tirto.id - Rusia adalah penyuplai intan terbesar di dunia. Sekitar 30 persen yang sudah dikeruk berasal dari ibun abadi atau lapisan tanah beku di belantara Siberia. Tahun lalu, nilai ekspor intan Rusia menembus 4,5 miliar dolar (Rp67 triliun), urutan ke-13 dalam daftar produk ekspor bernilai tertinggi.
Menurut Statista, cadangan deposit intan di negara tersebut mencapai 1,1 miliar karat atau kira-kira 220 ton. Ini jauh lebih banyak daripada total intan yang dikandung tanah Afrika, dari mulai Botswana (330 juta karat), Republik Demokratik Kongo (150 juta karat), sampai Afrika Selatan (120 juta karat).
Industri intan Rusia dirajai oleh perusahaan semi-BUMN bernama Alrosa. Mereka mengelola aktivitas tambang, eksplorasi, sampai penjualan intan.
Dikutip dari situs resminya, Alrosa telah memproduksi 93 persen dari total hasil tambang intan di Rusia. Mereka juga membanggakan diri sebagai perusahaan intan terbesar dunia karena menyumbang 28 persen produksi intan. Persentase tersebut lebih tinggi daripada De Beers Group (20 persen), kartel internasional yang operasional tambangnya terbatas di wilayah Afrika, Kanada, dan Australia.
Alrosa tidak menjual intan dalam wujud asli—yang masih mentah atau kasar—kepada konsumen ritel atau masyarakat umum seperti kita. Klien mereka adalah entitas bisnis yang diseleksi melalui sistem keanggotaan eksklusif dengan kontrak yang bisa diperpanjang.
Sampai Desember 2021, Alrosa tercatat punya 58 pembeli yang disebut dengan Alrosa Alliance. Alrosa Alliance dijamin bakal menerima suplai dalam jumlah besar (bulk) dan berhak menjualnya lagi ke pihak lain atau memoles lalu menjajakannya dalam wujud berlian kepada konsumen ritel.
Sebanyak 21 klien Alrosa adalah perusahaan dari Belgia, dan beberapa lainnya dari India (yang juga negara pemoles intan terbesar di dunia) dan Israel.
Disanksi karena Invasi
Satu hal menarik lain dari Alrosa adalah asosiasinya dengan penguasa. Mereka dianggap lekat dengan rezim Vladimir Putin.
Satu bukti paling mencolok adalah latar belakang bos perusahaan tersebut. Sejak 2018, Alrosa dipimpin oleh CEO Sergei Ivanov, anak dari politikus senior bernama sama yang pernah jadi menteri pertahanan dan kepala staf kantor presiden.
Dan yang terpenting, Alrosa punya hubungan langsung dengan militer. Hans Merket dari Institute of Peace Information Service, dalam studi yang terbit April silam, menyampaikan bahwa Alrosa pernah mensponsori kapal selam tempur tipe B-871 pada 1997. Mereka berkomitmen mendukung perawatannya agar selalu siap digunakan di medan tempur, juga memberi “bantuan material” pada kru.
Sebagai tanda terima kasih, Panglima Angkatan Laut Rusia menamai kapal selam tersebut “Alrosa” pada 2004.
Sepuluh tahun kemudian, pihak perusahaan mengklaim bahwa “Alrosa” ikut berkontribusi dalam aneksasi Semenanjung Krimea, sebuah tindakan militer yang semakin membuat Rusia menjadi monster bagi negara Barat.
Lalu bagaimana dengan invasi ke Ukraina? Adakah perusahaan juga terlibat?
Masih mengutip riset Merket, dikatakan bahwa tidak mudah mengungkap hal tersebut mengingat Rusia kurang transparan. Hanya ada satu temuan, bahwa Alrosa mendukung pemeliharaan kapal selam tempur militer. Meski demikian, tidak jelaskan pula apakah kapal tersebut turut berangkat ke Ukraina atau tidak.
Apa yang jelas adalah Alrosa berkontribusi terhadap pendapatan Rusia. Dan pendapatan itulah yang membuat serangan dapat dilakukan. Pemerintah pusat di Moskow dan pemerintah daerah Yakutia (disebut juga Republik Sakha, lokasi utama tambang intan) masing-masing menguasai sekitar sepertiga sahamnya.
Tahun lalu, total pendapatan Alrosa menembus 4,2 miliar dolar (Rp63 triliun). Angka tersebut memang tak seberapa dibandingkan seratus miliaran dolar nilai ekspor produk migas Rusia ke Eropa selama periode yang sama. Namun tetap saja signifikan karena lebih besar daripada komoditas ekspor nonmigas lainnya seperti vodka (70 jutaan dolar) atau kaviar (1,8 juta dolar).
Karena alasan sumber pendapatan negara itulah Alrosa, termasuk CEO-nya, sebagaimana banyak entitas lain, dihujani sanksi oleh sejumlah pemerintah asing. Mereka meliputi Amerika Serikat (yang juga negara peminat berlian tertinggi di dunia), Inggris Raya, Kanada, Selandia Baru, dan Persemakmuran Bahama.
Sanksi meliputi pembekuan aset, mempersulit mekanisme transaksi, melarang impor untuk kepentingan non-industrial (pembuatan perhiasan, bukan untuk mesin pemotong atau peralatan kedokteran gigi), sampai larangan transaksi antara perusahaan dan warga negara dengan Alrosa.
Selain pemerintah, sejumlah perusahaan perhiasan ternama juga mengambil sikap. Langkah ini kebanyakan dilakukan oleh perusahaan besar yang punya rekam jejak bagus. Contohnya yang berbasis di AS seperti Tiffany & Co., Signet Jewelers, Brilliant Earth, Venus Jewel di India, Pandora asal Denmark, Richemont asal Swiss.
Tiffany & Co. memutuskan menangguhkan pembelian bongkahan intan dari Rusia sejak Maret lalu. Langkah sama diambil pula oleh Richemont.
Richemont bersama Pandora juga melakukan aksi protes dengan keluar dari Responsible Jewellery Council pada akhir Maret silam. Sebabnya adalah asosiasi tersebut masih mempertahankan Alrosa sebagai anggota—yang kemudian mengundurkan diri.
Responsible Jewellery Council, dengan nyaris 1.500 anggota, didirikan pada 2005 untuk mengampanyekan industri perhiasan yang sehat dan berkelanjutan. Ia dibuat untuk melawan kasus yang saat itu sedang merebak dan sekarang kembali jadi bahan pembicaraan karena ambisi Putin merebut wilayah orang: Intan berdarah.
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino