tirto.id - “Ada banyak nyanyian melawan Zurgha. Mereka bernyanyi dalam bahasa Arab: Kami maju perang, kami perang untuk mengalahkan pemberontak—kami orang-orang asli daerah sini,” ucap Mustafa Yusuf, 18 tahun, mengisahkan aktivitas milisi Janjaweed.
Zurgha yang dimaksud adalah sebutan untuk orang-orang Zaghawa, etnis kulit hitam Afrika yang bermukim di Kawasan Timur Chad dan Barat Sudan. Dua negara ini berbatasan langsung.
Yusuf, bukan nama sebenarnya, sudah menjadi pembelot ketika menuturkan kisah pengalamannya itu. Ia melarikan diri dari kelompok Janjaweed dengan bantuan kerabatnya yang menyelundupkannya ke Khartoum, ibukota Sudan. Kenyataannya, Yusuf adalah seorang pemuda kurus berkulit hitam asal Zaghawa.
Orang-orang Janjaweed yang merekrut Yusuf tidak tahu bahwa ia berasal dari Zaghawa. Ia lama tinggal di Kapkabiyah yang banyak dihuni suku-suku Arab. Dan karena itu Yusuf fasih berbahasa Arab. Hanya segelintir tetangganya yang tahu dan mengatakan bahwa ia beruntung berada di pemukiman orang Arab.
Sementara Yusuf sendiri mulanya percaya bahwa Janjaweed hanyalah pasukan pertahanan lokal belaka. Ketika itu, Musa Hilal selaku kepala suku-suku Arab mengatakan bahwa Kota Kapkabiyah berada dalam bahaya. Hilal membutuhkan “sukarelawan” untuk mempertahankan daerah tersebut dari sergapan para pemberontak.
Sehari-harinya, mereka berlatih menembak menggunakan AK-47. Ada sebuah helikopter tempur yang memasok senjata hingga bekal makanan kepada para komplotan Janjaweed. Sebagian besar dari mereka naik kuda dan unta. Sedangkan para pemimpin dan pengawal mengendarai mobil Landcruiser, lengkap dengan senapan mesin.
Wilayah Darfur di Sudan Barat menjadi arena tempur milisi Janjaweed memerangi penduduk lokal kulit hitam. Di Desa Ain-Sirro, Darfur, milisi Janjaweed menyambangi daerah tersebut pada tengah malam dengan mengendarai unta. Mereka merampas apapun yang dianggap berharga, selimut, radio, koper, hingga kawanan kambing, dan domba.
Tuduhan adanya sebuah kamp Tentara Pembebasan Sudan (SLA), yang dianggap pemberontak dan memusuhi Janjaweed menjadi dalih mereka untuk merampok harta benda penduduk sipil. Kekejian lainnya yang ditampilkan Janjaweed adalah menggelandang warga desa dan membakar mereka hidup-hidup di sebuah pasar.
Semua kisah tersebut dicatat oleh Guardian pada 2004 silam. Dalam konteks laporan Guardian, Perang Darfur 2003 tengah berkecamuk dan mencuatkan nama Janjaweed sebagai milisi lokal yang kelak menyandang reputasi brutal.
Kemunculan Janjaweed
Peace Insight menyebut, Janjaweed berisi orang-orang dari suku nomaden berbahasa Arab terutama di Sudan Barat. Mereka telah lama punya konflik dengan penduduk lokal Afrika. Perang Darfur 2003 menempatkan Janjaweed sebagai milisi yang didukung penuh oleh pemerintah Sudan menumpas gerakan separatis dan anti-pemerintahan.
Janjaweed diberi kebebasan untuk membuat kekacauan di Sudan barat dan membuat jutaan warga lokal menjadi tumbal, baik korban jiwa maupun pengungsian besar-besaran.
Sulit mengecilkan peran komplotan begundal Janjaweed dalam menciptakan neraka di tanah Darfur terutama selama kurun waktu 2003 sampai 2008. Ini adalah puncak dari kematangan dan keganasan milisi Janjaweed dalam menguatkan posisi mereka lewat sentimen rasial dan supremasi Arab.
Asal-usul Janjaweed dapat dilacak dari konflik di Chad Timur dan keterlibatan Libya di bawah pimpinan Muammar Khadafi pada 1980. Khadafi punya mimpi besar menyatukan negara-negara Afrika di zona Sahel di bawah panji Pan-Arabisme. Guna mewujudkannya, ia membentuk paramiliter Legiun Islam yang berisi kumpulan orang-orang Arab nomaden termasuk suku Tuareg yang mayoritas Muslim.
Dalam esai berjudul "Counter-Insurgency on the Cheap" (2004), Direktur World Peace Foundation Alex de Waal menyebut kiprah Legiun Islam salah satunya dimulai lewat serangan militer ke negara Chad sejak 1987 hingga 1989.
Lantas, apa hubungannya dengan Janjaweed? Di antara anggota Legiun Islam yang mayoritas berisi pemukim Arab nomaden di Afrika itu juga terdapat orang-orang Arab dari Sudan Barat. Pada 1970, saat Sudan dipimpin Presiden Gaafar Nimeiry, orang Arab di Sudan Barat pengikut sekte Mahadis Ansar ini dipaksa minggat. Mereka inilah yang pada akhirnya bergabung dengan Legiun Islam.
Chad terus menggempur kekuatan militer Libya yang masuk ke perbatasan. Akhirnya, kekuatan Libya, termasuk Legiun Islam, ditaklukkan oleh pasukan Chad khususnya di daerah Ouadi Doum pada 1988. Khadafi mulai meninggalkan proyek besar membangkitkan Pan-Arabisme di tanah Afrika. Legiun Islam kemudian bubar dan berpencar menjadi milisi-milisi bayaran.
Menguat di Darfur
Namun demikian, para anggota milisi ini pulang dengan bekal pelatihan militer dari Libya. Ideologi mereka tentang penguatan identitas dan supremasi Arab yang ekstrem masih tertanam kuat. Warisan inilah yang terus hidup di Sudan Barat, khususnya di wilayah Darfur, dan berkembang menjadi cikal bakal Janjaweed.
Musa Hilal, pemimpin Janjaweed yang paling dihormati, mewarisi tradisi kepemimpinan dari ayahnya, Hilal Musa. Sang ayah yang dikenal sebagai Syaikh Hilal itu tersohor di seluruh Darfur sebagai pemimpin spiritual. Meski orang-orang Arab di Darfur hidup secara nomaden, hubungan mereka dengan suku Fur sebagai penduduk mayoritas di Darfur cukup harmonis selama berabad-abad. Kawin-mawin bahkan terjadi antara suku-suku Arab nomaden dan suku lokal Afrika. Jarang yang membicarakan perbedaan suku dan etnisitas karena mereka disatukan dalam agama yang sama, yaitu Islam.
Gesekan lokal mulai meletus ketika Darfur dilanda kemarau dan kelaparan pada 1984 sampai 1985. Para petani yang mayoritas suku-suku Afrika berebut sumber daya alam dengan para penggembala Arab. Konflik ini semakin berlarut-larut tanpa ada penyelesaian efektif dari pemerintah Sudan.
Situasi makin parah ketika 1989 kalangan Islamis pimpinan Hassan al-Turabi berkongsi dengan Jenderal Omar al-Bashir untuk menggulingkan Perdana Menteri Sadiq Al-Mahdi yang notabene punya latar belakang pemimpin spiritual dari aliran Mahadis.
Turabi memainkan peran penting dalam tatanan politik di Sudan termasuk di Darfur. Ia melanjutkan tradisi penguatan politik Islam di Sudan yang didominasi oleh elit Arab dari Lembah Nil yang memiliki koneksi kuat ke Mesir. Turabi juga memperluas agenda gerakan Islamis dengan merangkul budaya-budaya asli Fur di Darfur, termasuk gerakan Islam lokal di sana.
Namun seiring berjalannya waktu, hanya sedikit sekali warga Darfur yang diangkat ke posisi tertinggi partai dan pemerintahan. Pemerintahan pusat masih memperlakukan warga non-Arab secara diskriminatif. Hal ini memunculkan kesan bahwa orang-orang Sudan Barat, termasuk Darfur, hanya akan dianggap sebagai Muslim sejati jika mereka mengadopsi nilai dan budaya Arab.
Di sisi lain masalah kemarau berkepanjangan, perebutan lahan dan kemunculan bandit-bandit lokal terus berlangsung di Darfur.
Kemudian muncullah dua kelompok pemberontak. Pertama, Gerakan Keadilan dan Kesetaraan (JEM) yang berisi pemberontak pemerintah Sudan yang sebelumnya bersetia kepada Turabi. Kedua, Tentara Pembebasan Sudan (SLA) yang menghendaki otonomi lebih besar untuk wilayah Sudan Barat.
Warga Arab yang selama bertahun-tahun terlibat gesekan sengit dengan warga lokal mendapat angin ketika Bashir memutuskan memakai mereka untuk menggebuk gerakan pemberontak JEM dan SLA pada 2003, ketika Perang Darfur resmi dimulai. Kumpulan orang-orang Arab inilah yang kemudian dikenal sebagai Janjaweed, dengan pimpinannya yang bernama Musa Hilal dan beranggotakan bekas kombatan Legiun Islam dari Sudan Barat.
Militer Sudan memasok peralatan komunikasi dan persenjataan ke milisi Janjaweed untuk membersihkan kelompok anti-pemerintahan di Sudan Barat. Kedua belah pihak melakukan kerjasama intensif. Pertama, helikopter tempur dan pesawat pembom menarget pemukiman sipil. Kedua, beberapa jam setelah serangan udara selesai, giliran Janjaweed menyisir desa-desa miskin yang dihuni oleh anggota suku-suku Afrika seperti Zaghawa, Masalit, dan Fur.
Milisi Janjaweed tak cuma menjarah harta benda. Encyclopaedia Britannica menyebutkan, para penduduk sipil dibunuh dan dimutilasi. Para perempuan diculik dan diperkosa, sementara anak-anak diculik. Janjaweed juga membakar ladang dan meracuni sumur.
Pada 2004, pasukan perdamaian Uni Afrika diterjunkan ke Darfur guna memadamkan konflik. Namun, 7.000 personel pasukan perdamaian rupanya tak cukup menyetop kebrutalan milisi Janjaweed. Kekejaman Janjaweed baru berakhir pada 2008, ketika pasukan perdamaian PBB bergabung dengan pasukan perdamaian Uni Afrika sehingga jumlah personel mencapai lebih dari 22.000 personel.
Sejak Perang Darfur 2003, lebih dari satu juta warga sipil mengungsi dan ratusan ribu lainnya tewas. Jumlah korban tewas akibat Perang Darfur bervariasi. Pada 2005 Parlemen Inggris menyebut angka 300.000 orang. Sementara pada 2004, PBB menetapkan angka korban tewas lebih dari 70.000 orang. Kesulitan memastikan jumlah korban disebabkan oleh fakta bahwa pemerintahan Sudan tak berminat menyelesaikan krisis yang notabene diciptakan oleh mereka sendiri.
Omar al-Bashir sendiri mendapat dua surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda. Surat yang dikeluarkan pada 2008 dan 2010 itu menjerat al-Bashir dengan tuduhan kejahatan perang dan genosida di Darfur. Hubungan Bashir dengan Turabi yang sempat mesra juga berakhir di tengah jalan. Turabi pun masuk ke kubu oposisi dengan membentuk Partai Kongres Populer (PCP) yang senantiasa mengkritik kepemimpinan Bashir.
Dilansir dari All Africa, Musa Hilal sudah ditangkap sejak November 2017 dan kini tengah menjalani persidangan di pengadilan militer. Namun sampai detik ini, Bashir masih terus menghindar dan masih bisa mempertahankan jabatannya sebagai Presiden Sudan selama lebih dari 28 tahun.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf