tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia menghentikan kampanye imunisasi campak rubella. Meski begitu, pelayanan imunisasinya tetap dilanjutkan bahkan ditetapkan sebagai kegiatan imunisasi rutin lengkap.
Keputusan tersebut dipilih berkat rekomendasi sejumlah organisasi kedokteran seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI).
"Statement kampanye campak dan rubella atas saran IDAI, Komnas KIPI, kita hentikan. Tapi layanan imunisasi untuk campak dan rubella tetap dilanjutkan sebagai bagian dari pelayanan," ujar Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Kemenkes, dr Anung Sugihantono dalam siaran resmi, Rabu (9/1/2019).
Ia pun menjelaskan, telah terjadi penurunan kasus campak rubella di Jawa setelah cakupannya mencapai 100 persen pada 2017. Namun, hal serupa belum terjadi di luar Jawa yang cakupannya baru 72,79 persen.
Anung menilai perlu peningkatan pengawasan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
"Kami sekarang melakukan pemetaan risiko wilayah atau potensi wilayah yang perlu diwaspadai terjadinya PD3I," ujarnya.
"Variabelnya secara makro mencakup target imunisasi, kegiatan laporan surveilans, dan pelaporan surveilans pasif di RS."
Anung juga menegaskan perlu kecermatan khusus dalam menyikapi pelaporan pasif di rumah sakit. Karena, menurutnya, congenital rubella syndrome membutuhkan penanganan dari dokter spesialis: mata, THT, dan jantung. Untuk memastikan apakah seorang anak terdampak atau tidak.
Ditambah lagi, menurutnya, rumah sakit yang tersebar di daerah jarang yang mempunyai tenaga dokter spesialis tersebut. Hal itu pula yang menjadi tantangan Kemenkes ke depannya.
"Inilah yang jadi tantangan kami ke depan dalam mengamati atau meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan karena anak tidak diimunisasi," ujarnya.
Meski demikian, Anung optimistis semua jenis cakupan imunisasi mencapai di atas 95 persen per kabupaten atau kota pada akhir 2019.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri