Menuju konten utama
Hari Pendengaran Sedunia 2023

Kemenkes Soroti Biaya Alat Bantu Dengar yang Masih Mahal

Alat bantu dengar untuk bayi tuli berat seperti implan Koklea, belum disediakan pemerintah maupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Kemenkes Soroti Biaya Alat Bantu Dengar yang Masih Mahal
Kelompok tuli menggunakan Alat Bantu Dengar (ADB) yang dibagikan oleh Starkey Foundation di Aula Wyataguna, Bandung, Jawa Barat, Kamis (3/11). Starkey Foundation membagikan 1.000 pasang ADB untuk wilayah Bandung dan sekitarnya guna membantu penyandang disabilitas. ANTARA FOTO/Agus Bebeng/kye/16

tirto.id - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti, menyampaikan data bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat ada sekitar 430 juta orang di dunia yang membutuhkan pengobatan akibat masalah gangguan pendengaran. Di Asia Tenggara sendiri, kasusnya bahkan mencapai 109,5 juta.

Hal itu diungkapkan Eva dalam jelang Hari Pendengaran Sedunia yang diperingati tanggal 3 Maret setiap tahunnya.

Eva menyatakan, hampir 80 persen orang yang mengalami gangguan pendengaran berada di negara dengan penghasilan menengah ke bawah.

"Gangguan pendengaran merupakan penyebab tertinggi keempat disabilitas secara global. Dampak yang ditimbulkan mengganggu perkembangan kognitif, psikologi, dan sosial, sehingga kualitas SDM rendah dan terjadi penurunan daya saing di tingkat global," kata Eva dalam konferensi pers Hari Pendengaran Sedunia yang diselenggarakan Kemenkes RI, Rabu (1/3/2023).

Menurutnya, masalah gangguan pendengaran harus bisa dideteksi dini sehingga segera bisa diatasi dengan alat bantu dengar.

"Perlu ada deteksi dini dan pelindung alat pendengaran sehingga bila kasus ditemukan lebih dini, masalah pendengaran dapat ditangani sesuai indikasi dan rehabilitasi dengan alat bantu dengar," kata Eva.

Masalahnya alat bantu dengar bagi penderita usia dini cukup mahal, salah satunya alat implan Koklea. Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) Damayanti Soetjipto menyampaikan bahwa alat bantu dengar untuk bayi tuli berat seperti implan Koklea, belum disediakan pemerintah maupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

"Rangkaian penanganan tuli kongenital ada missing link dalam penanganannya, yaitu alat implan Koklea yang diperlukan bayi lahir tuli berat, belum disediakan pemerintah maupun BPJS," kata Damayanti dalam kesempatan yang sama.

Implan Koklea merupakan terapi rehabilitatif yang berbasis teknologi canggih yang ditanamkan ke dalam rongga kepala pasien. Damayanti menyatakan harga alat ini sekitar 200 juta rupiah di pasaran. Namun di beberapa negara, seperti Malaysia, alat ini ditanggung oleh pemerintah.

"Terpaksa anak ini (tuli berat) tidak bisa memakai alat bantu dengar yang sesuai, sehingga dia terpaksa terlantar," tambahnya.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL) Yussy Afriani Dewi, menyatakan pemerintah sebetulnya menyediakan dana subsidi senilai satu juta rupiah per alat untuk membantu masyarakat memperoleh alat bantu dengar, dengan sisa biaya ditanggung pasien.

Namun, PERHATI-KL bersama sejumlah peneliti telah melakukan kajian terhadap alat bantu dengar yang masuk dalam skema pembiayaan BPJS Kesehatan tersebut, dan dinilai masih jauh dari standar.

"Dampaknya, alat bantu dengar jadi kurang enak dipakai pasien, tidak nyaman, sehingga sangat disayangkan banyak pengguna dari kalangan pasien yang melepas alat tersebut," jelas Yussy.

Yussy mengatakan alat bantu dengar di pasaran masih relatif mahal sebab belum diproduksi di Indonesia, dan yang beredar saat ini mayoritas merupakan produk impor.

Baca juga artikel terkait KEMENTERIAN KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri