Menuju konten utama

Kembalinya Sirkus Donald Trump Jelang Pilpres AS 2024

Meski dihujani dakwaan dan kasus, Donald Trump bakal mencalonkan diri lagi untuk Pilpres AS 2024. Masihkah ada yang bakal memilihnya?

Kembalinya Sirkus Donald Trump Jelang Pilpres AS 2024
Seorang pendukung Trump dengan tampilan kuku uniknya, memegang potongan wajah gambar Presiden Donald J. Trump saat aksi massa "Save America Rally" pada Rabu, 6 Januari 2021, di Washington. AP / Jacquelyn Martin

tirto.id - Wajah Donald J. Trump kembali menghiasi kolom media massa arus utama di penjuru dunia. Kali ini, pemberitaan sensasional tentang Trump bukan lagi soal aksinya yang spontan dan kontroversial dalam kancah politik luar negeri atau kicauannya di Twitter yang konyol dan emosional. Mantan presiden, pengusaha, sekaligus bintang reality show berusia 77 tahun tersebut tengah berhadapan dengan sederet kasus hukum yang berpotensi menjerumuskannya ke balik jeruji besi. Dia pun menjadi orang pertama dalam barisan pemimpin AS yang pernah didakwa di pengadilan.

Apakah kita harus terkejut akan kabar itu? Yang pasti, bukan Donald Trump namanya jika polahnya tidak mengundang decak heran khalayak luas.

Mari ingat lagi rekam jejak Trump selama ini. Selama berkuasa pada 2017-21, Trump mencatat rekor sebagai satu-satunya Presiden AS yang pernah menjalani sidang pemakzulan dua kali. Pertama karena tuduhan menyalahgunakan kekuasaan dengan melibatkan pihak asing untuk mempengaruhi Pemilu Presiden AS 2020. Kedua karena tuduhan “memicu pemberontakan” melalui pidato berapi-api yang mendorong pendukung garis kerasnya untuk menggeruduk gedung parlemen di Capitol Hill pada 6 Januari 2021.

Seiring administrasi Trump berakhir pada awal 2021 silam, berbagai survei mengungkap betapa tidak menyenangkan memori publik tentangnya. Kalangan sejarawan dalam survei C-SPAN sepakat untuk merangking Trump di urutan ke-41 dari 44 dalam Daftar Presiden AS Terburuk. Poin-poin paling jelek Trump berkaitan dengan “otoritas moral” dan “keahlian administratif”.

Sementara itu, survei PBS NewsHour/NPR/Marist menyebut bahwa 47 persen publik Amerika akan mengenang Trump sebagai salah satu presiden terburuk dalam sejarah negara mereka.

Terdapat sejumlah alasan yang membuat kepresidenan Trump dipandang paling buruk sepanjang masa. Menurut sejarawan Tim Naftali dalam artikelnya di The Atlantic, Trump sudah menomorduakan kepentingan keamanan nasional demi memenuhi ambisi politik dengan menjalin kemesraan bersama pemimpin-pemimpin otokratik (seperti Recep Tayyip Erdoğan, Kim Jong-un, Vladimir Putin), tidak kompeten dalam menangani pandemi Covid-19 bahkan meremehkan fakta-fakta ilmiah dasar tentang kesehatan publik, dan tentu saja berperan besar dalam memicu insiden 6 Januari.

Ketidaksukaan pada Trump juga pernah diungkapkan oleh anggota DPR dari sesama Partai Republikan Adam Kinzinger. Dia menyebutnya sebagai “presiden terburuk”, “pembohong”, dan “penipu” dalam satu sesi wawancara dengan CNN pada 2022 silam.

Tahun lalu, Trump juga dihujani gelombang kritik dari kubu Republikan karena performa layu partai dalam pemilu sela (mid-term elections, pemilihan anggota Senat dan DPR). Salah satu alasannya, Trump dianggap sudah menyokong kandidat-kandidat wakil rakyat yang kurang berpengalaman.

Bersamaan dengan itu, Trump yang akan maju nyapres di pemilu 2024 mulai mendapatkan tantangan cukup berarti dari bintang baru Republikan, Gubernur Florida Ron DeSantis.

Ingar-bingar di Manhattan

Citra sang mantan presiden semakin suram seiring marak pemberitaan tentang investigasi hukum atas rekam jejak perilakunya di masa lalu. Itu jelas berpotensi memecah konsentrasinya untuk persiapan pilpres tahun depan.

Dilansir dari New York Times, dewan juri di Pengadilan Kota Manhattan, New York, pada April silam sepakat untuk menjatuhkan 34 dakwaan kepada Trump. Di antara dakwaan itu terkait dengan kasus pemalsuan dokumen bisnis tingkat pertama—level tindak pidana paling rendah di negara bagian New York.

Dakwaan tersebut berkaitan dengan pembayaran uang dari Trump kepada pengacaranya, Michael Cohen, untuk menyogok pihak-pihak yang dipandang bisa mencoreng reputasi Trump menjelang Pilpres 2016.

Selama masa kampanye, Trump berusaha meredam segala narasi negatif, termasuk dengan cara membayar orang-orang tertentu agar tidak membocorkan informasi sensitif tentangnya kepada publik.

Merunut kronologinya, beberapa bulan menjelang Pilpres 2016, pihak Trump yang diwakili pengacaranya mengatur pembayaran senilai $130 ribu (nilainya hari ini sekitar Rp2 miliar) kepada Stormy Daniels. Aktris film dewasa tersebut mengklaim pernah melakukan hubungan seksual dengan Trump yang statusnya kala itu sudah beristri.

Pihak Trump juga disinyalir telah memberikan uang sogokan $150 ribu kepada perempuan lain yang sama-sama mengklaim punya riwayat mesra dengan Trump. Perempuan itu diyakini sebagai model majalah dewasa Playboy bernama Karen McDougal.

Membeli” kesetiaan seseorang dalam suatu perjanjian kerahasiaan—istilahnya non-disclosure agreement (NDA)--sebenarnya adalah praktik yang lazim dan tidak ilegal. Masalahnya, uang yang sudah lebih dulu dibayarkan oleh pengacara Trump tersebut kemudian ditagihkan kepada perusahaan Trump di New York dengan keterangan tulisan “ongkos jasa hukum”. Padahal, uang tersebut jelas bukan bagian dari pelayanan hukum.

Sederhananya, agar transaksi keuangan tidak terlihat mencurigakan, informasi pada dokumen bisnis itu pun dipalsukan.

Selain itu, menjadi pertimbangan penting juga di mata hukum; apakah uang tersebut dipakai untuk memoles citra personal Trump? Ataukah untuk menjaga reputasinya sebagai kandidat capres? Sebab, menurut aturan hukum di AS, segala pengeluaran anggaran yang berpotensi memengaruhi pengambilan suara dalam pemilu wajib dilaporkan.

Jaksa wilayah Manhattan Alvin L. Bragg akhirnya menyatakan bahwa Trump telah memalsukan dokumen bisnis untuk “menutupi informasi merugikan dan tindakan melanggar hukum dari rakyat Amerika sebelum dan sesudah Pemilu 2016”.

Sebelumnya, pengacara Trump sudah mengaku bersalah atas keterlibatannya dalam beberapa kasus (di antaranya mengemplang pajak, berbohong pada Kongres, dan melanggar aturan keuangan kampanye) dan telah selesai menjalani hukuman tiga tahun kurungan penjara sampai 2021.

Trump yang mengaku tidak bersalah terancam hukuman penjara juga seperti pengacaranya. Satu dakwaan kejahatan pemalsuan dokumen setidaknya dapat membuatnya dihukum maksimal sampai empat tahun penjara. Bagaimana hasilnya nanti masih akan ditentukan di pengadilan pada Maret 2024, bertepatan dengan agenda padat pemilu primer untuk menentukan perwakilan partai yang akan berlaga di pilpres.

Drama di Florida

Belum juga ingar-bingar uang sogokan di New York mereda, Pengadilan Federal Miami, Negara Bagian Florida, pada awal Juni kemarin menjatuhkan 37 dakwaan pada Trump atas tindakan pidana menyangkut penanganan dokumen rahasia negara.

Alih-alih dikembalikan kepada negara, sejumlah dokumen yang membersamai Trump selama menjabat presiden malah ikut diboyong pulang ke vila mewah pribadinya, Mar-a-Lago di Palm Beach, Florida. Semenjak awal 2021—atau kira-kira selama 20 bulan, Pemerintah Federal dan pihak Arsip Nasional berjuang untuk memperolehnya kembali.

Dilansir dari New York Times, sebanyak 15 kotak dokumen yang ditemukan di properti Trump terdiri atas informasi tentang persenjataan dan pertahanan milik AS dan sejumlah negara lain, program nuklir AS, kerentanan AS dan sekutu-sekutunya terhadap serangan militer, sampai rencana pembalasan terhadap serangan musuh. Termasuk juga dokumen yang dipegang Trump adalah korespondesi dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.

Selain telah menahan dokumen-dokumen tersebut, Trump juga dituduh pernah memamerkan isinya. Dokumen yang dia pamerkan di antaranya tentang rencana perang AS. Dokumen sensitif itu dia pamerkan pada seorang penulis di sebuah klub golf di New Jersey. Ada pula peta operasi militer rahasia yang ditunjukkan pada staf kepanitian politik.

Tindakan itu jelas-jelas melanggar hukum karena orang-orang itu tidak punya izin keamanan (security clearance) untuk mengakses rahasia negara.

Menurut hasil investigasi FBI pada Agustus tahun lalu, 11 ribu lebih dokumen yang sejumlah di antaranya berstatus top secret tersebut sudah disimpan dengan sembrono oleh Trump di kamar mandi, ruang penyimpanan bawah tanah, kontainer di lantai lemari kantor, sampai ruang ganti baju.

Menurut dokumen dakwaan, tindakan Trump tersebut dapat “membahayakan keamanan nasional AS, hubungan luar negeri, keamanan militer AS, dan sumber daya manusia serta kelangsungan metode pengumpulan bahan intelijen yang bersifat sensitif”.

Hukumannya tidak main-main. Setiap dakwaan, salah satunya melanggar UU Spionase, bisa berujung pada denda dan/atau hukuman penjara maksimal antara 5 sampai 20 tahun. Trump, yang lagi-lagi mengaku tidak bersalah, masih harus membela dirinya di pengadilan pada 14 Agustus mendatang.

Infografik Kasus Hukum Donald Trump

Infografik Kasus Hukum Donald Trump. tirto.id/Quita

Sederet Tantangan Lainnya

Sebagaimana serial drama atau sinetron bersambung, kisah apes Trump tidak hanya berhenti pada kasus uang sogokan di New York dan dokumen rahasia di Florida. Sampai sekarang, Trump masih disorot dalam sederet proses hukum lain.

Di Pengadilan Sipil New York, Trump masih terbelit kasus penipuan. Pada September tahun lalu, Jaksa Agung New York Letitia James menuntut Trump—beserta jaringan bisnis keluarga termasuk tiga anaknya—karena telah menipu bank dan perusahaan asuransi dengan menggelembungkan valuasi pada 200 aset perusahaan sampai miliaran dolar lebih besar.

Tujuannya sederhana: dengan melaporkan nilai aset lebih tinggi, mereka berpotensi dapat pinjaman dan perlindungan asuransi lebih banyak. Pengadilan pun masih menanti Trump pada Oktober. Bukan tidak mungkin, putusan hakim bisa membuat Trump dan anak-anaknya dilarang mengoperasikan bisnis lagi di gemerlap Kota New York.

Di Atlanta, Negara Bagian Georgia, tim jaksa masih menginvestigasi Trump dan kawan-kawannya terkait apakah mereka melanggar hukum karena berusaha membalikkan hasil Pemilu Presiden 2020 yang dimenangkan oleh kandidat Partai Demokrat. Investigasi bermula dari perintah Trump pada pejabat Georgia untuk “mencari-cari” tambahan suara yang bisa menguntungkan dirinya.

Menurut informasi sementara, dewan juri akan mengeluarkan dakwaan untuk belasan orang, termasuk Trump, paling cepat pada Agustus mendatang.

Sejak tahun lalu, Pemerintah Federal melalui Departemen Kehakiman (Department of Justice/ DOJ) juga tengah menginvestigasi peran Trump dan lingkaran terdekatnya dalam menghalang-halangi proses alih kekuasaan di gedung Kongres yang berujung pada penggerudukan oleh massa pendukung Trump pada 6 Januari 2021.

Sementara itu, baru saja Mei kemarin, dewan juri di Pengadilan Federal Manhattan, New York, menyatakan Trump sebagai pelaku serangan seksual dan pencemaran nama baik terhadap jurnalis perempuan E. Jean Carroll. Karena tergolong kasus sipil, Trump tidak diancam hukuman penjara melainkan harus membayar uang ganti rugi $5 juta (sekitar Rp74 miliar) kepada Carroll.

Masih Dicintai Pendukungnya?

Meskipun dihujani kasus hukum, Trump masih diidolakan sebagai kandidat capres 2024 oleh sejumlah besar pemilih terdaftar di Partai Republikan. Menariknya, Konstitusi AS memang tidak melarang orang yang didakwa atau dihukum oleh pengadilan untuk maju nyapres.

Pada 1920, misalnya, ada Eugene V. Debs, kandidat capres dari Partai Sosialis, yang bisa mendapat tiga persen dukungan suara meskipun sedang mendekam di penjara.

Survei CBS News Poll pada awal Juni silam mengungkap bahwa 80 persen responden Republikan percaya bahwa Trump seharusnya masih bisa jadi presiden lagi meskipun kelak dihukum di pengadilan.

Selain itu, 76 persen responden menganggap dakwaan-dakwaan terhadap Trump dimotivasi oleh kepentingan politik. Persentase yang sama besarnya juga berharap, apabila Trump tidak menang pilpres 2024, penggantinya adalah kandidat yang mirip dengan Trump.

Masih pada awal Juni, survei Reuters/Ipsos mendapati Trump sebagai figur yang paling dijagokan sebagai capres Republikan dengan 43 persen dukungan dari pemilih Republikan, jauh di atas suara untuk Gubernur Florida Ron DeSantis yang didukung 22 persen suara.

Akan tetapi, menurut survei lain, masih lebih banyak publik Amerika yang enggan menyambut Trump kembali ke panggung politik. Berdasarkan perhitungan NPR/PBS NewsHour/Marist pada Maret silam, sebanyak 6 dari 10 responden ogah punya Trump sebagai presidennya lagi.

Baca juga artikel terkait AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Fadrik Aziz Firdausi