tirto.id - “Sekarang susah dapat para pekerja, khususnya dari Indonesia.”
Zakaria Arshad berkeluh kesah bagaimana susahnya mencari tenaga kerja nan terampil untuk perkebunan sawitnya di Malaysia. Zakaria yang menjabat Chief Executive Felda Global Ventures Berhad, salah satu perusahaan kebun sawit terbesar di Malaysia sedang memutar otak untuk mendapatkan tenaga kerja bagi kebun sawitnya. Mencari alternatif tenaga kerja dari Bangladesh tentu suatu keputusan yang tak mudah, mengingat pekerja Indonesia terkenal terampil dan ulet.
Curahan Zakaria bukan hal baru bagi industri sawit di Malaysia. Beberapa tahun lalu, persoalan kekurangan tenaga kerja sudah jadi bola liar yang menghinggapi bisnis sawit di sana. Setidaknya masalah ini sudah mencuat sejak 2013 lalu. Tanpa tenaga kerja, sawit yang sudah siap panen bakal membusuk karena tak ada yang memetiknya.
“Situasi sekarang sangat buruk dibandingkan dengan beberapa tahun lalu,” kata seorang pemilik perkebunan di Malaysia seperti dikutip dari Reuters.
“Fluktuasi Ringgit tak mendorong para pekerja Indonesia untuk datang ke Malaysia.”
Malaysia beberapa tahun terakhir memang sedang mengalami krisis nilai tukar terhadap mata uang negara lain, selain dengan Dolar AS juga melemah terhadap Rupiah. Krisis nilai tukar juga sudah masuk ranah politik, pada aksi demo massa Gerakan Bersih 4.0--kelompok berbaju kuning--Agustus dua tahun lalu—melorotnya nilai Ringgit jadi tema para demonstran.
Persoalan politik beberapa dekade lalu juga menjadi penyebab krisis tenaga kerja di Malaysia. Berdasarkan studi Ramli Dollah dari Universitas Malaysia Sabah tentang Pembangunan Ekonomi dan Krisis Tenaga Kerja di Malaysia: Geneologi Tenaga Kerja Asing di Sabah—masalah kekurangan tenaga kerja sudah dialami Sabah 100 tahun lalu. Pada kurun 1914-1932 ada 9.969 orang Jawa didatangkan untuk menutupi defisit sumber daya pekerja di Sabah.
Adanya ketegangan politik seperti peristiwa konfrontasi (1963-1966) Malaysia-Indonesia berdampak pada larangan masuknya pekerja asing khususnya Indonesia ke Malaysia. Setelah ada normalisasi hubungan kedua negara, awal 1970-an menjadi momen masuknya kembali pekerja Indonesia ke Malaysia khususnya di sektor perkebunan. Sebagian besar dari mereka rela jadi pekerja perkebunan sawit demi memburu Ringgit.
Ringgit di Kebun Sawit
Sektor perkebunan kelapa sawit di Malaysia diisi oleh mayorita tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Kemenlu mencatat, sekitar 90 persen TKI sektor perkebunan berasal dari Lombok NTB.
Dalam laporan Reuters yang berjudul “Malaysia palm planters face labor shortage as Indonesia workers stay away” mencatat 70 persen pekerja sawit di Malaysia berasal dari Indonesia. Kementerian Dalam Negeri Malaysia pada 2015 mencatat ada 497.000 tenaga kerja asing yang bekerja di sektor perkebunan. Sedangkan pekerja asing di rumah tangga tak sampai 150.000 orang.
Tingginya jumlah pekerja asing di sektor perkebunan sangat wajar. Permintaan tenaga kerja dari sektor ini cukup banyak, dengan tawaran gaji yang cukup lumayan yakni 1.000 ringgit per bulan ini setara dengan $ 225 per bulan--jauh di atas pekerja rumah tangga.
Namun, perlahan pamor daya tarik pekerjaan di sektor sawit memudar salah satu utamanya dampak melemahnya kurs ringgit dibandingkan rupiah. Ringgit sudah jatuh 15 persen sejak awal 2015 hingga kini. Melemahnya ringgit sering dikaitkan dengan anjloknya harga energi dan situasi politik dalam negeri Malaysia.
Bank Indonesia (BI) merekam jejak kurs ringgit terhadap rupiah, pada 2013 satu ringgit rata-rata masih Rp3.707, sedangkan tahun lalu anjlok 19 persen jadi Rp2.996. Artinya bisa mengacu dari kurs BI, dengan asumsi upah minimum di Malaysia tak berubah antara 2013 dan 2016, maka tiga tahun lalu TKI perkebunan di Indonesia bisa mengantongi Rp3,7 juta per bulan, lalu kini uang yang bisa dikantongi TKI perkebunan sawit hanya sekitar Rp2,9 juta per bulan.
Jumlah ini jelas masih di bawah upah minimum di Indonesia khususnya Jakarta. Di Jakarta upah minimum 2016 sebesar Rp3,1 juta dan Kuala lumpur 1.000 Ringgit, sedangkan rata-rata di Indonesia hampir mencapai Rp2 juta per bulan.
Perubahan peta pengupahan di Indonesia 3-4 tahun lalu telah berimbas pada kenaikan upah yang signifikan terutama di Jabodetabek.
Tekanan kurs dan kenaikan upah di Indonesia hanya dua sisi lain, karena data paritas daya beli atauPurchasing Power Parity (PPP) di Malaysia menggambarkan kenaikan yang besar. Pada 2013 hanya $24.230, sedangkan 2015 menembus $26.950. Ini menandakan biaya hidup di Malaysia makin tinggi, tentu akan membuat seorang TKI berpikir ulang bekerja di Malaysia yang penghasilannya makin tergerus melemahnya Ringgit.
Efek dari persoalan ini setidaknya bisa tergambar dari data Kementerian. Dalam Negeri Malaysia yang mecatat total jumlah pekerja Indonesia di Malaysia pada 2013 masih mencapai 1,021 juta orang—termasuk program amnesti pekerja. Namun, pada 2015 hanya tercatat 835.965 pekerja Indonesia yang tercatat di Malaysia.
Penurunan pekerja Indonesia ini berbanding lurus dengan turunnya produksi sawit Malaysia setelahnya. Malaysian Palm Oil Board menghitung pada dua tahun lalu produksi minyak sawit Negeri Jiran ini masih mencapai 19,9 juta ton, tapi pada 2016 anjlok hingga 17,3 juta ton. Sedangkan Indonesia pada tahun yang sama mampu mencapai produksi 32 juta ton.
Meski demikian Malaysia membuntuti Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua. Kondisi ini tentu membuat pemodal seperti Zakaria Arshad dari Felda dibuat pusing dengan kenyataan soal krisis tenaga kerja perkebunan dari Indonesia. Apalagi Malaysia menggantungkan ekonomi mereka salah satunya dari ekspor sawit yang menyumbang miliaran dolar AS setiap tahun.