tirto.id - Juni 2010, seorang mahasiswa bernama Liu Jiang tiba di Foshan, sebuah kota di Selatan Cina. Ia menempuh jarak ratusan mil dari kampusnya, Dongfang Vocational School of Technology yang berada di Utara. Tujuannya hanya satu, magang di pabrik milik perusahaan manufaktur elektronik terbesar di dunia, Foxconn.
Pabrik Foxconn yang terletak di Foshan berada di bawah naungan Foxconn Premier Image Technology Ltd, anak usaha Foxconn Technology Group. Ia adalah perusahaan pembuat Digital Still Camera (DSC) terbesar di dunia.
Kurang dari sebulan melewati masa magang, Liu Jiang bunuh diri. Pagi hari di pertengahan Juli, ia ditemukan tewas setelah lompat dari kamarnya yang terletak di lantai enam. Tak diketahui jelas penyebab bunuh dirinya. Yang pasti, Liu Jiang menambah catatan panjang bunuh diri di pabrik-pabrik milik Foxconn.
Pada tahun yang sama, ada 17 buruh lainnya yang memutuskan mengakhiri hidup. Sebanyak 14 orang di antaranya, termasuk Liu, tak tertolong dan meninggal dunia. Di tahun-tahun berikutnya, bunuh diri ini terus terjadi, meski jumlahnya tak sehebat pada 2010.
Di Shenzen, pabrik terbesar Foxconn berdiri gagah di atas tanah seluas tiga kilometer persegi. Sekitar 400.000 buruh bekerja di sana. Tak hanya pabrik, di atas tanah itu juga berdiri asrama buruh, empat kolam renang, dan beberapa fasilitas hiburan seerti bioskop, tempat karaoke, toko buku, restoran, layaknya sebuah kota.
Melihat berbagai fasilitas itu, tampaknya Foxconn memperlakukan buruhnya dengan sangat manusiawi. Lalu mengapa praktik bunuh diri terus terjadi?
Dalam sebuah monolog berjudul The Agony and the Ecstasy of Steve Jobs, seniman Mike Daisey pernah bercerita tentang pengalamannya mengunjungi pabrik Foxconn di Shenzen. Ia berusaha masuk ke dalam pabrik, tetapi pihak Foxconn tak memberinya izin. Daisey lalu hanya berdiri di gerbang utama, ditemani seorang penerjemah. Ia bicara pada beberapa buruh yang melintas.
Dua jam pertama, di hari pertamanya berdiri di gerbang, Daisey bertemu bekerja berusia belasan tahun, 14, 13, bahkan 12 tahun.
Selama berdiri di gerbang itu, ia tak bertemu satu orang pun yang mengerti tentang jam kerja delapan jam sehari. Mereka semua bekerja paling sedikit 12 jam sehari, bahkan banyak yang lebih dari itu. Padahal, jam kerja resmi di Cina adalah delapan jam.
Tak puas hanya berdiri di gerbang, Daisey berusaha masuk dengan menyamar sebagai pengusaha. Ia membuat kartu nama dengan alamat palsu, masuk, dan mendengarkan presentasi dari Foxconn.
Ia juga minta diantarkan keliling asrama buruh. Permintaan itu dikabulkan, karena Daisey dianggap seorang calon klien potensial. Ia melihat kamar berukuran 10 x 12 kaki dengan 15 tempat tidur. Kamera ada di mana-mana, termasuk di kamar tidur. Fasilitas bagus, tetapi pekerja seperti terpenjara.
Monolog itu secara jelas menggambarkan tentang bagaimana Foxconn memperlakukan pekerjanya. Daisey mempertanyakan keputusan Apple yang tetap memilih Foxconn sebagai mitranya, meski sudah memperlakukan pekerja dengan tidak semestinya. Sepanjang musim panas 2010, Daisey telah menampilkan monolog itu di 18 kota. Sebanyak 75.000 orang telah menonton pertunjukannya.
Dehumanisasi Buruh
Menanggapi berbagai kasus bunuh diri, Foxconn selalu berkilah. Mereka menyebutkan aksi bunuh diri itu disebabkan persoalan-persoalan pribadi, seperti keluarga dan percintaan, bukan oleh perusahaan.
Klaim itu langsung terbantahkan oleh cerita Tian Yu, buruh perempuan Foxconn yang selamat dari aksi bunuh diri. Percobaan bunuh diri itu dilakukan Tian pada Maret 2010, ketika usianya masih 17 tahun. Sebelum percobaan bunuh diri, Tian menghadapi masalah terkait gaji. Karena salah kelola perusahaan, Tian tidak bisa menerima gajinya. Ia lalu ke sana ke mari, dari satu gedung ke gedung lain, berusaha mencari solusi atas persoalannya. Hasilnya nihil, tak satupun bisa menolong gadis malang itu.
Tian lalu kembali ke asrama. Ia merasa frustasi. Jalan pintas diambil untuk mengakhiri hidupnya. Tian beruntung, dan berhasil selamat dari percobaan bunuh dirinya. Hanya saja, sebagian tubuhnya lumpuh.
Foxconn mendatangi keluarga Tian dan memberikan kompensasi. Syaratnya satu, Tian tak boleh memberitahu publik tentang apa yang terjadi. Tak boleh ada yang tahu tentang penyebab aksi bunuh dirinya.
Kisah Tian diceritakan oleh Debby Chan, Project Officer Student and Scholars Againts Corporate Misbehaviour (SACOM) dalam sebuah pertemuan di Economic Public Institute pada April 2012. SACOM adalah salah satu lembaga nirlaba yang menaruh perhatian cukup besar pada buruh-buruh Foxconn.
Debby menuturkan, seluruh buruh yang diwawancarainya mengeluhkan tentang tekanan pekerjaan. Jika membuat sedikit kesalahan, mereka akan langsung dihukum. Hukumannya terkadang konyol, menuliskan sejumlah kutipan bijak dari Sang CEO Terry Gou selama dua hingga empat jam.
Foxconn juga mengadopsi sistem militer di pabrik-pabriknya. Para calon buruh harus mengikuti semacam latihan kemiliteran sebelum resmi bekerja. Foxconn pernah membantah ini, tetapi Debby menunjukkan foto-foto latihan itu sebagai bukti kepada publik.
Alih-alih memperbaiki sistem kerja agar buruh tidak bunuh diri, Foxconn malah membuat kebijakan yang aneh. Pascamaraknya aksi bunuh diri, Foxconn meminta seluruh karyawannya membuat pernyataan tidak akan melakukan bunuh diri. Kalaupun itu terjadi, Foxconn tidak bertanggung jawab. Sebuah tes psikologi juga dilakukan bagi para calon buruh. Tak lupa, jaring pengaman dipasang di sekeliling bangunan asrama untuk menggagalkan aksi bunuh diri.
“Foxconn seolah meyakini bahwa aksi bunuh diri disebabkan gangguan jiwa,” kata Debby.
Perusahaan manufaktur IT terbesar di dunia ini juga dinilai sewenang-wenang terhadap para siswa magang. Tahun 2010, China Labor Wacth melaporkan bahwa Foxconn secara sistematis memanfaatkan tawaran magang dari 200 institusi pendidikan di Cina Selatan sejak 2009.
Alih-alih memberikan pelatihan, para pelajar yang magang dipaksa bekerja di pabrik. Layaknya para buruh, mereka dipaksa bekerja selama 14 jam, dengan bayaran yang jauh lebih kecil. Foxconn disebut sebagai kamp konsentrasi bagi parah buruh di abad 21.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti