tirto.id - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ingin nama kepercayaan yang dianut para penghayatnya tidak disebutkan secara spesifik di kolom agama KTP. Nama kepercayaan secara spesifik dinilai akan menciptakan implementasi jangka panjang.
“Hanya disebut ‘penghayat kepercayaan’ atau 'kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esai. Tapi ini belum diputuskan, masih diskusi,” kata Direktur Jendral Kependudukan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah di Bandung, Minggu (12/11/2017).
Bersama Kementerian Agama (Kemenag) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kemendagri telah merumuskan sejumlah opsi pengisian kolom agama di KTP elektronik bagi para penghayat kepercayaan. Opsi pertama adalah dengan menuliskan “penghayat kepercayaan”. Kedua dengan menuliskan “kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” — alasannya penghayat kepercayaan ditafsirkan sebagai pelakunya bukan keyakinan yang dianut. Ketiga, menuliskan secara spesifik nama-nama aliran kepercayaan yang dianut sesuai dengan nama organisasi mereka.
Dari ketiga opsi itu, Zudan mengatakan yang paling berpotensi menimbulkan persoalan adalah apabila kolom agama bagi penghayat kepercayaan ditulis spesifik sesuai nama organisasi. Contoh: Galih Puji Rahayu, Tong Tong Raja Sikalem, Ilmu Roso Sejati, Ilmu Goib, Ilmu Goib Kodrat Alam, dan Golongan Siraja Batak.
Banyaknya nama organisasi kepercayaan yang ada di Indonesia, akan menimbulkan persoalan jika ditulis spesifik dalam kolom KTP elektronik. Hal ini karena kata Zudan sebuah organisasi bisa berubah nama, bisa membubarkan diri, dan bahkan bisa dibubarkan pemerintah. “Kalau organisasinya dibubarkan, penduduknya mengubah KTP lagi,” ujarnya.
Berdasarkan cara pandang itu Zudan mengatakan dirinya cenderung memilih penulisan “penghayat kepercayaan” atau “kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa” di kolom agama para penghayat kepercayaan. Kecenderungan ini menurut Zudan juga mengacu amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpandangan bahwa penganut agama dan penghayat kepercayaan memiliki kedudukan sama sebagai warga negara Indonesia.
Sedangkan masyarakat yang menganut satu dari enam agama yang diakui pemerintah, maka format penulisan di KTP sesuai dengan nama agama yang dipilih. “Makanya saya coba simulasikan seperti ini: agama/kepercayaan: kalau dia Kristen kita tulis ‘Kristen’ di kk (kartu keluarga) atau KTP,” kata Zudan.
Berdasarkan data Kemdikbud, hingga akhir Juni 2018, tercatat sebanyak 187 organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar di Pemerintah. Ratusan organisasi penghayat kepercayaan tersebut berada di 13 provinsi dan tercatat sekitar 160 di antaranya yang masih aktif hingga saat ini.
Dari data tersebut Zudan mengatakan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) mencatat jumlah warga negara Indonesia yang mencatatkan diri sebagai penghayat kepercayaan sebanyak 138.791 orang.
“Dalam 'database', (warga) yang menuliskan jenis kepercayaannya itu ada 138.791 terhitung data per 30 Juni 2017,” ungkapnya.
Zudah yakin jumlah tersebut akan melonjak seiring amar putusan MK. Sebab selama ini banyak penghayat kepercayaan yang terpaksa mengisi kolom agamanya di KTP dengan satu dari enam agama yang diakui pemerintah demi berbagai alasan. “Ini nanti pasti akan cepat melonjak karena selama ini penghayat kepercayaan itu ada yang menuliskan Buddha, Kristen dan Islam dalam data kependudukannya,” ujar Zudan.
Baca juga:
- Tetua Baduy Minta Sunda Wiwitan Ada di Kolom Agama E-KTP
- Din Syamsudin: Selam Sunda Wiwitan Bukan Agama
Salah satu alasan Kemendagri mempertimbangkan untuk tidak menuliskan nama organisasi penghayat kepercayaan juga didasarkan amar putusan MK yang berpandangan bahwa penganut agama dan penghayat kepercayaan memiliki kedudukan sama sebagai warga negara Indonesia.
“Jadi, MK menyarankan untuk menulis saja 'kepercayaan' atau 'penghayat kepercayaan'. Ketika saya tanyakan ke Ketua MK, apakah boleh saya tuliskan jenis penghayatnya, MK mengatakan boleh sepanjang tidak ada masalah dan kesulitan teknis di kemudian hari, sepanjang tidak ada keributan dan pertengkaran antarkelompok karena organisasinya banyak sekali,” kata Zudan.
Selain hal itu Kemendagri juga tengah merancang pengubahan penulisan di kolom agama dari 'agama' menjadi 'agama/kepercayaan'. Zudan menjanjikan putusan pemerintah tentang rumusan penulisan kolom agama bagi penghayat kepercayaan akan selesai satu bulan sejak amar putusan MK.
Berharap Ditulis Spesifik
Penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan Dewi Kanti Setianingsih meminta pemerintah tetap menuliskan secara spesifik nama-nama kepercayaan yang dianut masyarakat. Hal ini karena menurutnya semangat dari putusan MK adalah keharusan menghormati identitas apa pun yang diyakini warganya “Harusnya tidak ada pembedaan dengan enam agama yang diakui,” kata Dewi kepada Tirto Minggu (13/11).
Dewi menyatakan MK merupakan satu-satunya lembaga negara yang bisa menafsirkan sebuah undang-undang konstitusional atau tidak. Dewi enggan berkomentar banyak mengenai pandangan pemerintah bahwa nama-nama kepercayaan selain enam agama resmi sejatinya merupakan nama organisasi. Ia berharap amar putusan MK bisa menjadi rujukan dan dipatuhi semua pihak termasuk lembaga negara.
“Saya tak mau berkomentar terhadap pernyataan Kemendagri karena tidak mendengar langsung, yang jelas administrasi kependudukan harus bebas dari diskriminasi apa pun,” ujarnya.
Baca juga: Diskriminasi Penganut Kepercayaan
Selasa (7/11) MK mengabulkan uji materi terhadap Pasal 61 ayat (1),(2), dan Pasal 64 ayat (1), (2) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi amar putusan yang dibacakan Ketua MK Arief Hidayat.
Dengan adanya keputusan ini maka para penghayat kepercayaan berhak menuliskan kepercayaannya di kolom agama/kepercayaan yang sebelumnya dilarang undang-undang.
Para pemohon uji materi yang terdiri dari: Nggay Mehang Tana selaku (pemohon I), Pagar Demanra Sirait (pemohon II), Arnol Purba ( pemohon III), dan Carlim (pemohon IV) merasa aturan yang terdapat dalam Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) Undang-Undang Administrasi Kependudukan merugikan mereka.
Baca juga:
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar