tirto.id - Presiden Joko Widodo memberikan tenggat waktu tambahan kepada Polri mengusut tuntas kasus penyerangan air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan hingga awal Desember 2019. Sayangnya, hingga kini belum diperoleh hasil temuan baru dari tim tersebut.
Pada Senin sore, 9 Desember, Presiden Jokowi pun memanggil Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis untuk membahas temuan tim khusus yang ditugasi menangani perkara ini. Jokowi mendesak agar polisi menyelesaikan kasus ini dalam hitungan hari.
“Hasilnya? Dijawab, ada temuan baru yang sudah menuju pada kesimpulan,” kata Jokowi usai acara Rapat Koordinasi Nasional Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (Rakornas TPAKD), di Hotel Mulia Senayan Jakarta, seperti dikutip Antara, Selasa (10/12/2019).
Meski Presiden Jokowi mengaku sudah mendapatkan laporan signifikan, tapi pihak kepolisian justru belum mau membeberkan hasilnya.
“Mudah-mudahan penyidik ada waktu menyampaikan perkembangan tersebut, kami dari kepolisian sangat serius. Penyidik masih bekerja keras untuk melakukan penyelidikan. Semoga harapan Pak Presiden dan masyarakat terkait kasus ini terungkap,” kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Argo Yuwono, di Mabes Polri, Selasa (10/12/2019).
Awalnya, untuk mengusut kasus ini, Tito Karnavian, selaku Kapolri saat itu, membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Novel Baswedan. Tim ini beranggotakan 65 orang, 52 di antaranya adalah anggota Polri, enam orang dari perwakilan KPK, dan tujuh pakar dari luar kepolisian.
TPF mulai bekerja sejak 8 Januari hingga 7 Juli 2019 sesuai surat Nomor: Sgas/3/I/Huk.6.6./2019.
Enam bulan TPF ini bekerja untuk menggali, menganalisis, dan menyimpulkan temuan perkara. Hasil investigasi yang dilakukan TPF ada 170 halaman dan 1.500 halaman lampiran, diserahkan kepada Tito Karnavian untuk ditindaklanjuti.
Selain hanya mengumumkan ‘barang lama’, hasil investigasi tim yang dibentuk menjelang debat pertama Pilpres 2019 ini juga malah punya kesimpulan yang mencengangkan. Penyerangan terjadi lantaran KPK dan Novel diduga menggunakan kewenangan berlebihan dalam mengusut perkara atau “excessive use of power."
Tingginya ekspektasi publik atas hasil kerja TPF ini hanya dibalas kekecewaan. Jangankan dalang, pelaku lapangan saja tak becus diungkap. Salah satu rekomendasi TPF ialah Polri bentuk Tim Teknis.
Tim Teknis saat itu diketuai oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Nico Afinta dan sebagai penanggung jawab ialah Idham Azis sebagai Kabareskrim. 120 polisi dari beberapa unit terlibat menjadi anggota tim teknis.
Masa kerja tim berakhir pada 31 Oktober berdasarkan Surat Perintah Nomor: Sprin/2192/VIII/HUK.6.6/2019.
Presiden Jokowi pun, pada 19 Juli 2019, memberikan waktu tiga bulan lagi kepada Tito Karnavian untuk menyelesaikan kasus Novel. Waktu itu lebih singkat dari target enam bulan yang disampaikan Kapolri sebagai masa kerja tim teknis yang akan melanjutkan hasil temuan TPF.
Alghiffari Aqsa, kuasa hukum Novel Baswedan, berpendapat perkara ini tidak akan rampung bila Presiden Jokowi tetap tak mau membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen.
“Sedari awal kami memang menduga kasus ini tidak akan selesai oleh kepolisian, kecuali jika ada Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Independen yang dibuat oleh Presiden," ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, pada Selasa (10/12/2019).
Menurut Alghiffari, kondisi sekarang bukan hal yang tidak diprediksi oleh tim kuasa hukum Novel, mengingat dugaan adanya jenderal polisi yang terlibat dalam penyiraman air keras pada 11 April 2017 itu.
“Yang betul-betul mengecewakan adalah presiden ikut dengan logika penanganan oleh kepolisian. Menurut saya presiden harus tegas, jangan lembek ke kepolisian,” kata Alghiffari.
Dalih Presiden Jokowi lembek ke Polri ini, kata dia, berdasarkan sejumlah poin: Pertama, tidak menggunakan mekanisme evaluasi yang jelas kepada kepolisian. Kedua, terlalu mudah percaya kepada laporan bawahan dan tidak menggunakan data pembanding yang dipaparkan oleh ahli atau masyarakat sipil. Ketiga, tidak paham proses penegakan hukum.
“Jokowi menjadi bagian dari undue delay (peradilan yang berlarut). Peradilan yang berlarut adalah bentuk impunitas dan ketidakadilan,” kata Alghiffari.
Dalam kasus ini, jangan sampai Presiden Jokowi dan Kapolri Idham Azis selalu memberikan harapan kosong atau PHP (pemberi harapan palsu). Sebab, seperti kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, semestinya tidak perlu waktu sampai 1.000 hari pelaku penyerangan terhadap penyidik KPK Novel dapat ditemukan.
“KPK menunggu pelaku penyerangan itu ditemukan karena waktunya juga sudah terlalu lama sekitar 27 hari lagi maka genap 1.000 hari sejak Novel diserang. Maka tentu harapannya tidak perlu sampai 1.000 hari untuk menemukan pelaku penyerangan lapangan itu,” kata Febri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa malam.
Febri pun mencontohkan teror bukan hanya terjadi kepada Novel, namun juga menimpa Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
"Kita tahu bukan hanya Novel yang diserang, tetapi rumah dua pimpinan KPK juga diteror dengan bom saat itu baik bom molotov maupun benda berbentuk mirip bom di rumah Ketua KPK," tutur dia.
Menurut Febri, risiko teror tersebut juga bisa terjadi pada pegawai KPK, Kepolisian maupun Kejaksaan yang menangani kasus korupsi.
"Bahkan jurnalis dan masyarakat sipil yang 'concern' pada isu korupsi. Jadi, teror-teror seperti ini tentu harus dilawan semaksimal mungkin dengan penegakan hukum yang tegas dan konsisten, itu yang kami harapkan,” ujar Febri.
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan Presiden Jokowi dan Polri sama-sama tidak menunjukkan urgensi pengungkapan pelaku kejahatan harus cepat.
“Kalau tahap sekarang bukan soal cepat, tapi apakah akan terungkap,” kata Asfinawati ketika dihubungi reporter Tirto.
Asfinawati melanjutkan, esensi negara hukum yaitu kalau ada orang berbuat kejahatan, maka ada proses hukum yang berjalan. Maka jangan anggap kasus Novel sepele lantaran temuan Komnas HAM maupun TPF Polri punya satu kesamaan: Novel mendapat kekerasan karena tugasnya di KPK.
Berkaitan dengan indikasi politis dalam kasus ini, Asfinawati berpendapat, mungkin saja ada.
“Semua kasus yang tidak terungkap dalam sejarahnya, punya kaitan dengan politik. Tapi tidak mungkin presiden tidak bisa mengendalikan polisi, atau sebaliknya, tidak mungkin polisi berani melawan presiden,” kata Asfinawati.
Asfinawati menegaskan, kalau Presiden Jokowi benar-benar mau dianggap tidak pro-koruptor, maka TGPF Independen kasus ini harus dibentuk.
Komnas HAM pun akan menghubungi Kapolri Idham Azis perihal penanganan perkara ini.
“Akan menyurati lagi Kapolri Idham Azis yang kebetulan dahulu adalah ketua tim untuk menyelesaikan masalah ini dan akan menagih janji dari Polri dan juga mengingatkan Bapak Presiden," ucap Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz