tirto.id - Presiden Jokowi mengaku keceplosan saat melontarkan kata "politikus sontoloyo" di acara pemberian 5.000 sertifikat tanah kepada warga Jakarta Selatan, Selasa (22/10/2018).
"Kemarin saya kelepasan, saya sampaikan politikus sontoloyo. Ya itu, jengkel saya. Saya enggak pernah pakai kata-kata seperti itu. Karena sudah jengkel, ya keluar. Saya biasanya ngerem tapi sudah jengkel ya bagaimana," kata Jokowi kepada wartawan di Istana Negara, Rabu (24/10/2018).
Kala menghadiri acara pembagian sertifikat tersebut, Jokowi mengenakan kemeja putih khasnya. Acara yang kerap disebut bagi-bagi sertifikat ini sudah sering dihadiri sang presiden. Namun, saat memberikan pidato pada Selasa kemarin, Jokowi tiba-tiba mengernyitkan dahi.
"Sehingga tahun depan ada dana untuk kelurahan, tetapi kok ramai. Saya juga heran," ujar Jokowi yang kemudian menghentikan suaranya sejenak.
Ketika melanjutkan ucapannya, jarak antar kata yang dia lontarkan semakin rapat. Dia berujar bahwa dana kelurahan digunakan untuk memperbaiki jalan dan selokan yang ada di kampung. Menurutnya, semua itu dilakukan atas dasar komitmen pemerintah untuk masyarakat.
"Bukan untuk siapa-siapa. Jangan dihubung-hubungkan dengan politik. Dikit-dikit dihubungkan dengan politik. Enggak rampung-rampung kita ini," ucap Jokowi.
Lalu, dia menyampaikan kehidupan tidak melulu soal politik, tetapi juga soal sosial, ekonomi, dan budaya.
"Kenapa setiap hal pasti dihubungkan dengan politik? Itulah kepandaian para politikus mempengaruhi masyarakat," ucap Jokowi dengan nada meninggi. "Hati-hati, saya titip ini, hati-hati."
"Banyak politikus yang baik-baik, tapi juga banyak politikus yang sontoloyo," pungkas Jokowi.
Bola Panas Sontoloyo
Selepas acara bagi-bagi sertifikat itu, kata "politikus sontoloyo" bergulir seperti bola panas. Laiknya kata "winter is coming" yang pernah diucapkan Jokowi di Plenary Session Annual Meeting IMF-World Bank, Bali atau "Avengers" di World Economic Forum on the Association of South East Asian Nation, Vietnam, kata itu menuai pujian dan hujatan.
Kata yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) itu berarti "konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian)" itu dibela mulai dari jajaran pengurus Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf hingga Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Sementara itu, pihak Prabowo-Sandiaga melancarkan kritik. Menurut Sekretaris Jenderal Demokrat Hinca Panjaitan, ucapan "politikus sontoloyo" tidak tepat. Hinca mengatakan Jokowi seharusnya memandang politikus yang mengkritiknya sebagai "vitamin".
"Tidak perlu misalnya dianggap menjadi terus berseberangan sekali. Jadi saya kira dalam alam demokrasi yang terbuka kritik itu sangat baik," kata Hinca, Rabu (24/10).
Sedangkan Ketua DPP Gerindra Sodik Mujahid memandang Jokowi dalam keadaan stres kala mengucapkan kata "politikus sontoloyo".
"Stres banyak janji-janji yang belum dipenuhi, stres harus memenangkan sehingga keluar kata-kata seperti itu, kata-kata sontoloyo," ujar Sodik.
Dalam teori tindak tutur yang dikemukakan John Langshaw Austin, "politikus sontoloyo" yang diucapkan Jokowi dapat digolongkan sebagai tuturan konstantif, yaitu tuturan yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa, proses, atau keadaan. Austin mengatakan bahwa tuturan konstantif dapat diuji benar atau salahnya.
Meskipun pada akhirnya Jokowi mengaku kalimat itu dilontarkannya karena keceplosan, dia telah mengklaim secara tersirat kalimat "banyak politikus yang sontoloyo" benar. Dalam rangkaian kalimatnya di pidato tersebut, Jokowi menunjukkan bahwa politikus semacam itu ada, yakni para politikus pengkritik dana kelurahan.
Dana kelurahan diumumkan Jokowi pada Jumat (19/10/2018) di Temu Karya Nasional Gelar Teknologi Tepat Guna (TTG) XX dan Pekan Inovasi Perkembangan Desa/Kelurahan Tahun 2018.
"Mulai tahun depan, terutama untuk kota, akan ada yang anggaran kelurahan. Banyak keluhan, Pak ada dana desa, kok enggak ada dana untuk kota. Ya sudah tahun depan dapat," kata Jokowi saat itu.
Setelahnya, pihak pengusung Prabowo-Sandiaga mengkritiknya. Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Hidayat Nur Wahid mengatakan dana kelurahan itu tidak masuk RAPBN 2019 dan tidak memiliki payung hukum yang pasti.
"Harusnya dana desa sangat penting, dana kelurahan sangat penting, dan karenanya harusnya diberikan payung hukum yang kuat semenjak tahun pertama menjadi presiden," ujar pria asal Klaten itu.
Sedangkan Wasekjen PAN Faldo Maldini mengatakan kebijakan dana kelurahan ala Jokowi itu ialah strategi politik yang muncul karena kekhawatiran atas kekuatan Prabowo-Sandiaga di tingkatan akar rumput.
"Apalagi Pak Jokowi kan pegang instrumen APBN. Lalu dana bansos juga dinaikkan kan. Itu kan biar klaim kesejahteraan naik. Itu kan klaim yang enggak make sense, jangan bohongi rakyat," kata Faldo kepada reporter Tirto.
Menurut Faldo, kalau Jokowi benar-benar ingin menyejahterakan kelurahan, seharusnya dana tersebut tak dikucurkan dekat pemilu dan jumlahnya tak hanya Rp3 triliun. Caleg daerah pemilihan Jawa Barat I tersebut menyampaikan dana sebesar itu hanya mengalirkan Rp20 juta per bulan ke kelurahan dan terlalu sedikit untuk mendorong kesejahteraan masyarakat di kelurahan.
"Jadi ini hanya coverage politik saja," kata Faldo.
Dengan demikian, keluarnya kata "politikus sontoloyo" juga tidak luput dari persaingan politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sepekan terakhir. Itu merupakan cara Jokowi mendefinisikan mana politikus yang baik dan mana yang tidak. Yang tidak baik dicap Jokowi sebagai politikus sontoloyo. Dan yang tidak baik itu ialah para pengkritik kebijakannya.
Sontoloyo Merentang Zaman
Dalam dunia politik, penggunaan kata "sontoloyo" merentang zaman. Pada Mei tahun ini, Amien Rais—salah satu tokoh pendukung Prabowo-Sandiaga—mengatakan soal "pemimpin sontoloyo".
"Bung Karno dulu mengatakan kalau ada pemimpin yang tidak memikirkan rakyatnya malah menjadi agen kekuatan tenaga asing itu pemimpin sontoloyo. Jadi kan yang sontoloyo itu siapa," ucap Amien.
Presiden Sukarno sendiri pernah menjadikan "Islam Sontoloyo" sebagai judul artikel yang ditulisnya di Pandji Islam pada 1940.
Andree Feillard mencatat dalam NU vis a vis Negara (1999) bahwa Sukarno menuduh kelompok Islam sebagai "sontoloyo" setelah membaca berita di harian Pemandangan tanggal 8 April 1940. Surat kabar itu melaporkan seorang guru agama dijebloskan dalam bui tahanan karena ia memerkosa salah seorang muridnya yang masih gadis kecil.
Artikel itu merupakan bagian dari rangkaian pemikiran Sukarno mengenai pemisahan agama dari negara yang dia tuangkan dalam berbagai tulisan pada 1940. Muhammad Ainun Najib menuliskan dalam "NU, Soekarno dan Staat Islam" (2017) bahwa pada tahun tersebut Sukarno juga menulis artikel "Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara", "Memudakan Pengertian Islam", serta "Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara".
Melalui artikel-artikel tersebut, menurut Ainun Najib, Sukarno berusaha meyakinkan bahwa, pertama, agama adalah urusan pribadi. Karena bersifat pribadi, persoalan agama diserahkan kepada masing-masing individu. Kedua, tidak ada perintah mendirikan negara Islam. Sedangkan melalui artikel "Islam Sontoloyo", Sukarno mengecam pemerkosaan guru terhadap siswanya.
"Tragedi [pemerkosaan] itu seakan memperkuat pandangan Soekarno bahwa agama sangat mungkin dibajak dan disalahgunakan untuk keburukan," ujar Ainun Najib.
Editor: Ivan Aulia Ahsan