tirto.id - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menekankan perbedaan antara Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) dengan Ujian Nasional (UN).
Mereka menilai AKSI akan mampu menggali kompetensi peserta didik lebih mendalam daripada UN. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno.
Menurut Totok, dengan AKSI para siswa akan dinilai kemampuan penalarannya secara logis, asumsinya siswa akan mampu memahami wacana yang kompleks.
"Tes didesain untuk mendiagnosa kemampuan siswa secara mendetail. Misal kemampuan matematika terdiri dari number, algebra, geometri dan statistik. Number terbagi di level knowing, formulating, reasoning," ujarnya di Jakarta Selatan, Kamis (14/3/2019).
Ia pun menambahkan, dalam soal matematika itu misalnya, juga akan terdapat konteks masalah yang beririsan dengan kehidupan sosial, karir, dan individual. Yang tersaji dalam soal berformat mulai dari pilihan ganda, pilihan ganda kompleks, isian singkat, dan uraian.
"AKSI disusun berdasarkan framework yang mengukur kompetensi siswa yang terpetakan pada SKL [Standar Kompetensi Lulusan] K13 [Kurikulum 2013]. Namun, juga terskalakan dalam skala internasional," tuturnya.
Hal tersebut dilakukan, menurutnya, untuk menjembatani ketertinggalan peringkat peserta didik di Indonesia, jika dibandingkan dengan skala internasional.
Sudah sejak tahun lalu, tes AKSI dipercontohkan ke beberapa sekolah di Indonesia sebagai proyek sampling. Di mana setiap guru pada masing-masing sekolah didorong untuk memberikan penilaian formatif. Sehingga ke depannya para guru diharapkan bisa mengembangkan soal-soalnya sendiri.
Kendati demikian, ia menolak apabila AKSI disebut sebagai pengganti UN.
"AKSI tidak diskemakan untuk menggantikan UN," pungkasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri