Menuju konten utama
17 Maret 1406

Ibn Khaldun: Sang Perintis Ilmu Sosial Modern

Ibn Khaldun merintis ilmu sosial modern lima abad sebelum Bapak Sosiologi Aguste Comte.

Ibn Khaldun: Sang Perintis Ilmu Sosial Modern
Ibnu Khaldun. tirto.id/Nauval

tirto.id - Tidak ada yang magis dari sejarah, perubahan abadi, spesies manusia dan masyarakat berkembang dari konflik. Pandangan itu dikemukakan Ibn Khaldun, ratusan tahun sebelum Giambatista Vico mengeluarkan tesis tentang bangkit dan runtuhnya peradaban, sebelum Charles Darwin menerbitkan The Origin of Species, dan mendahului pernyataan Karl Marx bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas.

Bergelut dengan tradisi filsafat Yunani dan pelbagai kronik sejarah dunia yang ditulis oleh kaum cendekia Laut Tengah pada masanya, Ibn Khaldun sampai pada pertanyaan-pertanyaan: Mengapa sebuah masyarakat punah? Mengapa orang berkumpul dan bercerai-berai? Apa dampak kekuasaan pada subyek yang dikuasai?

Para sejarawan pada zaman Khaldun—yang hanya sedikit berbeda dari penulis-pelancong—berasyik-masyuk mencatat rentetan peristiwa yang sering mereka campur-baurkan dengan mitos, dongeng, keyakinan, atau pesan-pesan sponsor dari penguasa dan elit politik. Bagi Khaldun, pencampurbauran semacam itu sedikit sekali membantu memahami perubahan masyarakat.

Satu contoh yang paling sering dirujuk adalah sanggahan Ibn Khaldun terhadap al-Mas'udi dan sejarawan Arab lainnya yang berargumen tentara Musa yang memimpin tentara Israil berjumlah 600.000 laki-laki berusia 20 tahun ke atas. Menurut Khaldun, pandangan ini keliru. Jauh sebelum Musa, Yakub dan keluarganya masuk ke Mesir dengan jumlah rombongan 70 orang.

Jarak antara Musa dan Yakub sendiri hanya empat generasi. Sementara, ketika sudah mapan di bawah Sulaiman—yang datang beberapa generasi setelah Musa—kerajaan Israil hanya memiliki 12.000 pasukan dan 1400 ekor kuda.

Lantas dari mana jumlah 600 ribu personel pasukan? Bagaimana pula menjelaskan keberadaan ratusan ribu pasukan di tanah sesempit kerajaan Israil? Kekeliruan Mas’udi, menurut Khaldun, terjadi ketika sejarawan mengabaikan realitas material dan memilih untuk percaya mitos.

Politik yang Melelahkan

Studi-studi sejarah bagi Khaldun harus terbebas dari prasangka dan keyakinan pribadi, serta kepentingan politik, untuk menyenangkan penguasa, misalnya. Memetakan rentetan perubahan dalam sebuah kronologi adalah satu hal, sementara menjabarkan dan menjelaskan “[...] negara dan hierarki, pekerjaan, gaya hidup, sains, kerajinan tangan dan hal-hal lain yang terjad [...] dalam berbagai keadaan" adalah hal lain yang menjadi tugas sejarawan sejati, seperti ditulis Khaldun dalam magnum opusnya Muqaddimah (1377).

Namun, jiwa sarjana Khaldun dan sikapnya yang mencurigai kekuasaan juga terkait erat dengan pengalamannya dekat dengan istana Ibn Khatib, penguasa Granada dan Fez.

Lahir di Tunis pada 27 Mei 1332, Khaldun dididik layaknya kelas terpelajar saat itu: hafalan Alquran, hadis, puisi, tata bahasa, retorika, dan hukum. Garis keturunan Khaldun dikabarkan berasal dari Hadramaut, Yaman, yang berimigrasi ke Andalusia Spanyol dan melahirkan banyak intelektual, politikus, dan perwira militer yang mengabdi pada dinasti Ummayah, al-Murabittun dan al-Muwahiddun. Ayah Khaldun, berbeda dari moyangnya, memutuskan tidak terlibat dalam kehidupan istana. Adapun ibunya meninggal dunia ketika wabah bubonik dari Asia Tengah menyapu Tunis.

Khaldun masuk ke dunia politik pada usia muda dan, sialnya, pada masa dinasti muslim Spanyol tengah dilanda cekcok internal. Dinasti al-Muwahiddun yang memegang kekuasaan di Granada dan Afrika Utara mulai menurun kejayaannya. Upaya merebut kembali wilayah-wilayah yang ditaklukkan dinasti-dinasti muslim juga tengah digencarkan oleh para penguasa Kristen.

Khaldun pernah jadi birokrat istana, tapi kemudian ia dipenjara lantaran dituduh pemberontak, sampai seorang penguasa memulihkan jabatannya lagi. Siklus ini dialaminya berkali-kali hingga akhirnya Khaldun mengaku lelah, pulang kampung, dan memilih jalan sunyi pengetahuan.

Zaman kisruh dan pilihan Khaldun mengasingkan diri dalam rimba pengetahuan membuatnya tak sengaja merintis sebuah disiplin modern yang kini kita kenal sebagai sosiologi. Menurut Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History: Selections from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis (1332-1406) (1950), Khaldun percaya ada aturan-aturan yang berlaku atas individu di setiap masyarakat.

Aturan-aturan ini merupakan konstruksi sosial yang terwujud dalam praktik sehari-hari dan tidak selalu disadari oleh individu, tapi bisa dipetakan melalui pengumpulan data dan analisis. Dus, kondisi geografis, adat-istiadat, dan politik dalam tiap masyarakat dipertimbangkan, diklarifikasi, dan diperbandingkan.

Infografik Mozaik Ibn Khaldun

Infografik Mozaik Ibn Khaldun. tirto.id/Nauval

Sosiologi Ibn Khaldun

Sejarah mencatat kelahiran sosiologi pada abad 19 sebagai respons akademik terhadap perkembangan masyarakat Eropa setelah Revolusi Industri dan Revolusi Perancis. Dua revolusi ini berdampak besar pada perubahan pembagian kerja dalam masyarakat agraris ke industri, kemunculan kota-kota besar, urbanisasi, tumbangnya monarki, digugatnya privilese kaum nigrat. Para ilmuwan abad itu memiliki kegusaran yang sama seperti Khaldun yang juga hidup pada zaman bergolak dan kekuasaan yang labil.

Satu konsep yang menonjol dalam pemikiran Khaldun adalah ashabiyah, yang mirip gagasan Emile Durkheim tentang “kesadaran kolektif”, atau lebih persisnya “solidaritas mekanis”—lawan dari “solidaritas organik”—yang ditulisnya dalam Pembagian Kerja dalam Masyarakat (1893). Karena ashabiyah, orang bisa bersatu melawan sekelompok manusia lainnya. Ashabiyah bekerja dengan penguatan nilai-nilai dan norma yang dianut suatu kelompok. Kendurnya ashabiyah dapat menyebabkan rusaknya masyarakat secara keseluruhan.

Kasus yang diajukan oleh Khaldun adalah pertentangan antara masyarakat nomad dan perkotaan. Baginya, sejarah adalah siklus pertarungan abadi dua kelompok ini. Menurut Khaldun, orang-orang nomaden “kasar, biadab dan tidak berbudaya, dan […] bertentangan dengan peradaban.” Namun di saat yang sama, orang-orang nomaden memiliki ikatan sosial yang kuat, tangguh, hemat, dan tak rusak moralnya, cinta kebebasan, dan mandiri, sehingga mereka melahirkan prajurit-prajurit papan atas.

Suku-suku Bedouin, Berber, dan Kurdi, baik dari zaman kekuasaan Islam maupun pra-Islam merupakan contoh dari orang nomaden. Adapun kebudayaan di kota-kota, kendati menghasilkan puncak-puncak sains, filsafat, dan seni, melahirkan penduduk yang lembek dan lupa cara membela diri. Solidaritas antar-warga sangat lemah dan perlindungan atas agresi militer diserahkan pada negara.

Menurut Khaldun, rendahnya ashabiyah inilah yang menyebabkan peradaban yang maju mudah diluluhlantakkan orang-orang barbar. Sementara itu, lemahnya solidaritas mekanis di masyarakat perkotaan, dalam karya Durkheim, dibayar dengan tingginya tingkat bunuh diri.

Menghilangnya Ibn Khaldun, yang meninggal pada 17 Maret 1406, tepat hari ini 614 tahun lalu, dari peta pengetahuan Barat adalah hal yang tidak lazim, apalagi saat ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Ibn Rusyd dan Ibn Sina dirayakan. Syed Farid Alatas, guru besar sosiologi pada National University of Singapore, dalam sebuah makalahnya, "Ibn Khaldun and Contemporary Sociology" (2006) menyebutkan pelupaan Ibn Khaldun disebabkan oleh pandangan bahwa Baratlah yang merintis ilmu sosial—suatu pandangan yang berkembang bersamaan dengan kolonialisme yang juga memanfaatkan ilmu sosial sebagai alat kekuasaan.

Namun, Alatas juga menambahkan bahwa pada zaman ketika Ibn Khaldun hidup, murid-muridnya tak tertarik menerapkan gagasan-gagasan Khaldun untuk membaca masyarakat mereka sendiri, apalagi mengembangkannya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 30 Mei 2017 sebagai bagian dari rangkaian serial Ramadan Al-Ilmu Nuurun. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait PERADABAN ISLAM atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Humaniora
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Ivan Aulia Ahsan