tirto.id - Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) didesak segera disahkan mengingat RUU ini penting karena aturan yang ada sekarang belum cukup melindungi korban kekerasan seksual.
Desakan ini diserukan oleh Tirto.id berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dan Grab Indonesia.
Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menyebutkan masyarakat minim literasi tentang RUU PKS. "RUU PKS tidak pernah dimunculkan [di media]. Sekalinya pernah, itu sangat jarang,” kata Bahrul dalam webinar “Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual”, Jumat (4/9/2021).
Dampaknya, kata Bahrul, publik mendengar informasi yang tidak akurat dan informasi palsu tentang RUU PKS, salah satunya yakni RUU itu melegalkan perbuatan zina.
Pengurus AJI Indonesia, Widia Primastika menegaskan RUU PKS mendesak disahkan untuk melindungi korban. Dia mencontohkan kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengalami perundungan.
"Laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual," kata Widia.
Beberapa kasus pelecehan seksual di kampus mencuat beberapa tahun terakhir yang juga fenomena gunung es, karena hanya segelintir korban yang mau bersuara. Terbaru, kasus pelecehan seksual di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, Jawa Timur menambah daftar panjang kekerasan seksual di dunia pendidikan.
Sebelumnya juga terjadi kasus pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Agni --bukan nama sebenarnya--. Kasus pelecehan seksual lainnya juga pernah terjadi dengan pelaku dosen terhadap seorang mahasiswi di Universitas Negeri Padang (UNP).
Ada lagi, seorang dosen Universitas Palangka Raya (UPR) berinisial PS diduga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Kasus-kasus lain pelecehan seksual masih panjang daftarnya yang membuat RUU PKS makin mendesak disahkan.
Sedangkan RUU PKS sendiri telah melewati serangkaian kajian panjang pembahasan di DPR. Bahkan sempat dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional dan kini masuk lagi. Ada berbagai dinamika yang muncul akhir-akhir ini.
“Kami mendengar ada sejumlah perubahan dalam pembahasan RUU itu di Badan Legislasi DPR. Misalnya, pemangkasan 85 pasal, termasuk pasal yang berhubungan dengan hak-hak korban. Juga judul yang berubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” jelasnya.
Perubahan lainnya yakni penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual. Naskah RUU PKS versi Baleg hanya memuat empat bentuk kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual fisik dan non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.
Sementara itu, naskah RUU PKS yang masyarakat sipil sodorkan merumuskan sembilan bentuk kekerasan seksual. Bentuknya yakni pelecehan seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual. Sembilan kekerasan seksual itu berdasarkan pada temuan kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan oleh forum pengadaan layanan dan Komnas Perempuan.
Draf terbaru versi Baleg muncul usai Baleg menggelar rapat pleno penyusunan draf RUU PKS pada Senin, 30 Agustus 2021. Mereka juga menghilangkan kata penghapusan di dalam draf RUU PKS menjadi tindak pidana. Ada juga penghalusan definisi perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual. "Kami kecewa dengan perubahan itu. Ini langkah mundur," kata Widia.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Ermarini berjanji mengawal proses RUU PKS di DPR. "Tentang perubahan draf yang tahu Baleg," kata Anggia.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri