tirto.id - Warga keturunan Tionghoa dihantam, sejumlah toko dibakar, militer dikerahkan untuk meredam demonstrasi mahasiswa, dan pemuda yang sulit diprediksi jumlahnya itu menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut Presiden Soeharto mundur. Situasi memang kacau, tapi tak bisa menghentikan Soeharto untuk pergi ke Mesir bertemu Presiden Hosni Mubarak.
Mei 1998 adalah puncak demonstrasi mahasiswa di Indonesia. Soeharto, melalui Menteri Dalam Negeri Hartono, mengeluarkan pernyataan yang lebih menyerupai ancaman. Pernyataan itu dimuat di halaman utama koran Republika, 2 Mei 1998.
“Jika Tidak Mau Mengerti, Dihadapi dengan Tindakan,” demikian pernyataan Soeharto.
Situasi politik di Indonesia kian memanas karena Soeharto tetap ingin bertahan hingga tahun 2003 sesuai periode jabatan 1998-2003. Demonstrasi meledak di mana-mana, termasuk Yogyakarta. Peristiwa yang dikenal dengan Tragedi Gejayan 8 Mei 1998 menewaskan satu orang bernama Moses Gatotkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Moses tidak meninggal karena kecelakaan. Tubuhnya yang bersimbah darah tergeletak di jalanan dan penuh bekas pukulan. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Moses mengembuskan napas terakhir. Diduga, mahasiswa Universitas Sanata Dharma ini kehilangan nyawa akibat pukulan benda tumpul di kepalanya. Dari telinga dan hidungnya, darah segar terus mengalir.
“Korban mengalami retak di tulang tengkorak,” ungkap salah satu dokter Rumah Sakit Panti Rapih yang menerima Moses Gatotkaca, dikutip dari buku Lengser Keprabon (1998) karya Octo Lampito.
Peristiwa itu tampak tak menjadi agenda penting daripada Soeharto. Dua hari setelah kejadian itu, 10 Mei 1998, Soeharto memutuskan terbang ke Mesir untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15 di Kairo, Mesir.
Ketika hendak berangkat, Soeharto justru mengingatkan agar mahasiswa tidak ricuh. Karena bagaimanapun, aparat keamanan, seperti polisi dan TNI, sudah disiapkan Soeharto untuk mengambil tindakan tegas.
“Kalau mereka tidak melanggar hukum, dengan sendirinya tidak ada tindakan,” kata Soeharto menjelang pamit di Bandara Halim Perdanakusuma untuk menghadiri KTT G-15 ke 8.
Kendati mengaku tentang situasi dalam negeri, Soeharto justru menyalahkan media karena baginya, pemberitaan telah menambah rasa panik masyarakat. Tanpa ucapan duka cita pada Moses, Soeharto malah berujar “Sekarang saya minta tanggung jawab saudara-saudara untuk lebih menenangkan keadaan ini.”
Di Kairo, yang menyambut Soeharto adalah tuan rumah, Hosni Mubarak. Soeharto menginap di Hotel bintang empat Sheraton Heliopolis. Dalam rangkaian acara KTT G-15, Soeharto sempat menggunting pita bersama sejumlah pimpinan negara lain untuk meresmikan pameran dan berkunjung ke kota Sharm El Sheikh.
Demonstrasi yang kian besar di Indonesia akhirnya membuat Soeharto goyah. Rencananya pulang tanggal 15 Mei 1998 dipercepat menjadi 14 Mei. Mubarak juga ikut mengantar Soeharto ke bandara Kairo. Momen itu adalah pertemuan terakhir dua diktator negara dunia ketiga. Seminggu setelahnya, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden dan tak pernah lagi berjumpa dengan Mubarak.
Sebelumnya, Mubarak juga sempat berkunjung ke Indonesia pada April 1983. Kala itu, Mubarak baru menjabat presiden selama dua tahun. Kunjungan Mubarak punya satu tujuan besar: mengembalikan Mesir ke Liga Arab. Enam tahun setelah kunjungannya ke Indonesia, keinginan itu akhirnya menjadi kenyataan.
Menyusul Soeharto Lengser
Sama-sama dikenal sebagai diktator yang korup, Mubarak didemo secara besar-besaran dan lengser tahun 2011. Dari arus waktu, dia lebih lama berkuasa daripada Soeharto. Tapi jika ditilik dari masa jabatan, Mubarak hanya berkuasa selama 30 tahun. Soeharto lebih lama dua tahun berkuasa.
Mubarak lahir di wilayah Al-Minufiyah, utara Mesir, pada 4 Mei 1928 silam. Seperti Soeharto, dia sempat berkiprah di militer, tepatnya sebagai komandan Angkatan Udara Mesir pada periode 1972 -1975 dan naik pangkat menjadi Marsekal Kepala Angkatan Udara Mesir pada 1973.
Kiprahnya sebagai Angkatan Udara Mesir yang paling terkenal adalah serangan pada tentara Israel di Terusan Suez. Dengan serangan tiba-tiba itu, pilot Mesir di bawah arahan Mubarak berhasil memukul mundur sebagian besar pasukan musuh.
Tahun 2002, The Telegraph mencatat Mubarak sebagai tokoh kunci selama perang Oktober 1973 melawan Israel. Tahun 1975, Anwar Sadat, Presiden Mesir ketiga kala itu, mengangkat Mubarak menjadi Wakil Presiden Mesir. Tugas pertama Mubarak adalah mengurusi berbagai perjanjian dengan negara-negara Arab dan Timur Tengah terkait perang melawan Israel.
Jabatan Presiden Mesir keempat ia peroleh setelah Sadat diserang oleh kelompok Jihad Islam yang menentang keras perjanjian damai antara Mesir dengan Israel. Dalam sebuah iring-iringan kemenangan merayakan Operasi Badr di Kairo, Sadat ditembak pada 6 Oktober 1981 oleh kelompok ekstremis yang menyusup ke tubuh angkatan bersenjata Mesir.
Mubarak memang tak semalang Sadat. Demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan Arab Spring-lah yang berhasil memukul mundur Mubarak dari tampuk kekuasaan.
Sejak akhir 2010, jutaan warga Mesir tumpah ruah turun ke jalan. Sejak 26 Januari 2011, massa aksi bersikeras takkan pulang sebelum Mubarak lengser. Tuntutan ini terwujud pada 11 Februari 2011. Panji kepemimpinan diserahkan Mubarak kepada militer. Mubarak sendiri harus menghadapi berbagai tuduhan di pengadilan.
Lolos dari Penjara, Kalah oleh Usia
Sama halnya dengan Soeharto, Mubarak terancam dipidana setelah lengser. Soeharto terancam dipenjara karena korupsi, sedangkan Mubarak terancam pidana korupsi, pembunuhan, dan merugikan perekonomian negara.
Soeharto berhasil lolos. Di masa tuanya, dia hidup aman dikelilingi anak-anaknya. Kasus korupsi yang melibatkan yayasan-yayasan Cendana tidak pernah dibuktikan secara utuh dalam persidangan. Berkali-kali ia mangkir dari pengadilan dengan alasan sakit. Pada 2006, penuntutan dihentikan karena kondisi kesehatan Soeharto yang kian memburuk. Benar saja, dua tahun kemudian Soeharto meninggal dunia pada usia 87 tahun tanpa sempat 'disekolahkan' di hotel prodeo.
Dakwaan kepada Mubarak lebih berat dari Soeharto. Dia sempat dijatuhi hukuman seumur hidup karena tuduhan pembunuhan pada 2012. Tahun 2014, Mubarak melakukan banding dan berhasil lolos dari tuduhan tersebut. Warsa 2013, Mubarak juga dikenai pidana penggelapan uang dan mendapat hukuman tiga tahun penjara.
Bedanya dengan Soeharto, Mubarak sempat mencicip dinginnya lantai bui selama enam tahun sebelum benar-benar bebas pada 2017. Dalam laporan koresponden Los Angeles Times, Medhat dan Bulos menulis, bebasnya Mubarak adalah pertanda “revolusi tidak ada artinya kecuali kegagalan.”
Definisi kegagalan itu kian lengkap ketika Harriet McCulloch, salah satu deputi organisasi HAM Reprieve, menekankan masih adanya tahanan terkait tuduhan pembunuhan tahun 2011 yang melibatkan Mubarak di penjara. Beberapa di antaranya bahkan ditahan saat usianya belum sampai remaja.
Pemakaman Mubarak dibanjiri dua kubu, yakni mereka yang senang dengan pemerintahan Mubarak dan mereka yang menentangnya. Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi hadir di pemakaman itu. Ketika menyampaikan jasa Mubarak semasa hidup, dia tak menyinggung era kepemimpinan Mubarak.
“[Mubarak] adalah salah satu pahlawan dalam perang Oktober, ketika dia memimpin pasukan udara selama perang untuk memulihkan martabat dan harga diri bangsa Arab,” tegas al-Sisi dilansir BBC.
Bagi para pendukung yang hadir, Mubarak adalah “pria yang bijak dan menjaga kestabilan negara selama 30 tahun”.
Pada akhir hayatnya, Mubarak menghabiskan waktu di Rumah Sakit Militer Maadi. Dia mengembuskan napas terakhirnya pada Selasa (25/2/2020) di usia 91 tanun.
Mesir menetapkan tiga hari berkabung dan pemakaman militer yang megah untuk Mubarak.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 28 Februari 2020. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf & Irfan Teguh Pribadi