tirto.id - Tiga tahun lalu, seorang teman pulang dari Amerika dan membawa oleh-oleh berbagai cendera mata. Ada miniatur patung Liberty, pembatas buku, hingga kaos bertuliskan I Love New York, tampak sangat Amerika. Tetapi begitu dicermati, terselip tulisan kecil made in China di setiap barang itu.
Akhir 2013, saya ke Victoria Market di Melbourne, Australia. Ia semacam pasar tradisional di pusat kota Melbourne. Hampir seluruh pernah-pernik yang tampak sangat Australia itu pun dibuat di Cina. Dari boneka koala hingga boomerang—senjata penduduk asli Australia.
Saya masih ingat persis, seorang pedagang kulit putih berkata, “This is from Australia, not from China,” kepada saya. Ia menekankan bahwa koper yang yang ingin saya beli asli dari Asutralia, bukan buatan Cina, seperti mayoritas barang dagangan di pasar.
Lalu saya berkunjung ke salah satu gerai Quicksilver, produk fashion asal Australia. Namun, seluruh barangnya dibuat di Cina. Cina memang menguasai perdagangan dunia. Industri manufakturnya bisa meniru apapun, bahkan produk-produk Apple pun dirakit di pabrik-pabrik milik Foxconn yang sebagian besar ada di Cina. Untuk bisa menguasai perdagangan, Cina juga butuh strategi di bidang moneter.
Salah satu strategi Cina untuk bisa bersaing dan menguasai perdagangan di pasar Internasional adalah menjaga nilai tukar Yuan tetap lemah. Semakin lemah Yuan, semakin murah harga ekspor. Pemerintah Cina melakukan berbagai intervensi untuk menjaga agar nilai tukar Yuan tak kuat, tetapi juga tidak terlalu lemah. Sebab jika terlalu lemah, perekonomian dalam negeri Cina juga akan terpuruk.
Cara pemerintah Cina menjaga Yuan agar tetap lemah adalah dengan mencetak Yuan banyak-banyak, lalu membeli dolar. Dolar yang dibeli itu tidak disimpan di dalam peti, tetapi dipinjamkan ke Amerika dengan membeli surat utang bernama Treasury Securities yang dikeluarkan Pemerintah AS.
Treasury Securities ini ada dua jenis, T-bills dengan jangka waktu kurang dari satu tahun dan T-notes yang jangka waktuya lebih dari satu tahun. Menurut data dari Department of Treasury and Federal Reserve Bond, sejak 2010, Cina konsisten memberi pinjaman lebih dari $1 triliun kepada Amerika melalui pembelian surat utang.
Cina kerap berada di posisi teratas negara pembeli surat utang Amerika. Itu artinya, utang terbesar Amerika adalah kepada Cina. Tahun ini, jika digambarkan dalam sebuah grafik, kepemilikan surat utang AS oleh Cina tampak menukik sejak Juni. Nilainya terus turun dan tak naik lagi. Dalam rentang Oktober 2015 sampai Juni 2016, nilai surat utang AS yang ada di tangan Cina tak pernah naik signifikan. Grafiknya naik turun. Barulah pada Juni, ia turun terus dan belum naik lagi.
Oktober lalu, Jepang yang sebelumnya berada di posisi ke dua, menggantikan posisi Cina menjadi yang teratas. Bukan karena Jepang menambah porsi pembelian surat utangnya, tetapi karena pengurangan yang dilakukan Cina cukup fantastis.
Februari tahun ini, Cina memegang surat utang AS senilai $1,25 triliun atau 20,1 persen dari total Treasury Securities. Bulan-bulan selanjutnya, angkanya tak pernah lebih dari itu. Menurut data terakhir, pada Oktober angkanya turun menjadi $1,115 triliun, angka terendah dalam enam tahun terakhir. Dengan begitu porsi Cina pun menurun menjadi 18,5 persen.
Jepang sebenarnya juga mengurangi kepemilikannya terhadap Treasury Securities. Tetapi karena pengurangan yang dilakukan Jepang tak sebesar Cina, posisi Cina pun tergeser.
"Cina menjual dolar untuk menjaga yuan stabil sementara Jepang sangat senang membiarkan yen terdepresiasi," kata Chester Liaw, ekonom Forecast Singapore seperti dikutip CNBC, pekan lalu.
Nilai tukar yuan terhadap dolar memang tampak terus melemah sejak tahun lalu. Grafik nilai tukar Yuan terhadap dolar dalam enam tahun terakhir terlihat seperti bukit. Tahun 2016, garisnya menukik. Pada 20 Desember, nilainya ditutup pada angka $0,144 untuk satu yuan. Padahal 1 Januari tahun ini, nilainya masih di angka $0,153. Nilai tukar yang terlalu lemah pun tak baik bagi perekonomian Cina.
Sementara itu, pengurangan kepemilikan surat utang yang dilakukan Cina dan Jepang ini, memberi dampak buruk bagi ekonomi Amerika. Begini, ketika pinjaman mengalir deras melalui kepemilikan Treasury, suku bunga surat utang (yield) rendah, maka suku bunga pinjaman di Amerika juga ikut turun. Sebaliknya, jika kepemilikan surat utang terus menurun, maka bunga surat utang akan naik, dan bunga pinjaman di Amerika pun terancam naik.
Pada 4 Januari lalu, yield untuk Treasury dengan jangka waktu satu bulan masih di angka 0,17 persen. Pada 19 Desember, angkanya naik menjadi 0,45 persen. Begitu juga dengan yield Teasury jangka waktu paling panjang, 30 tahun. Januari lalu besaran yield-nya masih 2,98 persen. Pada 19 Desember, angkanya menyentuh 3,12 persen.
Kebijakan moneter merupakan kebijakan kompleks. Kebijakan satu negara akan berdampak pada negara lain, terlebih negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan atau utang-piutang. Amerika sudah begitu lama kesal dengan kontrol Cina yang menjaga Yuan tetap lemah. Tetapi ketika Cina mengambil sikap untuk mendongkrak Yuan, toh Amerika juga terkena imbasnya.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti