Menuju konten utama
17 Maret 1406

Sejarah Hidup Ibn Khaldun yang Meninggalkan dan Menemani Penguasa

Sebelum meninggal, Ibn Khaldun sempat berdiskusi dengan Timur Lenk yang sedang menyerang jazirah Arab.

Sejarah Hidup Ibn Khaldun yang Meninggalkan dan Menemani Penguasa
Ilustrasi Mozaik Ibn Khaldun. tirto.id/Sabit

tirto.id - Di benteng Qal’at Ibn Salama yang sangat terisolasi, Ibn Khaldun (1332-1406) mengawali babak baru dalam kehidupannya. Setelah menghabiskan seluruh usia dewasanya dalam intrik politik, mengabdi pada berbagai penguasa di Afrika Utara dan Andalusia, berhubungan dengan para bangsawan dan para pemimpin suku, dia siap merumuskan makna sejarah, khususnya sejarah kebangkitan negara.

Di dalam benteng inilah—menurut Mohammad R. Salama dalam Islam, Orientalism, and Intellectual History: Modernity and the Politics of Exclusion since Ibn Khaldun (2011)—Ibn Khaldun menulis Muqaddimah, karya besarnya tentang sejarah bangsa Arab dan Berber. Dia berkata, “Saya menyelesaikan pendahuluannya dengan cara yang tidak biasa (al-nahw al-gharib). Saya terkondisikan oleh keterpencilan itu” (Salama, 2011: 79).

Setelah empat tahun mengucilkan diri dan menghasilkan prestasi keilmuan yang mengagumkan, Ibn Khaldun ingin kembali ke Tunisia untuk melanjutkan tulisannya ihwal sejarah bangsa-bangsa Arab, Berber, dan Zanata. Dalam fase menulis berikutnya, dia perlu menggunakan perpustakaan demi memastikan sumber-sumber historisnya. Pelbagai sumber itu hanya bisa didapatkan di pusat-pusat kota besar (Salama, 2011: 80).

Oleh karena itu, Ibn Khaldun terpaksa berdamai dengan Sultan Tunisia, Abu al-‘Abbas, yang ia kirimi surat tentang keinginannya untuk kembali. Sebelumnya, dia telah kehilangan kepercayaan dari Abu al-‘Abbas dan harus melarikan diri ke Biskra supaya tidak ditangkap, tetapi adik laki-lakinya, Yahya, tetap ditangkap dan dipenjarakan. Abu al-‘Abbas tidak saja mengizinkan Ibn Khaldun kembali ke Tunisia, tapi juga memberi perlindungan dan bahkan, seperti masa lalu, berkonsultasi tentang pelbagai masalah negara dengannya.

Menurut Syed Farid Alatas dalam bukunya Ibn Khaldun: Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi (2017), Ibn Khaldun kembali ke Tunisia pada Sya’ban 780 H/1378 M, lantas berkumpul kembali dengan keluarganya. Di sana, dia dapat melanjutkan tulisannya, melengkapi tulisan sejarahnya tentang bangsa Berber dan Zanata serta bagian-bagian perihal masa pra-Islam dan dinasti-dinasti Muslim. Salinan dari bagian-bagian yang telah selesai ditulis hingga saat itu, dipersembahkan kepada Abu al-‘Abbas dengan dilampiri sebuah pujian panjang (Alatas, 2017: 24).

Tidak seperti ketika dia tinggal di benteng Qal’at Ibn Salama, Ibn Khaldun tidak bisa menghindar dari melayani kepentingan Sultan. Abu al-‘Abbas meminta Ibn Khaldun untuk menemaninya selama perang melawan pemberontak pada 783 H/1381 M, yang dia lakukan dengan uring-uringan. Demi menghindari tugas-tugas seperti itu, Ibn Khaldun memutuskan meninggalkan Tunisia dan meminta izin dari Sultan untuk pergi berhaji. Ibn Khaldun meninggalkan Tunisia pada Sya’ban 784 H/Januari 1382 M.

Menjadi Hakim Maliki di Mesir

Tak mampu mewujudkan niatnya untuk pergi berhaji, Ibn Khaldun melanjutkan perjalanan ke Kairo, dan tiba di sana pada awal Dzulqa’dah 784 H/Januari 1382 M. Mungkin ini perjalanan perdana Ibn Khaldun ke Mesir, tetapi dia sudah terkenal di sana. Banyak sarjana telah mendengar tentang Muqaddimah dan mengagumi gaya dan orisinalitasnya.

Ibn Khaldun sungguh berbunga-bunga tatkala para pelajar antusias menimba pengetahuan darinya. Dia diizinkan menghadap Sultan al-Tahir al-Barquq, yang menyambutnya, bahkan memberinya gaji yang memuaskan dan berbagai pengangkatan jabatan nan menggiurkan (Alatas, 2017: 25).

Pada 786 H/1384 M, dia ditunjuk sebagai hakim mazhab Maliki, sebuah penunjukan yang dengan enggan diterimanya karena mengkhawatirkan adanya komplotan dan intrik yang bakal mengarah kepadanya. Ibn Khaldun mendedahkan bagaimana dia harus berjuang melawan sistem yang korup.

Dia berusaha keras menegakkan hukum secara adil dan tidak memihak, membela hak-hak mereka yang lemah, mempertimbangkan bukti secara cermat, membersihkan campur tangan pihak-pihak, dan menguji kejujuran para saksi. Ibn Khaldun menentang sebuah sistem yang membiarkan penyelewengan yang dilakukan oleh kroni-kroni para penguasa dan pembesar. Dia bertindak melawan penyalahgunaan seperti itu. Penegakan hukum yang tegas dan tidak memihak ini memenangkannya atas banyak musuh.

Di saat bersamaan, Ibn Khaldun dirundung duka mendalam karena kematian istri dan anak-anaknya. Ahmad Syafi’i Ma’arif mendedahkan dalam Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (1996), ketika Ibn Khaldun pergi ke Mesir, keluarganya tetap tinggal di Tunisia dan ditahan oleh Sultan dengan harapan dapat memaksa Ibn Khaldun kembali.

Melalui campur tangan Sultan al-Tahir al-Barquq, mereka diizinkan meninggalkan Tunisia, tetapi hilang dalam perjalanan ke Mesir ketika kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Kemudian, Ibn Khaldun menerima beberapa pengangkatan lainnya dan dapat pergi haji pada 789 H/1387 M, lantas kembali ke Kairo pada Jumada 790 H/1388 M (Ma’arif, 1996: 11).

Ketenangan hidup yang dinikmati Ibn Khaldun terusik oleh serangkaian pemberontakan yang mengakibatkan kekalahan al-Tahir al-Barquq. Untunglah sang raja meraih kembali tahtanya. Ibn Khaldun mendiskusikan kejadian-kejadian ini dalam kerangka yang ditetapkannya dalam Muqaddimah. Dia sendiri merasakan dampak langsung dari kerusuhan sejarah dinastik. Ketika al-Tahir al-Barquq jatuh, Ibn Khaldun kehilangan pelindungnya. Semua kerugian semasa kejatuhan Sultan tergantikan ketika al-Tahir al-Barquq meraih kembali kedudukannya.

Namun, walaupun Sultan memegang kendali kekuasaannya, ada masa-masa Ibn Khaldun dibebastugaskan dari jabatan hakim Maliki, karena intrik dan penentangan berbagai anggota istana terhadapnya. Saat pertentangan internal di dalam istana mereda, Ibn Khaldun diangkat kembali, seperti yang terjadi pada Ramadan 801 H/Mei 1399 M. Akan tetapi, pada Muharram 803 H/September 1400 M dia dicopot lagi dari jabatannya akibat intrik dari lawan-lawannya (Ma’arif, 1996: 12).

Infografik Mozaik Ibn Khaldun
Infografik Mozaik Ibn Khaldun. tirto.id/Sabit

Timur Lenk Menyerang Kawasan

Sementara itu, tersiar kabar mengerikan bahwa Timur Lenk telah menyerbu Suriah dan merebut Aleppo pada awal 803 H/1400 M, mengakibatkan banjir darah dan kehancuran yang luar biasa. Orang-orang Mesir merasa ketakutan dan segera menghimpun kekuatan untuk mengusir bangsa Tartar. Ibn Khaldun menemani mereka, meski tidak terlalu bersemangat untuk berperang. Dia dipaksa oleh Sultan untuk pergi melalui kepala staf istana, Yishbak, yang membujuknya dengan rayuan dan hadiah.

Menurut Isma’il R. Al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi dalam Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (2003), Ibn Khaldun berangkat bersama pasukan Mesir pada Maulud 803 H/5 Oktober 1400 M. Setiba di Damaskus, pecah perang antara kedua pihak dan berlangsung selama lebih dari satu bulan, tetapi tidak ada pihak yang menang secara mutlak.

Selama masa perang itu, Sultan al-Tahir al-Barquq mengendus adanya komplotan yang berniat menggulingkannya di Kairo, yang memaksanya meninggalkan perang di Suriah dan segera kembali ke Kairo. Ibn Khaldun berada dalam posisi sulit, ia khawatir nasibnya apabila tidak ada perdamaian di antara kedua pihak (al-Faruqi & al-Faruqi, 2003: 343).

Demi menyelamatkan diri, Ibn Khaldun memutuskan menemui Timur Lenk dan mendapat izin untuk bertemu dengannya. Menurut catatan Ibn Khaldun, mereka berdiskusi cukup lama; antara lain Timur Lenk bertanya ihwal pekerjaan Ibn Khaldun dan tentang sejarah Afrika Utara. Timur Lenk tentulah cukup terkesan dengan pengetahuan ensiklopedis Ibn Khaldun sehingga memerintahkannya menulis sejarah Afrika Utara.

Sekembali ke Kairo, Ibn Khaldun ditunjuk lagi menjadi hakim pada akhir 803 H. Akan tetapi, sekali lagi, intrik membuatnya dipecat dari jabatannya pada tahun berikutnya. Jadi, Ibn Khaldun ditunjuk sebagai hakim Maliki sebanyak enam kali.

Pada 26 Ramadan 808 H/17 Maret 1406 M, beberapa pekan sebelum penunjukan terakhirnya, sejarawan yang cemerlang dan sang pelopor ilmu masyarakat ini wafat dalam usia 74 tahun, pasca menjalani keriuhan kehidupan politik dan kecemerlangan ilmu. Dia dikubur di pemakaman sufi di luar Bab al-Nasr, Kairo, Mesir (Alatas, 2017: 28).

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 11 Juni 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait IBN KHALDUN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Humaniora
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh