Menuju konten utama

KemenPPPA: Kota Depok Belum Dapat Dinyatakan Kota Layak Anak

Kota Depok belum memenuhi 24 indikator Kota Layak Anak (KLA).

KemenPPPA: Kota Depok Belum Dapat Dinyatakan Kota Layak Anak
Sejumlah anak bermain di lingkungan rumahnya, di Kampung Tematik, Jalan Bungur, Pondok Cina, Depok, Jawa Barat, Kamis (18/1/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Republik Indonesia mengungkapkan bahwa Kota Depok, Provinsi Jawa Barat (Jabar) belum mencapai kategori kota layak anak (KLA). Hal ini dikarenakan Kota Depok belum memenuhi 24 indikator KLA.

“Dari hasil penilaian terhadap 24 indikator tersebut, Kota Depok meraih kategori nindya. Artinya, Kota Depok belum dapat dinyatakan sebagai kota layak anak, karena dari ke-24 indikator tersebut ada indikator yang belum dapat dipenuhi oleh Kota Depok. Sehingga nilai yang diperoleh baru pada tahap kategori nindya,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA Rini Handayani lewat keterangan tertulis yang diperoleh Tirto pada Rabu (14/9/2022) sore.

KemenPPPA juga mengklaim terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kabupaten atau kota layak anak setiap tahun. Evaluasi ini didasarkan pada penilaian terhadap 24 indikator KLA yang menentukan pencapaian peringkat setiap kabupaten atau kota.

Rini menjelaskan, pemeringkatan KLA diberikan dalam berbagai kategori yang menunjukkan pencapaian setiap kota berdasarkan penilaian terhadap 24 indikator KLA tersebut. Ada lima kategori KLS berdasarkan nilai yang diperoleh yaitu kategori pratama (nilai 500-600); kategori madya (nilai 601-700); kategori nindya (nilai 701-800); kategori utama (nilai 801-900), dan kategori KLA (nilai 901-1000).

Adapun 24 indikator penilaian KLA dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu pertama kelembagaan meliputi regulasi seperti peraturan daerah (perda) KLA, gugus tugas, anggaran, profil anak, rencana aksi KLA, keterlibatan masyarakat, dunia usaha dan media, dalam penyusunan regulasi, rencana aksi mendengarkan suara anak, serta sumber daya manusia (SDM) penyedia layanan anak yang terlatih KHA. Bagian kedua yaitu klaster substansi pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak.

“Klaster substansi pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak meliputi hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, kegiatan budaya, sampai perlindungan khusus,” tutur Rini.

Indikator-indikator tersebut kemudian diturunkan dalam 24 indikator KLA dengan beberapa penilaian konkret. Seperti pemenuhan akta kelahiran, perpustakaan, partisipasi pendidikan dasar, penyediaan panti, layanan imunisasi, prevalensi gizi balita angka kematian bayi, jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum, sampai persentase perkawinan di bawah 18 tahun, dan air susu ibu (ASI) eksklusif.

Berdasarkan indikator penilaian tersebut, Rini menegaskan apabila penilaian kota toleransi atau intoleransi disandingkan dengan KLA adalah tidak tepat. Keduanya memiliki variabel dan indikator penilaian yang berbeda.

“Banyak penilaian dan penghargaan yang diberikan kepada daerah dalam upaya membangun wilayahnya, baik oleh K/L (kementerian atau lembaga) maupun lembaga lainnya. Namun, indikator yang menjadi ukuran penilaian tentu saja tidak sama,” ujar dia.

Sementara itu, KemenPPPA pun mengklaim bahwa evaluasi terhadap pelaksanaan KLA dilakukan oleh mereka setiap tahun. Hal ini untuk memastikan kabupaten atau kota melaksanakan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak, yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kota Layak Anak.

Baca juga artikel terkait KOTA LAYAK ANAK atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri