tirto.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran menuai harapan untuk perbaikan gizi anak sekolah, namun juga memicu skeptisisme. Meski program ini terinspirasi dari inisiatif serupa di berbagai negara yang menjangkau jutaan anak, banyak pihak mempertanyakan kesiapan pemerintah untuk menjalankannya secara efektif.
Mengutip dari laporan MBG Celios berjudul "Yang Lapar Siapa? Yang Kenyang Siapa? Mitigasi Risiko Program Makan Bergizi Gratis" yang dipublikasikan pada 30 Desember 2024, kekhawatiran muncul bahwa program ini berisiko menjadi proyek politik yang membebani anggaran tanpa hasil nyata. Dalam situasi ekonomi yang sulit, pengalokasian dana besar dianggap rawan tersendat birokrasi atau berujung pada pembagian proyek yang tidak efisien. Pertanyaan utama tetap: apakah dana tersebut benar-benar akan mencapai sasaran atau hanya menjadi beban fiskal tanpa dampak berkelanjutan?
“Program MBG harus bebas dari kepentingan politik semata dan tidak menjadi proyek prestise yang menguntungkan segelintir pihak. Jangan sampai program ini dimanfaatkan oleh oknum untuk menyalahgunakan anggaran negara,” dikutip Tirto dari laporan MBG Celios, Rabu (9/1/2024).
Bagaimana Realisasi Program MBG di Pelosok?
Penerapan program di wilayah pelosok pun masih minim, contohnya di Kampung Cijuhung. Terletak di wilayah pembangkit listrik Waduk Cirata, Kampung Cijuhung baru lima tahun terakhir teraliri listrik, yang terkadang masih bermasalah.
Untuk menjangkau wilayah ini, seseorang harus siap menghadapi medan berat. Jalan darat dipenuhi bebatuan terjal, dan trek hutan hanya dapat dilalui dengan kendaraan khusus seperti motor modifikasi. Alternatif yang lebih memungkinkan adalah menggunakan perahu untuk menyeberangi Waduk Cirata.
Berjarak 60 kilometer dari pusat Kota Bandung dan 39 kilometer dari pusat pemerintahan Kabupaten Bandung Barat, tantangan aksesibilitas menuju Kampung Cijuhung ini tidak hanya dialami oleh pendatang, tetapi juga oleh anak-anak yang harus menempuh perjalanan penuh risiko demi menuntut ilmu. Anak-anak usia sekolah dasar di Cijuhung bersekolah di SDN Cibungur Kelas Jauh. Perjalanan mereka dimulai dengan menyeberangi waduk menggunakan perahu, dilanjutkan dengan berjalan kaki melintasi hutan menuju sekolah yang jaraknya cukup jauh.
Di balik perjuangan itu, fasilitas pendidikan yang mereka temui jauh dari memadai. SDN Cibungur Kelas Jauh hanya memiliki tiga ruang kelas sederhana yang harus menampung total 54 siswa, terdiri dari 39 siswa SD dan 15 siswa SMP. Dengan jumlah guru hanya empat orang, pembelajaran dilakukan secara bergantian di ruangan yang dibagi dengan sekat seadanya.
Ivan Abdurahman, salah satu guru di SDN Cibungur Kelas Jauh, telah mengabdikan diri di sekolah ini sejak 2007. Selama hampir 16 tahun, ia berjuang menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana. Di sekolah ini, murid kelas satu hingga tiga SD lebih difokuskan pada penguasaan calistung (baca, tulis, hitung). Ivan mengakui, mayoritas anak-anak di Cijuhung masuk sekolah dalam kondisi nol besar karena belum pernah mengenyam pendidikan PAUD atau TK. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di perkotaan.
Penerapan program makan siang bergizi (MBG) yang mulai diinisiasi pemerintah di sekolah-sekolah perkotaan, hingga saat ini belum menyentuh pelosok seperti Cijuhung. Ivan menyatakan bahwa pendataan untuk program ini sudah dilakukan, tetapi belum ada kejelasan soal implementasi.
“Kalau bisa, tentu kami ingin anak-anak di sini juga mendapat program yang sama. Namun, saya membayangkan akses distribusinya akan sulit,” ungkap Ivan kepada Tirto, Rabu (9/1/2025).
Di sisi lain, Ivan menekankan bahwa meskipun program makan siang penting, prioritas utama bagi sekolah di pelosok seperti Cijuhung adalah peningkatan sarana dan prasarana pendidikan.
“Ya lebih ingin bantuan sarana prasarana sih buat siswa-siswi di Kelas Jauh Cijuhung,” tuturnya.
Kondisi serupa juga terjadi di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Cimaja, yang berada di Desa Baranangsiang, Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. MI Cimaja menjadi tempat menuntut ilmu bagi 155 murid. Menurut Ninda, salah satu guru MI Cimaja, infrastruktur menjadi kendala utama dalam pelaksanaan program makan siang bergizi.
“Jalannya rusak dan aksesnya sulit. Bahkan, kami belum menerima informasi resmi mengenai program ini,” katanya.
Ninda menambahkan bahwa gizi anak-anak di daerahnya sebenarnya cukup baik, meski banyak di antara mereka tidak sarapan sebelum berangkat sekolah.
“Orang tua mereka biasanya pergi ke kebun sejak pagi, jadi anak-anak hanya makan seadanya,” tuturnya.
Selain program makan siang, Ninda berharap ada perhatian lebih terhadap kebutuhan mendasar lainnya.
“Kami sangat membutuhkan buku-buku pelajaran. Di madrasah, buku paket sangat sulit didapat. Bahkan, ketika kami mencoba mengumpulkan iuran dari siswa untuk membeli buku, beberapa orang tua keberatan karena kondisi ekonomi mereka,” ujarnya.
Program makan siang bergizi yang mulai dijalankan pemerintah pada tanggal 6 Januari 2025 di sekolah-sekolah perkotaan masih menuai banyak kendala, seperti distribusi makanan yang tidak merata. Kondisi ini memunculkan pertanyaan tentang kesiapan pemerintah untuk memperluas cakupan program tersebut hingga ke pelosok.
Ninda menyebut bahwa jika program ini benar-benar dijalankan di daerah terpencil, pemerintah harus memastikan kualitas dan mekanisme distribusinya.
“Kami belum tahu seperti apa makanan yang akan diterima. Kalau sistemnya tidak rapi, mungkin justru akan menimbulkan masalah baru,” katanya.
Harapan Orang Tua Siswa di Pelosok
Ai Fatimah, salah satu orang tua siswa di MI Cimaja, mengharapkan program makan siang bergizi ini bisa tersalurkan secara merata, terutama ke wilayah-wilayah pelosok.
“Banyak anak di sini tidak membawa uang jajan dan makan di rumah pun seadanya. Kadang mereka belum sarapan karena orang tua sudah pergi ke sawah sejak pagi,” jelasnya.
Namun, Fatimah juga berharap pemerintah tidak hanya fokus pada program makan bergizi.
“Kami juga membutuhkan bantuan seragam, alat tulis, dan buku pelajaran. Itu semua sangat penting untuk menunjang pendidikan anak-anak,” tambahnya.
Minimnya perhatian terhadap pendidikan di pelosok mencerminkan tantangan besar yang masih dihadapi pemerintah. Bukan hanya soal program makan siang bergizi, tetapi juga upaya meningkatkan akses dan kualitas pendidikan secara keseluruhan.
“Diharapkan pemerintah memperhatikan pelosok juga, tidak hanya di kota, untuk merealisasikan program tersebut. Intinya kami meminta janji,” tegas Fatimah.
Dengan segala keterbatasan yang ada, para guru, siswa, dan orang tua di pelosok tetap memiliki harapan besar. Mereka percaya bahwa dengan perhatian yang lebih serius dari pemerintah, kesenjangan pendidikan antara kota dan desa dapat diperkecil, sehingga mimpi anak-anak di pelosok untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik di hari esok.
Perlu diketahui, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, mengungkapkan bahwa alokasi dana sebesar Rp71 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya mampu mendukung pelaksanaan program tersebut hingga pertengahan tahun 2025, tepatnya sampai bulan Juni. Sementara itu, kebutuhan anggaran untuk menjalankan program MBG sepanjang tahun 2025 diperkirakan mencapai angka Rp420 triliun.
“Bapak bayangkan, Pak, kalau nanti semua, Pak, itu anggarannya Rp420 triliun lebih. Sekarang [anggarannya] Rp71 [triliun] sampai Juni [2025],” kata Zulhas dalam kegiatan rapat koordinasi (rakor) terbatas bidang pangan, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Selasa (7/1/2025).
Langkah Strategis Optimalisasi Program MBG
Berdasarkan laporan MBG Celios, program makan bergizi gratis sebaiknya diawali di desa-desa dengan tingkat malnutrisi tinggi, terutama di luar Pulau Jawa yang menghadapi kendala infrastruktur dan akses makanan bergizi.
Pemetaan desa prioritas dengan data Puskesmas dan survei nasional sangat diperlukan agar program tepat sasaran. Uji coba yang hanya berfokus di Pulau Jawa dinilai tidak adil dan berisiko memperburuk kesenjangan antarwilayah.
“Terlalu banyak uang rakyat dihamburkan untuk program sosial yang gagal dan tidak tepat sasaran—jangan ulangi kesalahan yang sama,” dikutip Tirto dari laporan MBG Celios.
Pengawasan ketat dari pemerintah, BPKP, dan organisasi non-pemerintah diperlukan untuk memastikan efisiensi anggaran dan keberlanjutan program. Selain itu, memanfaatkan tenaga Puskesmas yang sudah memahami kondisi lokal lebih efisien dibanding membentuk lembaga baru, yang justru dapat menambah beban anggaran negara. Pendekatan kolaboratif ini diharapkan meningkatkan efektivitas dan transparansi program MBG.
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Farida Susanty