tirto.id - Bank Indonesia dan kementerian keuangan menyepakati debt monetization atau monetisasi utang. Melalui kebijakan ini, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang dikeluarkan pemerintah. Bunganya tidak akan dibayar pemerintah, melainkan ditanggung oleh BI.
“Gubernur BI dan Menkeu, setuju bahwa untuk belanja kategori public goods Rp397 triliun akan diterbitkan SBN yang langsung dibeli kepada BI,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Senin (6/7/2020).
Sri Mulyani menjelaskan SBN yang dibeli seluruhnya oleh BI ini hanya yang berkaitan dengan belanja pemerintah untuk public goods atau belanja bagi masyarakat. Nilainya mencapai Rp397 triliun dari anggaran penanganan COVID-19 sesuai Perpres 72/2020 dengan total Rp695,2 triliun.
Rinciannya adalah belanja bidang kesehatan Rp87,55 triliun, belanja perlindungan sosial Rp203,9 triliun, dan belanja padat karya bagi sektoral dan pemda senilai Rp106,11 triliun.
Selanjutnya bunga yang berlaku bagi BI mengikuti suku bunga acuan atau BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Nantinya, BI akan mengembalikan seluruh dana ini kepada pemerintah berikut bunga yang mengikuti suku bunga acuan.
“Suku bunga ini akan ditanggung BI seluruhnya,” ucap Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan pemerintah akan tetap disiplin menjaga kebijakan moneter dan fiskal. Mekanisme ini hanya berlaku selama tahun 2020. Di sisi lain, SBN yang dibeli BI seluruhnya ini juga dapat digunakan untuk operasi moneter sehingga masuk kategori tradeable dan marketable.
Di samping itu, mekanisme ini sudah dijalankan oleh berbagai negara. Terutama pada krisis ekonomi 2008-2009. Realisasinya di Indonesia nanti akan menunggu penandatanganan Surat Keputusan Bersama BI dan Kemenkeu.
“Negara advance di Amerika Eropa, Jepang, bahkan yang disebut quantitave easing dan monetisasi utang pemerintah dilakukan secara jauh lebih maju,” ucap Sri Mulyani.
Kebijakan ini diambil dalam rangka pemenuhan pembiayaan untuk menutup defisit APBN 2020. Seperti diketahui, defisit APBN 2020 diperkirakan melebar menjadi Rp1.093,2 triliun atau 6,34% dari PDB. Defisit ini melebar karena pemerintah harus mengeluarkan dana yang cukup besar guna menanggulangi pandemi COVID-19. Di saat yang sama, pendapatan pemerintah mengalami penurunan yang tajam.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti