pusat komando, khususnya di wilayah terpencil. Dengan sistem ini, komunikasi militer AS dipercaya akan lebih aman dari sadapan musuh. Sejak saat itu, ARPANet menjadi pandangan awal perkembangan internet dan semakin menjangkau ranah non-militer, khususnya penelitian akademis di beberapa kampus pada tahun-tahun berikutnya.
Revolusi teknologi semakin berkembang ketika memasuki tahun 1990. Berners-Lee memprakarsai World Wide Web atau biasa disingkat WWW, yang salah satu poin penemuannya adalah memungkinkan manusia dan informasi untuk saling terhubung dan tersebar luas dalam jaringan internet. Atas dasar inilah, menurut James McCLellan dan Harold Dorn dalam Science and Technology In World History (2006, hlm. 409), internet berhasil membawa dunia ke babak baru dalam perkembangan sistem informasi global yang luar biasa dan transformatis, babak ketika internet dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan fluktuasi dinamika di antara pengguna yang memiliki kesepahaman di berbagai bidang.
Pisau Bermata Dua
Penuturan McCLellan dan Dorn tidaklah berlebihan. Perkembangan internet yang kelak memunculkan beragam media sosial, aplikasi, website, dan berbagai program lainnya membawa manusia ke dalam pusaran yang berbahaya.
Internet telah membawa manusia berinteraksi satu sama lain tanpa melihat langsung dan mengenalnya secara fisik. Proses ini membuka peluang bagi seseorang untuk menjadi pelaku kriminal dan memberikannya kekuatan, sehingga memunculkan ancaman kejahatan dunia maya (cybercrime), seperti pencurian informasi, sabotase, peretasan, penyebaran informasi palsu, dan lain-lain.
Hal ini terbukti bahwa munculnya kejahatan siber berjalan seiringan dengan perkembangan internet. Pada masa-masa awal internet booming, misalnya, beberapa kali dunia dihebohkan dengan kasus cybercrime.
Misalkan pada tahun 1994, sekelompok pemuda asal Rusia meretas sistem perbankan Amerika Serikat dan berhasil memindahkan uang senilai $10 juta dollar dengan memanfaatkan kelemahan pada sistem komputer kas institusi. Lalu pada 1999, terdapat virus yang menyerang sistem komputer seluruh pengguna Microsoft Word di dunia. Virus tersebut berhasil membuat server email di banyak perusahaan dunia dan lembaga pemerintahan menjadi kelebihan beban dan arus lalu lintas internet global shutdown.
Atas dampak yang luas, Federal Bureau of Investigation (FBI) bahkan memasukkan dua kasus tersebut dalam “Major Cybercrime Case”. Meski demikian, kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya laporan serupa di seluruh dunia.
Kerjasama Global
Memerangi kejahatan siber, sebagaimana dijelaskan pakar keamanan dan pertahanan siber internasional Solange Ghernaouti dalam Cyber Power: Crime, Conflict, and Security in Cyberspace (2013, hlm 42), membutuhkan posisi politik yang kuat dalam tingkatan global. Tujuannya untuk menyatukan badan-badan publik ataupun swasta dan memobilisasi mereka untuk bekerja sama secara nasional dan internasional. Terlebih, cybercrime tidak dibatasi oleh batas-batas geografis. Seorang penjahat dapat melakukan aksinya dari suatu negara yang berbeda dengan negara targetnya.
“Hukum domestik terbatas pada wilayah tertentu, tetapi pertukaran elektronik atau aliran data tidak mengenal batas geografis apa pun. Satu-satunya jawaban adalah mengatasi masalah hukum terkait keamanan dan kejahatan siber di tingkat internasional. Dalam konteks Internet dan dunia maya, penting untuk mengadopsi kerangka kerja dan instrumen internasional yang memadai yang menghormati hak asasi manusia (hak keamanan di dunia maya),” tulis Ghernaouti.
Salah satu kawasan yang memiliki perhatian lebih terhadap masalah ini adalah Eropa. Merujuk riset Chat le Nguyen dan Wilfred Golman berjudul “Diffusion of the Budapest Convention on Cybercrime and the Development of Cybercrime Legislation in Pacific Island Countries” (2020), kawasan Benua Biru telah berkomitmen sejak lama terhadap kejahatan siber.
Melalui Majelis Eropa (Inggris: Council of Europe [CoE]), negara-negara Eropa sejak tahun 1970-an hingga 1990-an, berulang kali melakukan perundingan guna membahas persoalan ini. Hasilnya ialah munculnya berbagai macam pedoman terkait dinamika dunia maya. Sayangnya pedoman itu sangat tidak mengikat dan tidak dapat menahan laju kejahatan siber.
Puncak dari perundingan baru terjadi ketika memasuki abad ke-21, masa ketika internet bukan lagi sesuatu yang asing bagi masyarakat dunia, khususnya negara-negara Barat, dan sudah banyak yang menyadari ancaman kejahatan siber. Pada 23 November 2001, tepat hari ini dua dekade lalu, Majelis Eropa menyelenggarakan konvensi kejahatan dunia maya di Budapest, Hungaria, dan untuk pertama kalinya menghasilkan aturan yang mengikat.
Pertemuan yang menghasilkan Budapest Convention ini dimaksudkan untuk menyelaraskan aturan kriminalisasi domestik yang terkait dengan sistem komputer dan data; menyediakan otoritas peradilan pidana nasional dengan sarana yang diperlukan untuk penyelidikan dan penuntutan tindak pidana; dan membangun mekanisme kerja sama internasional yang efektif dalam memerangi pelanggaran-pelanggaran ini.
Meski termasuk perjanjian regional, namun hasil dari konferensi ini tersebar secara global dan menjadi pionir dalam perang melawan kejahatan siber. Penyebabnya karena terdapat satu hal penting dalam pembahasan yakni diperbolehkannya negara-negara non-Eropa meratifikasi hasil perjanjian. Alhasil, masih merujuk riset Nguyen dan Golman, konvensi tersebut kini tidak hanya berfungsi sebagai instrumen hukum untuk kerjasama transnasional melawan kejahatan dunia maya, tetapi juga sebagai pedoman atau model hukum untuk penyusunan undang-undang anti-kejahatan siber di hampir 80 persen negara di seluruh dunia.
Penulis: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh Pribadi