tirto.id - Gugatan agar pemerintah segera mengungkap kasus pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir Said Thalib kembali menguat setelah Pollycarpus Budihari Priyanto meninggal dunia karena Corona pekan lalu. Polly, eks pilot senior Garuda Indonesia, adalah terpidana pembunuhan Munir yang bebas murni dua tahun lalu.
“Sepatutnya Jokowi sebagai Presiden melanjutkan komitmen kebangsaan untuk mengungkap kasus ini agar pembunuhan politik tidak berulang,” kata Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam kepada reporter Tirto, Senin (19/10/2020).
September empat tahun lalu, saat bertemu dengan pakar dan praktisi, Jokowi menyinggung soal reformasi hukum yang salah satunya adalah penuntasan kasus-kasus masa lalu. “Waktu itu yang disebut adalah kasus almarhum Munir,” kata Juru Bicara Presiden saat itu, Johan Budi.
Jokowi kembali menyinggung kasus Munir sebulan kemudian. Ia menginstruksikan Jaksa Agung--waktu itu dijabat HM Prasetyo--untuk menelusuri keberadaan dokumen hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang disebut-sebut hilang. Jika ditemukan dan di sana “ada novum (bukti baru),” kata Jokowi saat itu, “ya, diproses hukum.”
TPF dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 atas desakan berbagai pihak. TPF dibentuk guna membantu kepolisian mengusut keterlibatan oknum di lingkungan direksi PT Garuda Indonesia dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Saat itu, pengungkapan kasus pembunuhan Munir masuk dalam agenda 100 hari kerja Presiden SBY.
Laporan yang tuntas pada Juni 2005 dan diserahkan kepada SBY ini menyebut “empat lapis pelaku yang terlibat dalam pembunuhan.” TPF juga merekomendasikan pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan ke masyarakat, tapi tidak dilakukan SBY, pun dengan Jokowi.
Kontras, LSM yang didirikan oleh Munir, sudah berkali-kali mendesak Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) membuka hasil investigasi TPF. Namun, respons dari Kemensetneg lamban. Akhirnya Kontras menempuh langkah hukum. Pada 28 April 2016, mereka mengajukan gugatan keterbukaan informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP) dengan nomor register 025/IV/KIP-PS-2016, dan menang. Pemerintah diputus segera mengumumkan hasil penyelidikan TPF, tapi toh tak juga dilakukan.
Pada 5 November 2019, Kemensetneg diadukan lagi, kali ini oleh istri Munir, Suciwati, ke Ombudsman RI atas dugaan malaadministrasi karena dianggap telah menghilangkan dokumen TPF.
Saat itu Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu menyatakan ada potensi diskriminatif dalam pengungkapan kasus; potensi penyimpangan prosedur karena dokumen TPF dinyatakan hilang; dan potensi penundaan berlarut.
“Kalau dokumen TPF saja tidak mau dibuka, apa lagi yang lain? Sebenarnya pada masa pemerintahan sebelum Jokowi isi TPF sudah dijalankan, misalnya menjadikan Muchdi (Muchdi PR, mantan Deputi V BIN yang pernah menjadi terdakwa kematian Munir) tersangka. Lantas sekarang malah mundur, buka dokumen saja tak mau,” ucap Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati ketika dihubungi reporter Tirto, Senin.
Lewat laman resmi tahun 2016 lalu, Kemensetneg mengatakan mereka “tidak memiliki, menguasai, dan mengetahui keberadaan laporan akhir TPF Munir.” Ini berbeda dengan pengakuan dua anggota TPF saat bersaksi di persidangan gugatan di KIP, yang menyatakan laporan tersebut sudah diserahkan secara langsung kepada Presiden SBY di Istana Negara.
Mantan Mensesneg Sudi Silalahi mengatakan meski tidak menyimpan dokumen asli, ia mengaku telah menyerahkan salinan ke pemerintahan Joko Widodo. “Diyakini copy tersebut sesuai dengan naskah aslinya,” katanya.
Kedaluwarsa
Polly mati dua tahun sebelum kasus Munir kedaluwarsa. Pasal 78 ayat (1) KUHP mengatur kedaluwarsa sebuah kasus yang dalam konteks Munir adalah: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Ketua Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) Usman Hamid menyatakan pengusutan kasus Munir tak boleh berhenti karena penelusuran kepolisian, TPF, serta proses dan amar putusan pengadilan dapat dikembangkan sebagai bukti untuk melanjutkan penuntasan kasus.
“Kendala dalam kasus ini tidak terletak pada teknis pembuktian, melainkan kepada kehendak politik negara dalam mengupayakan langkah hukum penyelesaian kasus,” kata Usman.
Hal serupa dikatakan Asfin. Menuutnya semestinya Jokowi bisa mengusut perkara, sebagaimana SBY menginstruksikan Kapolri dan Jaksa Agung kala itu untuk bekerja optimal. Lalu, bila penelusuran dirasa mandek dan diperlukan investigasi lanjutan, maka TPF dapat kembali dibentuk.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino