Menuju konten utama

Kemenangan Moon Jae-in Peluang Bagi Perdamaian Korsel-Korut

Moon Jae-in membawa harapan baru bagi perdamaian Korea. Presiden terpilih Korea Selatan ini diduga akan bisa memperbaiki hubungan dengan Korea Utara yang memburuk dalam satu dekade belakangan.

Kemenangan Moon Jae-in Peluang Bagi Perdamaian Korsel-Korut
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan istrinya Kim Jung-sook melambai kepada warga sekitar saat mereka tiba di istana kepresidenan Blue House di Seoul, Korea Selatan, Rabu (10/5). ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon

tirto.id - Kemenangan Moon Jae-in dari Partai Demokrat Korea di pemilihan presiden Korea Selatan membuka peluang perbaikan hubungan dengan Korea Utara.

Analisa tersebut disampaikan Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, Teguh Santosa, dalam keterangan tertulis, diterima Tirto, Sabtu (13/5/2017).

Dosen politik Asia Timur di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta itu menyampaikan bahwa Moon Jae-in dan partai yang dipimpinnya memiliki pendekatan berbeda terkait hubungan dengan Korea Utara dibanding Park Geun-hye dari Partai Saenuri yang konservatif.

Teguh menambahkan langkah politik Moon Jae-in tak akan jauh berbeda dengan dua Presiden Korsel sebelumnya yakni Kim Dae-jung (1998-2003) dan Roh Moo-hyun (2003-2008). Ketika berkuasa, Kim Dae-jung melakukan langkah politik penting bagi perdamaian Korea dengan mengunjungi Pyongyang. Saat itu ia bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Il--ayah dari dari pemimpin Korut saat ini, Kim Jong Un.

Kata Teguh, kedua pemimpin ini menandatangani kesepakatan bersama, belakangan dikenal sebagai Deklarasi Bersama Utara-Selatan yang diteken pada 15 Juni 2000.

“Deklarasi itu secara khusus membahas peluang penyatuan kembali kedua negara. Korea Utara menawarkan federasi pada level yang rendah, sementara Korea Selatan menawarkan bentuk persemakmuran. Kedua alternatif ini yang disepakati sebagai arah dari pembicaraan reunifikasi di masa depan,” ujar Teguh Santosa.

Deklarasi Bersama Utara-Selatan 15 Juni, kata Teguh, dijiwai oleh pernyataan sikap bersama yang ditandatangani pada 4 Juli 1972. Saat itu kedua Korea menyepakati pembicaraan unifikasi atau reunifikasi harus dilakukan melalui upaya independen bangsa Korea, tanpa keterlibatan kekuatan asing.

Ketika itu Korea Utara dipimpin oleh Kim Il Sung, sementara Korea Selatan dipimpin oleh Park Chng-hee yang merupakan ayah dari mantan presiden Korea Selatan Park Geun-hye.

Puncak dari kesepakatan ini, kedua Korea sepakat untuk mengerjakan proyek kawasan industri Kaesong di Korea Utara. Di kawasan itu, perusahaan-perusahaan Korea Selatan beroperasi, sementara pekerjanya berasal dari Korea Utara, demikian Teguh menjelaskan.

Namun hubungan baik ini terhenti setelah Korea Utara menarik diri dari Pembicaraan Enam Pihak atau Six Party Talk pada tahun 2009. Ketika itu Korea Selatan dipimpin oleh Lee Myung-bak yang berasal dari partai konservatif Saenuri. Korea Utara merasa pembicaraan damai tak perlu dilanjutkan karena di saat bersamaan Korea Selatan dan Amerika Serikat tetap memberikan tekanan melalui berbagai cara, termasuk latihan perang di kawasan perbatasan.

“Saya berharap pemimpin di kedua negara bersedia mengesampingkan hal-hal yang selama ini menghalang-halangi pembicaraan damai di Semenanjung Korea. Korea Utara ingin pembicaraan reunifikasi hanya dilakukan oleh bangsa Korea tanpa melibatkan external power, termasuk Amerika Serikat. Sementara Korea Selatan meminta Korea Utara tidak meningkatkan kapasitas nuklir,” Teguh menjelaskan.

Peran Amerika Serikat dan China

Menurut Teguh, sejatinya ketegangan di kawasan Asia Timur saat ini lebih dipicu oleh kebangkitan ekonomi dan militer Republik Rakyat Cina (RRC). Bagi Amerika Serikat, China merupakan ancaman yang jelas di depan mata, dan berpeluang besar besar mencuri dominasi di Asia Timur dan Pasifik.

Dari perspektif ini, Amerika Serikat tampaknya juga mempertimbangkan langkah yang lebih bersahabat dengan Korea Utara dalam rangka melimitasi dominasi Cina di Asia Timur.

“Tetapi untuk hal ini, Amerika Serikat tentu perlu mempertimbangkan baik-baik keinginan Korea Utara. Bila memang ingin memperkuat basis di Asia Timur dalam rangka menghadapi China, Amerika Serikat perlu mengembangkan pendekatan yang berbeda,” masih kata Teguh.

Dia mengatakan, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump yang sulit ditebak kelihatannya juga memikirkan hal itu. Pernyataan-pernyataan Trump belakangan ini walau masih samar-samar dan perlu dibaca dengan lebih teliti, agaknya bisa dianggap sebagai petanda ke arah yang lebih bersahabat.

“Memang agak bersayap, tapi saya kira pernyataan bahwa Trump merasa terhormat bila bertemu Kim Jong Un dan juga pujiannya pada Kim Jong Un sebagai pemimpin muda yang berhasil, patut kita pertimbangkan lagi sebagai penanda lanskap baru politik Asia Timur,” demikian Teguh Santosa.

Sementara itu, dalam kesempatan berbeda, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, di Jakarta, Jumat (12/5/2017) menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo akan menemui Presiden Cina, Xi Jinping pada 14 Mei mendatang. Menurut Arrmanatha, kedua kepala negara akan membahas isu dan situasi di Semenanjung Korea.

Kata Arrmanatha Nasir, Cina adalah kunci penting penyelesaian konflik Semenanjung Korea. Dalam konflik itu, Indonesia menjadi penengah karena memiliki hubungan diplomatik dengan kedua Korea, Korea Utara dan Korea Selatan.

"Posisi Indonesia dalam hal ini jelas bahwa kami memandang peran China sangat penting dalam memelihara stabilitas di Semenanjung Korea," ujar Arrmanatha.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN KOREA SELATAN atau tulisan lainnya dari Agung DH

tirto.id - Politik
Reporter: Agung DH
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH