Menuju konten utama

Kebijakan Burden Sharing BI - Kemenkeu Sempat Bikin Pasar Khawatir

Pelaku pasar khawatir burden sharing menyebabkan monetisasi utang tidak terkendali dan memengaruhi independensi bank sentral.

Kebijakan Burden Sharing BI - Kemenkeu Sempat Bikin Pasar Khawatir
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (20/2/2020). ANTARAFOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - Pelaku pasar, investor, dan lembaga pemeringkat merespons kebijakan burden sharing Kemenkeu dan Bank Indonesia dengan nada khawatir. Kekhawatiran itu berkaitan dengan tidak terkendalinya monetisasi utang dan berkurangnya independensi bank sentral.

Berbagai respons atas kebijakan burden sharing ini disampaikan dalam bahan paparan Bank Indonesia kepada Komisi XI di DPR RI, Senin (6/7/2020).

Salah satu respons adalah dari bank asal Jepang Mizuho, yang memberi komentar bahwa kebijakan ini dapat memengaruhi stabilitas nilai tukar.

“Memengaruhi stabilitas nilai tukar yang dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran terkait monetisasi defisit fiskal, independensi BI, dan kemungkinan penurunan sovereign credit rating,” ucap Mizuho, 2 Juli 2020.

OCBC Singapura pada 2 Juli 2020 juga memiliki kekhawatiran yang sama pada nilai tukar. Tidak hanya penurunan sovereign credit rating, tetapi kebijakan burden sharing dinilai bakal menyebabkan Indonesia kehilangan kepercayaan investor.

Goldman Sachs pada 2 Juli 2020 menyatakan kebijakan ini membuat outlook jangka pendek SBN mengalami penurunan. Dari tingkat bullish yang artinya naik menjadi netral.

Citibank pada 30 Juni 2020 juga menilai kebijakan burden sharing bisa mengurangi minta investor membeli SBN rupiah. Bank of America (BofA) di tanggal yang sama menekankan potensi moral hazard dalam pembiayaan defisit oleh bank sentral.

“Memengaruhi penilaian lembaga rating yang dipicu oleh meningkatnya kekhawatiran moral hazard dalam pembiayaan defisit fiskal dan independensi bank sentral,” ucap BofA.

Setelah kabar burden sharing mencuat, nilai tukar rupiah memang sempat terpengaruh. BI dalam paparannya menjelaskan, rupiah melemah dari Rp14.180 per USD pada 30 Juni 2020 menjadi Rp14.450 per USD pada 3 Juli 2020. Tertanggal 3 Juli 2020, BI melakukan intervensi pasar spot dan DNDF.

Pada konferensi pers virtual, Senin (6/7/2020) Menkeu Sri Mulyani meyakinkan kembali agar pasar tidak perlu khawatir. Pasalnya pemerintah menjamin tidak semua defisit akan selalu diatasi dengan monetisasi utang. Burden sharing ini juga hanya dilakukan tahun 2020 dan bersifat one off. Anggaran yang menerapkan monetisasi utang juga hanya yang berkaitan dengan belanja publik atau public goods.

“Kami menghormati kebutuhan ekonomi sosial politik tapi tetap menjaga kebutuhan bond holder dan para investor. Itu yang kita lakukan kalibrasi hati-hati dan seimbang,” ucap Sri Mulyani.

Setelah penjelasan dari BI dan Kementerian Keuangan, nilai tukar rupiah mulai tenang. Seperti dilansir dari Antara, rupiah menguat 58 poin atau 0,4% dari Rp14.523 menjadi Rp14.465 per dolar AS pada pukul 9.51 WIB, Selasa (7/7/2020). Penguatan rupiah juga masih didukung oleh potensi pemulihan ekonomi global dan membaiknya data ekonomi meski masih ada kekhawatiran gelombang kedua COVID-19.

Baca juga artikel terkait MONETISASI UTANG atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti