tirto.id - Akhir Mei 2016, merupakan hari naas bagi Janner Purba. Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kepahiang yang juga Hakim Tipikor di PN Bengkulu itu tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah menerima uang suap Rp150 juta dari mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Muhammad Yunus, Syafri Syafii.
Dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Bengkulu itu, komisi antirasuah menetapkan lima orang tersangka, dua di antaranya adalah hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu, Janner Purba dan Toton, sedangkan satu lagi adalah seorang panitera PN Kota Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy. KPK juga menangkap Syafri Syafii dan Edi Santroni, sang penyuap para penegak marwah keadilan itu.
OTT yang dilakukan KPK di Bengkulu itu bukan yang pertama. Sebulan sebelumnya, tepatnya Rabu, 20 April KPK juga menangkap tangan Panitera/Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution. Ketua KPK Agus Rahardjo bahkan menyebut, Edy Nasution sering menjadi perantara dalam sejumlah kasus yang didaftarkan di PN Jakpus selama ini.
“Yang bersangkutan memang tidak hanya kasus ini, ada beberapa kasus yang perantaranya dia. Itu nanti akan kita telusuri lebih lanjut," kata Agus di Gedung KPK, Jakarta Selatan, sehari setelah OTT tersebut.
Dalam kasus yang turut menyeret nama Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi ini, KPK sudah menetapkan Doddy Apriyanto Supeno dan Edy Nasution sebagai tersangka. KPK juga telah melakukan penggeledahan di ruangan kerja Edy Nasution dan juga ruangan kerja serta rumah Nurhadi. Bahkan, Nurhadi juga sudah dicegah untuk berpergian ke luar negeri.
Rabu (15/6/2016) kemarin, publik kembali dikejutkan dengan operasi tangkap tangan KPK terhadap seorang panitera PN Jakarta Utara bernama Rohadi. Ia diduga menerima suap dari Samsul Hidayatullah, kakak penyanyi dangdut Saipul Jamil dalam penanganan kasus pencabulan anak. Dalam kasus ini, komisi antirasuah sudah menetapkan empat tersangka.
Tiga kasus tangkap tangan di atas hanya sebagian kecil dari praktik korupsi yang terjadi di dunia peradilan. Hasil penelusuran tirto.id yang dihimpun dari berbagai sumber mengungkapkan, setidaknya ada 28 orang, mulai hakim, panitera, jaksa, dan polisi yang menjadi pesakitan KPK sejak 2006 sampai 2016 (data ini belum memasukkan nama Rohadi dalam daftar). Data tersebut belum termasuk kasus hukum yang ditangani lembaga kepolisian dan kejaksaan, serta para penegak hukum yang mendapat sanksi etik.
Tergiur Suap
Data yang dihimpun tirto.id menunjukkan, sebagian besar praktik korupsi di ranah peradilan yang melibatkan hakim, panitera, jaksa dan polisi adalah kasus suap. Hal itu dapat dilihat dari 28 personel penegak hukum yang menjadi pesakitan KPK, yaitu 23 orang di antaranya terjerat suap. Sisanya adalah dua kasus pemerasan, satu kasus pencucian uang, dan dua kasus korupsi pengadaan.
Secara kelembagaan, dari 28 orang yang terjerat kasus korupsi rata-rata adalah para penegak hukum yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung, dengan rincian Pengadilan Negeri sebanyak 13 orang, disusul PTUN 5 orang, dan Pengadilan Tinggi 1 orang. Sementara yang lainnya adalah Kejaksaan Negeri 3 orang, Kejaksaan Agung 1 orang, Kejaksaan Tinggi 2 orang, dan Polri 3 orang.
Sementara itu, dari 28 para penegak hukum tersebut, 23 di antaranya sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Enam lainnya sampai berita ini ditulis masih dalam proses hukum.
Merebaknya gejala suap ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh pemerintah sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Misalnya pada 2008, Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2008 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya. Salah satu tujuannya adalah sebagai upaya peningkatan kinerja hakim dan pegawai negeri di lingkungan MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya.
Tak hanya itu, keseriusan pemerintah soal kesejahteraan para penjaga marwah keadilan juga direalisasikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.
“Diharapkan dengan adanya Peraturan Pemerintah tersebut, kinerja para hakim di empat lingkungan peradilan dapat lebih ditingkatkan, agar tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh para hakim lagi,” demikian pernyataan resmi MA menyambut terbitnya PP No. 94 Tahun 2012, saat itu.
Untuk diketahui, dengan diterbitkannya PP itu, maka tunjangan Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp40,2 juta dan hakim pemula (masa kerja 0 tahun) untuk pengadilan Kelas II sebesar Rp8,5 juta. Kemudian, hakim pemula (pratama) untuk pengadilan Kelas IA sebesar Rp11,8 juta.
Jika tunjangan dan gaji pokok yang diperoleh hakim digabung, maka take home pay yang diterima dalam sebulan melebihi pendapatan pegawai negeri biasa. Misalnya, kalau disimulasikan gaji pokok hakim golongan IIIa sebesar Rp2,064 juta, dan tunjangan untuk hakim pemula (masa kerja 0 tahun) untuk pengadilan Kelas II sebesar Rp8,5 juta, maka take home pay untuk gaji hakim pemula di pengadilan kelas II saja sekitar Rp10,5 juta. Pendapatan ini belum termasuk uang kemahalan yang diatur secara terperinci dalam lampiran PP No. 94 Tahun 2012.
Sayangnya, besaran tunjangan tersebut tidak serta merta menjawab praktik suap di lingkungan peradilan. Dari penelusuran tirto.id, setelah PP tersebut disahkan, masih banyak para penegak hukum yang tergiur suap.
Reformasi Birokrasi Peradilan
Maraknya kasus suap ini membuka kembali memori publik tentang praktik mafia peradilan di institusi penegak hukum itu. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), praktik korupsi di tubuh pengadilan dapat disimpulkan bahwa setiap orang (tidak harus penegak hukum) berpotensi melakukan praktik korupsi. Sebagai contoh, kasus Andri Tristianto Saputra, staf non aktif Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA yang ditangkap KPK. Kasus tersebut menunjukkan, sekalipun yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan terkait perkara, tapi Andri sebagai pegawai MA dapat terlibat dalam praktik korupsi itu.
ICW menyimpulkan bahwa rentetan kasus itu menunjukkan adanya praktik korupsi yudisial yang bisa jadi sudah sistemik, masif dan mengakar. Jika berkaca pada jumlah pengadilan di seluruh Indonesia yang mencapai 825 pengadilan menurut laporan tahunan MA tahun 2015, maka potensi penyimpangan juga sangat besar. Belum lagi persoalan pengawasan yang lemah, semakin memperbesar potensi korupsi di tubuh pengadilan.
Dalam konteks ini, ICW menekankan, KPK tidak boleh hanya berhenti kepada aktor-aktor yang sudah ditangkap. Melainkan juga mengembangkan kasus tersebut untuk memetakan wilayah rawan korupsi di pengadilan. Pasalnya, perkara yang melibatkan pegawai MA belakangan ini menunjukkan bahwa praktik korupsi di lembaga pengadilan memiliki jaringan yang luas dan kompleks. Kerja-kerja yang dilakukan sudah dapat dikategorikan sebagai jaringan mafia peradilan.
Rentetan kasus yang terjadi di lembaga peradilan ini perlu disikapi serius. Tertangkapnya pegawai pengadilan tak bisa dilihat sebagai persoalan individu semata, melainkan adanya kelemahan mendasar dari sistem yang bekerja di MA dan pengadilan di bawahnya, baik sistem pengawasan, rekrutmen, sistem transparansi dan sistem administrasi putusan dan pembinaan di lembaga pengadilan.
Karena itu, ICW mengusulkan, agar MA mengambil langkah strategis. Langkah strategis itu tidak hanya dilakukan dengan membentuk tim khusus di bawah Badan Pengawas MA, melainkan juga bekerja sama dengan KPK dan Komisi Yudisial dalam memetakan jaringan mafia peradilan dan merumuskan sistem pengawasan dan pembinaan yang efektif memerangi korupsi peradilan.
Soal adanya mafia peradilan ini juga ditegaskan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Pakar hukum tata negara itu menawarkan solusi agar pemerintah memotong generasi penegak hukum yang terindikasi memiliki hubungan dengan mafia hukum. Pasalnya, banyak mafia warisan masa lalu yang membuat penegak hukum tersandera.
“Pemerintah bisa melakukan langkah radikal potong generasi. Karena, banyak mafia warisan masa lalu yang membuat penegak hukum tersandera,” kata Mahfud seperti dilansir Antara akhir Mei lalu.
Mahfud meyakini, tidak sedikit pejabat atau aparat penegak hukum di Indonesia saat ini memiliki keterkaitan dengan rezim penguasa masa lalu yang lekat dengan persoalan korupsi. Sehingga para pejabat penegak hukum yang tersandera kekuasaan masa lalu itu sangat mudah dipengaruhi mafia hukum dalam pengambilan keputusannya. Apalagi, mafia hukum ini memiliki kemampuan menembus jaringan di pemerintahan dan mempengaruhi pejabat di lembaga penegak hukum.
Menyadari persoalan kompleks yang terjadi di beberapa lembaga penegak hukum, KPK langsung mengambil inisiatif untuk memperbaiki situasi yang terjadi di lembaga peradilan. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif akhir Mei lalu mengatakan, pihaknya akan memaksimalkan salah satu fungsi dan tugasnya sebagai institusi yang bertanggungjawab memperbaiki tata kelola termasuk korupsi di sektor peradilan.
Menurut dia, pihaknya sudah berkomunikasi dengan Komisi Yudisial membicarakan program dan tindakan yang akan dilakukan bersama antara KPK, KY, MA dan lembaga penegak hukum lainnya agar supremasi hukum dapat ditegakkan dan birokrasi peradilan dapat diperbaiki dan steril dari praktik suap.
“Salah satu fungsi dan tugas KPK dalam undang-undang adalah memperbaiki tata kelola termasuk korupsi di sektor penegak hukum. Itu salah satu yang dikerjakan KPK sekarang. KPK ingin bekerja sama dengan kejaksaan, kepolisian dan Mahkamah Agung dan berupaya keras untuk memperbaiki situasi ini agar lebih baik di masa yang akan datang,” kata Laode.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti