Menuju konten utama

Kasus ZTE antara AS Vs Cina, Siapa yang Bergantung dan Digantung?

Adanya larangan ZTE untuk mengakses teknologi AS memicu perdebatan, siapa yang paling butuh antara AS dan Cina?

Kasus ZTE antara AS Vs Cina, Siapa yang Bergantung dan Digantung?
Seorang perempuan membetulkan letak bendera Cina sesaat sebelum pertemuan Dialog Strategis sebagai bagian dari Dialog Ekonomi Strategis AS-Cina di Diaoyutai State Guesthouse, Beijing, Cina (10/7/14). REUTERS/Ng Han Guan

tirto.id - Pertengahan April 2018 jadi saat paling menyedihkan bagi ZTE, perusahaan teknologi asal Cina yang didirikan oleh Hou Weigui ini harus menelan pil pahit. Departemen Perdagangan AS menjatuhkan sanksi pelarangan bagi perusahaan-perusahaan Amerika Serikat menjual teknologi atau komponen yang mereka ciptakan pada perusahaan yang berdiri sejak 1985 itu selama 7 tahun.

ZTE terbukti bersalah karena menjual produk mereka pada negara-negara yang mendapat larangan perdagangan oleh AS, salah satunya ialah Iran. ZTE dianggap telah menjual beberapa produknya pada negara-negara tersebut dan memalsukan laporan kepada otoritas AS.

“ZTE membuat pernyataan palsu pada AS ketika mereka tertangkap tangan memasukkan daftar entitas ekspor produk mereka, membuat pernyataan palsu ketika penangguhan hukuman diberikan, dan membuat pernyataan palsu selama masa percobaan,” kata Wilbur Ross, Sekretaris Departemen Perdagangan AS.

Pemecatan empat petinggi ZTE dan uang penalti senilai $1,2 miliar yang diberikan pada otoritas AS, tak sanggup melunakkan sanksi tersebut. Sanksi larangan menjual teknologi AS pada ZTE tak berlebihan jika disebut sebagai hukuman berat. Produk ZTE, seperti smartphone bernama ZTE Nubia N3 misalnya, banyak menggunakan komponen-komponen asal perusahaan AS: Chip Snapdragon 635 buatan Qualcomm, pemrosesan grafis Adreno buatan AMD, hingga sistem operasi Android milik Google.

Derita yang dialami perusahaan asal Cina atas kebijakan pemerintah AS tak sekali ini terjadi. Sebelumnya, di Desember 2014, Huawei, salah satu perusahaan teknologi asal Cina, memperoleh sanksi serupa. Saat itu, atas dasar kekhawatiran Huawei menjadi tangan kanan pemerintah Cina memata-matai AS, pemerintah Paman Sam menjatuhkan larangan Huawei menjual produk-produk jaringan telekomunikasinya pada perusahaan AS.

CNBC, dalam salah satu publikasinya, menyebut bahwa Huawei "dikhawatirkan membangun back door di peralatan jaringan yang mereka ciptakan untuk membocorkan informasi sensitif dari Amerika pada Cina".

Dalam salah satu sanggahannya, Huawei mengatakan secara tersirat bahwa larangan terhadap Huawei menjual peralatan ke AS akan berdampak berkurangnya daya saing produk AS, yang menyebabkan harga barang akan meningkat.

“Rekan-rekan AS harus membayar biaya yang lebih mahal untuk membeli layanan yang kurang kompetitif. Jika AS membutuhkan Huawei memerlukan sesuai, kami akan sangat senang melakukannya, dan jika AS tidak menyambut kami, kamis siap sedia menunggu,” kata Guo Ping, pemimpin Huawei.

Sanksi AS atas ZTE, dan perusahaan-perusahaan Cina lainnya, memicu perbincangan soal siapa sesungguhnya yang saling butuh. Apakah AS bisa hidup tanpa Cina atau sebaliknya?

Jean Baptiste, Vice President Atherton Research, dalam tulisannya di Forbes menyebut sesungguhnya, dalam kasus AS dan Cina, Cina-lah yang lebih membutuhkan AS. Menurutnya, “semua perusahaan besar Cina, dan pemerintah Cina, sangat tergantung pada teknologi AS bagi eksistensi mereka.”

Baptiste, lebih lanjut menyatakan bahwa “ZTE dan Huawei, berikut juga BATX (Baidu, Alibaba, Tencent, Xiaomi), Didi, dan termasuk perusahaan besar lain seperti ICBC, Bank of China, China Mobile, China Telecom, Petro China atau SAIC Motor.

Kesemuanya ketergantungan dalam hal teknologi dan komponen dan perangkat lunak dan properti intelektual lainnya dari perusahaan Amerika seperti Apple, 3M, AMD, Applied Materials, Cisco, Corning, Google, Intel, Micron, Microsoft, Qualcomm, Seagate, ataupun Western Digital.”

Baptiste menyebut bahwa pelarangan penjualan teknologi AS pada perusahaan-perusahaan Cina “akan berdampak pada kejatuhan ekonomi Cina.”

Apa yang diungkap Baptiste nampaknya tak sepenuhnya benar. Teknologi hari ini dikuasai AS, tak menutup kemungkinan dalam tahun-tahun mendatang Cina menyalip negeri tersebut. Salah satu penyebabnya: paten.

Dalam rilis WIPO (World Intellectual Property Organization) pada 2015 lalu ada 2,9 juta paten yang didaftarkan. Dari jumlah tersebut, Cina mengungguli AS. Negeri tirai bambu mendaftarkan 1.010.406 paten. Sementara AS hanya mendaftarkan 526.269 paten.

Infografik AS dan Cina

Selain itu, seruan dari beberapa tokoh teknologi Cina untuk tidak terlalu memiliki ketergantungan pada AS cukup menjadi ancaman. Jack Ma, pendiri Alibaba dalam salah satu kesempatannya di Waseda University, Jepang, menyatakan secara tersirat bahwa Cina, dan negara Asia lainnya, mesti mandiri soal teknologi.

“Amerika adalah penggerak awal penciptaan teknologi. Cina, kami membutuhkan banyak hal. 100% chip dikendalikan oleh Amerika. Dan katakanlah ketika mereka memutuskan tidak lagi menjual chip, apa maksudnya? Tentu kalian tahu sendiri. Itu artinya, Cina, Jepang, dan negara manapun, harus menciptakan sendiri teknologi inti,” kata Jack Ma.

Sesungguhnya, meskipun AS hari ini unggul soal teknologi, mereka tak serta merta bisa meninggalkan Cina. iPhone adalah contoh kasusnya. Pada Maret 2016, ketika Donald Trump akhirnya memenangkan pencalonan sebagai presiden Amerika Serikat melalui Republik, suami dari Melania Trump tersebut berpidato.

Di salah satu bagian ucapannya yang panjang lebar itu, Trump berkata: “Saya akan memaksa Apple untuk mulai memproduksi komputer dan iPhone di tanah kita, tanah Amerika Serikat, bukan di Cina.”

Beberapa bulan kemudian, saat “Mr. President” resmi melekat di depan namanya, Trump kembali berkata: “Saya telah berbicara pada Tim Cook (CEO Apple), katanya dia berjanji tentang tiga rencana. Rencana yang sangat, sangat, besar.”

Apple memerlukan 750 perusahaan pemasok dari lebih 20 negara saat membuat produk. Pada 12 September 2017, Apple meluncurkan iPhone X sebagai produk anyar mereka. Sayangnya, janji manis Trump tak terbukti di peluncuran itu. iPhone X, dan sebagaimana produk-produk Apple lain, masih memiliki kalimat bertuliskan “designed by Apple in California, Assembled in China” di bagian belakangnya.

AS, negara yang mendaku paling berkuasa, sesungguhnya tidak bisa hidup sendirian, terutama menyangkut penciptaan suatu produk. Dalam ulasan yang dilakukan Marketplace, bila Apple memaksakan memproduksi iPhone sepenuhnya di AS, ongkos produksi per unit iPhone meningkat sebesar $600. MIT Technology Review menyebut bahwa mimpi Trump tersebut akan menyebabkan harga iPhone yang dibebankan pada konsumen naik sebesar 5%.

Panzica, Chief Analyst dari IHS Markit Technology, secara tersirat menyebut bahwa sisi yang membuat AS tidak bisa berpaling dari Cina adalah sumber daya manusia. Sebagai negara dengan populasi tertinggi di dunia, Cina dianggap mampu memanfaatkan keunggulan itu.

“Jika kamu mengumpulkan semua pekerja di GE, GM, dan Ford, tetap saja masih kurang 20 persen bila dibandingkan empat pabrik Foxconn (pabrik perakitan iPhone di Cina),” kata Panzica.

Selain kasus iPhone, data perdagangan antara AS dan Cina menyebut bahwa negara tempat Silicon Valley berada memang masih kalah dibanding Cina. Pada 2017, nilai perdagangan barang AS ke Cina berada di angka $130,37 miliar, sedangkan nilai impor barang dari Cina ke AS senilai $505,597 miliar alias defisit perdagangan.

Jadi siapa sebenarnya yang paling membutuhkan?

Baca juga artikel terkait HUAWEI atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Ahmad Zaenudin & Suhendra