tirto.id - Hari-hari di Kantor Pos Sukabumi semakin sibuk menjelang Ramadan untuk melayani pencairan dana remitansi via jasa Western Union via PT Pos Indonesia. Cucu, anggota keluarga Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Sukabumi harus antre menunggu giliran mengambil uang yang dikirim keluarganya dari Arab Saudi.
"Uang ini rencananya akan digunakan untuk kebutuhan Lebaran. Tetapi tidak hanya Lebaran kerabat saya ini juga mengirim uang secara rutin minimalnya tiga bulan sekali," kata Cucu dikutip dari Antara.
Pengalaman Cucu yang menanti uang kiriman dari anggota keluarga yang merantau di negeri orang hanya potret kecil dari gambaran besar tentang keluarga-keluarga Indonesia yang menantikan kiriman uang dari luar negeri atau yang biasa disebut remitansi. Melansir data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), nilai remitansi sepanjang 2017 mencapai $8,78 miliar atau setara dengan Rp118,83 triliun.
Ditinjau dari negara asal remitansi pada 2017, PMI yang bekerja di kawasan Asia Pasifik menjadi penyumbang remitansi terbesar mencapai $5,35 miliar, diikuti kawasan Timur Tengah dan Afrika yang mencapai $3,18 miliar. Arab Saudi masih menjadi negara asal kiriman remitansi terbesar ke Indonesia dengan nominal mencapai $2,76 miliar, diikuti selanjutnya oleh Malaysia yang sebesar $2,72 miliar.
Data tersebut juga mengindikasikan 67,8 persen dari jumlah PMI tersebut bekerja di wilayah Asia Pasifik dengan porsi terbesar Malaysia, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura. Sementara itu, 30,5 persen dari total TKI bekerja di wilayah Timur Tengah dan Afrika, terbesar berada di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Kuwait.
Angka remitansi 2017 mengalami penurunan sebesar 0,9 persen dibanding kucuran dana remitansi periode pada 2016 yang mencapai $8,86 miliar atau Rp119 triliun. Arus remitansi yang cukup deras mengalir ke Indonesia terjadi pada tahun 2015 lalu dengan nominal mencapai $9,42 miliar. Capaian tersebut merupakan perolehan yang paling tinggi, pada 2014 dan 2013, remitansi hanya tercatat $8,34 miliar dan $7,4 miliar.
Servulus Bobo Riti, Kepala Bagian Humas BNP2TKI menuturkan, penurunan remitansi terjadi karena faktor kelesuan serta fluktuasi pertumbuhan ekonomi kawasan regional dan global, yang memiliki kontribusi besar. Sebab, terjadi penurunan permintaan tenaga kerja asing di negara-negara tujuan.
Faktor lain adalah juga karena penutupan atau moratorium penempatan penata laksana rumah tangga (PLRT) di Timur Tengah. Pemerintah memang mendorong peningkatan penempatan PMI di sektor kerja formal dan penutupan penempatan PLRT informal ke kawasan Timur Tengah.
“Secara umum faktor kebijakan resmi pemerintah Indonesia menutup penempatan PLRT di seluruh kawasan Timur Tengah ikut berpengaruh. Tapi harus diingat bawah, sikap pemerintah Indonesia adalah bentuk ketegasan negara dalam melindungi warga negara Indonesia yang masih menempatkan jabatan PLRT sebagai salah satu pilihan,” jelas Servulus kepada Tirto.
Data BNP2TKI mencatat, secara tahunan penempatan PMI di luar negeri memang mengalami penurunan. Per Maret 2017, jumlah PMI yang mengadu nasib di negeri tetangga hanya bertambah sebanyak 58.976 orang. Angka ini menurun dibandingkan dengan Maret 2016 yang bertambah sebanyak 61.234 orang.
Tahun ini, pengiriman PMI juga mengalami penurunan. Secara bulanan, jumlah PMI yang mengadu nasib di negeri orang hanya sebanyak 19.694 orang per Maret 2018. Angka ini berkurang 2.539, jika dibandingkan dengan pengiriman PMI pada Maret 2017 yang mencapai 22.233 orang.
Per November 2017, laporan Bank Dunia menyebutkan sebanyak 9 juta penduduk Indonesia bekerja menjadi PMI di luar negeri. Dari jumlah tersebut, sebesar 53 persen bekerja di sektor informal dan sisanya 47 persen bekerja di sektor formal.
Kecenderungan ini berpengaruh terutama terhadap pekerja berketerampilan rendah yang dimiliki oleh Indonesia, sekitar 60 persen (PDF) dari pekerja Indonesia saat ini tidak menyelesaikan pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sehingga tidak dapat bersaing untuk mendapat pekerjaan dengan tingkat produktivitas tinggi yang jumlahnya terbatas.
Laporan Bank Dunia juga menyebutkan sebanyak 32 persen PMI bekerja sebagai PLRT (PDF) atau pengasuh anak. Pekerja pertanian sebesar 19 persen, pekerja konstruksi sebanyak 18 persen dan pekerja pabrik sebesar 8 persen. Sementara itu, PMI yang bekerja sebagai perawat lansia sebanyak 6 persen, pekerja toko atau restoran dan hotel sebesar 4 persen, supir sebesar 2 persen dan pekerja kapal pesiar sebanyak 0,5 persen.
Masih melansir laporan Bank Dunia, migrasi tenaga kerja (PDF) internasional Indonesia memberikan kontribusi besar bagi kehidupan banyak pekerja migran, keluarga, dan juga perekonomian Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Richard H. Adams Junior dan Alfredo Cuecuecha menunjukkan bahwa remitansi mengurangi kemungkinan rumah tangga Indonesia untuk jatuh miskin sebesar 28 persen. Keluarga pekerja migran dapat merasakan manfaat finansial dari migrasi karena remitansi dapat menutup biaya-biaya kebutuhan pokok termasuk pangan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam survei yang dilakukan, Bank Dunia juga menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen rumah tangga pekerja migran yang disurvei menyebutkan “kebutuhan sehari-hari” sebagai salah satu dari tiga penggunaan utama remitansi sehingga meringankan beban keuangan rumah tangga terutama untuk keluarga miskin.
Dalam hal pekerja migran wanita, laporan berjudul Impacts of International Migration and Remittance on Child Outcomes and Labor Supply in Indonesia: How Does Gender Matter? yang disusun oleh Ririn Purnamasari dan Trang Nguyen menyebutkan, remitansi mengurangi tingkat partisipasi pekerja anak sebesar 17-32 persentase tanpa mengurangi tingkat partisipasi angkatan kerja anggota keluarga lain dalam rumah tangganya.
Laporan Bank Dunia juga menyebutkan, remitansi juga berkontribusi terhadap peningkatan kehidupan jangka panjang bagi pekerja migran dan keluarga mereka. Ini karena, pekerja migran memperoleh penghasilan enam kali lebih tinggi ketika bekerja di luar negeri. Sekitar 40 persen rumah tangga pekerja migran memanfaatkan penghasilan mereka dari remitansi untuk pendidikan, 15 persen untuk investasi modal usaha, dan lebih dari 20 persen untuk simpanan di rekening tabungan.
Remitansi Terbesar
Meski Indonesia mengalami penurunan nominal remitansi, The Global Knowledge Partnership on Migration and Development (KNOMAD) dalam laporan berjudul Migration and Remittances, Recent Developments and Outlook April 2018, mencatat Indonesia termasuk dalam 10 besar negara yang menerima kiriman uang remitansi terbesar di dunia dan berada di posisi ke-10. Secara global, memang tren pengiriman remitansi makin tumbuh.
Posisi pertama sebagai negara yang memperoleh dana remitansi terbesar dipegang oleh India dengan nilai mencapai $69 miliar. Diikuti selanjutnya oleh Cina yang mereguk dana pekerja di luar negeri sebesar $64 miliar. Filipina menjadi negara terbesar ketiga yang menerima kiriman dana pekerja di luar negeri dengan nominal senilai $33 miliar.
India mampu mereguk remitansi dalam jumlah tinggi karena sebanyak 30 juta (PDF) warganya menjadi diaspora. Menteri Luar Negeri India, V.K. Singh kepada The Economic Times mengatakan, setidaknya terdapat 31,23 juta orang India di luar negeri. Mayoritas dari mereka tinggal dan bekerja di AS, Arab Saudi, Kanada dan Australia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 90 persen (PDF) pekerja migran asal India merupakan pekerja semi terampil dan tidak terampil.
Melansir data International Labour Organization (ILO) (PDF) atau Organisasi Buruh Internasional, persentase pekerja migran perempuan asal India sebesar 23,6 persen. Pekerja migran semi terampil terus ditingkatkan pemerintah India sejak Agustus 2016 dengan profesi sebagai perawat. Sedangkan pekerja tidak terampil sebagai pekerja rumah tangga. Kontribusi pekerja migran yang memiliki keterampilan tinggi dan rendah, menyebabkan pertumbuhan remitansi India menjadi yang teratas di dunia.
Ihwal lonjakan aliran remitansi global didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kawasan Uni Eropa (UE), Rusia, dan juga Amerika Serikat (AS). Fenomena ini bersamaan dengan penguatan harga minyak dan penguatan nilai tukar mata uang Euro serta Rubel terhadap Dolar AS. Pemulihan arus remitansi secara signifikan pada 2017, lebih kuat dari estimasi yang ditetapkan enam bulan lalu.
Hal tersebut menjadi penyebab jumlah remitansi secara global (PDF) mencetak rekor baru. Aliran pengiriman uang ke negara berpenghasilan rendah dan negara menengah atau berkembang pada tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 8,5 persen menjadi $466 miliar dibanding periode 2016 yang sebesar $429 miliar. Secara global, aliran dana pengiriman uang mencapai $613 miliar.
Arus pengiriman uang dari para penyumbang devisa ini bahkan jauh lebih besar ketimbang investasi langsung asing atau foreign direct investment (FDI) di negara berpenghasilan rendah dan menengah atau berkembang. Pengiriman uang dari para pekerja di luar negeri juga relatif lebih stabil daripada utang swasta siklikal dan aliran ekuitas. Aliran remitansi mengalami pertumbuhan di semua wilayah di dunia sepanjang 2017 (PDF).
Remitansi tak bisa dipungkiri telah jadi kekuatan bagi sesuatu negara dalam kontribusi devisa, dan menjadi penggerak ekonomi keluarga-keluarga para pekerja migran di kampung halamannya.
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra