tirto.id - “Saya kira semua orang punya sesi latihannya sendiri, tapi ternyata hanya saya yang diberi sesi itu. Dia bilang pada yang lain bahwa latihan dibatalkan supaya kami bisa latihan berdua,” ujar Meghan, sebagaimana diwartakan BBC.
Meghan (bukan nama sebenarnya) merasa bersalah saat menuturkan skandalnya dengan pelatih olahraganya pada BBC. Dia tak menduga di balik kebaikan tersebut, si pelatih menyimpan maksud lain.
Hubungan mereka menjadi dekat dan si pelatih mulai meminta Meghan membuka bajunya setiap mereka melakukan komunikasi lewat video call. Jika Meghan berani menolak, dia akan marah.
Perbedaan usia yang jauh membuat Meghan akhirnya tak tahan untuk melanjutkan hubungan tersebut. Gadis 17 tahun ini akhirnya memutuskan bercerita pada orang tuanya. Orang tua Meghan tak senang mendapati putri mereka dimanfaatkan.
Mereka melaporkan tindakan si pelatih pada polisi tanpa mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kendati sempat ditangkap, polisi akhirnya membebaskan pelatih Meghan lantaran perbuatannya dianggap bukan tindakan kriminal.
Kasus Meghan memang menjadi salah satu pekerjaan rumah National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), organisasi nirlaba yang berkonsentrasi pada perlindungan anak-anak.
NSPCC tengah menggodok kampanye “Close The Loop Hole” sejak 2017. Kampanye ini bertujuan untuk mendorong pemerintah Inggris merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak tentang Posisi Kepercayaan.
Dalam undang-undang tersebut, orang dewasa dengan profesi guru, perawat, pengasuh, dan petugas hukum untuk anak-anak di bawah 16 atau 17 tahun ditekankan untuk tak memanfaatkan kekuasaan mereka.
Sayangnya, undang-undang ini tak mencakup profesi pelatih. Pelatih yang dimaksud NSPCC ini mencakup mereka yang memberi pelatihan dalam olahraga, menyetir, hingga spiritual.
Pada 2017 lalu, Menteri Olahraga Trace Crouch sempat memberi sinyal positif, pihaknya tengah berdiskusi dengan Kementerian Hukum dan Kementerian Dalam Negeri untuk memasukkan profesi pelatih dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
Kendati demikian, revisi tersebut hingga kini belum terwujud. Akibat ketidakjelasan ini, NSPCC mencatat polisi tak mampu menindaklanjuti sekitar 650 kasus pemanfaatan kekuasaan yang terjadi sepanjang 2014 hingga 2018 di negeri Ratu Elizabeth tersebut.
Selain Inggris, pemerintah Perancis pun menghadapi tuntutan serupa. Pada Maret 2018, seperti diwartakan France 24, publik dihebohkan dengan kasus pemerkosaan anak oleh lelaki 22 tahun.
Kendati usia korban baru 11 tahun, jaksa menolak menuntut tersangka lantaran korban dianggap bukan lagi anak-anak. Keputusan ini diprotes ratusan pekerja sosial dengan meminta Presiden Emmanuel Macron merevisi Pasal 2 Undang Undang Perlindungan Anak.
Pasal 2 itu menyebutkan adalah tindakan ilegal bagi orang dewasa untuk melakukan kontak seksual dengan anak-anak, namun tindakan tersebut tidak dianggap pemerkosaan. Sejumlah pihak menganggap pasal ini tak mampu melindungi anak-anak dan justru memperbesar peluang pelaku untuk lolos.
Di Pakistan, para aktivis pun tak diam. Mereka menuntut pemerintah untuk tak memberi jeda panjang dalam menangani kasus kekerasan seksual pada anak-anak. Jeda panjang ini, menurut Mumtaz Gohar juru bicara organisasi perlindungan anak, bisa berlangsung hingga empat atau lima tahun sehingga dinilai merugikan korban.
Seperti dilansir dari Xinhua, Gohar berharap pengadilan memperpendek jeda tersebut supaya penyelesaian kasus bisa lebih cepat yakni satu tahun.
Kasus kekerasan seksual di Pakistan sendiri masih cukup tinggi. Pada 2012 – 2017, terdapat rata-rata 10 kasus per hari. Angka ini mengalami peningkatan menjadi rata-rata 11 kasus per hari pada 2018.
Menghadapi persoalan tersebut, aktivis meminta pemerintah merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak dengan mengubah hukuman bagi tersangka pemerkosaan menjadi kurungan penjara seumur hidup sejak 2016 lalu. Sebelumnya, tersangka pemerkosaan dan pornografi anak hanya mendapat hukuman 7 tahun penjara.
India, seperti diwartakanTimes of India, melakukan langkah progresif dengan merevisi undang-undang mereka pada Desember lalu. Semula UU Perlindungan Anak tentang Kekerasan Seksual Tahun 2012 menyebutkan tersangka terancam hukuman minimal 10 tahun penjara.
Kementerian Hukum di bawah Ravi Shankar Prasad berencana mengubahnya menjadi minimal 20 tahun penjara hingga hukuman mati jika korban mengalami trauma mental dan kekerasan fisik seperti terjangkit HIV, cacat, atau hamil.
Data UNICEF menunjukkan respons sejumlah negara dalam menghadapi kasus kekerasan seksual pada anak-anak meningkat dari sekitar 70 persen pada 2014 menjadi 93 persen pada 2017. Untuk kasus eksploitasi seksual, respons meningkat dari 17 persen menjadi 47 persen.
“Kami tak bisa menoleransi eksploitasi dan kekerasan seksual, dan kami berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang. Kami ingin keadilan bagi anak-anak dan mengharapkan kerja sama semua pihak untuk mencapainya,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
Editor: Dipna Videlia Putsanra