tirto.id - Penyidik Senior KPK Novel Baswedan telah pulang ke Indonesia usai berobat di Singapura sejak 12 April 2017. Di Tanah Air, Novel mendapat sambutan suka cita dari para pegiat antikorupsi, rekan kerja, juga atasannya di KPK. Namun, ada pertanyaan yang mendasar: kapan polisi menangkap pelaku penyiraman air keras ke wajah Novel?
Polisi telah melakukan penyelidikan kasus penyiraman air keras sejak 11 bulan lalu. Namun, belum ada tanda-tanda siapa pelakunya. Padahal polisi sudah membuat sketsa wajah terduga pelaku dan meminta bantuan polisi internasional. Di tempat kejadian perkara juga ada sejumlah barang bukti seperti rekaman kamera pengawas (CCTV), gelas untuk menyimpan air keras, dan penuturan saksi.
Para aktivis antikorupsi mendesak pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF). Namun, seperti mencari penyerang Novel, usulan ini juga mentah. Dosen pidana Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto heran dengan ketidakmampuan polisi mengungkap kasus Novel.
“Karena perkara-perkara yang lain itu bisa cepat ditangani, bahkan yang serumit apapun,” kata Sigit saat dihubungi Tirto, Jumat (3/3).
Ada empat faktor yang membuat pengungkapan suatu perkara berjalan lambat dari sudut pandang ilmu hukum pidana, antara lain: isi aturan/hukum yang berlaku, faktor kemampuan sumber daya manusia, sarana dan prasarana hukum, dan budaya hukum. Pada kasus Novel memang perlu ada political will pemerintah.
Namun, kasus penyiraman air keras terhadap Novel mandek juga karena faktor Novel. Ia mengatakan Novel seharusnya menyampaikan ke penyidik semua informasi. Alasan Novel yang hanya mau membuka informasi kepada TGPF menunjukkan rasa tidak percaya kepada institusi kepolisian.
“Mestinya Novel harus percaya juga dengan lembaga yang dibentuk pemerintah,” kata Sigit.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai Novel mendramatisasi kasusnya. Ia menduga Novel sengaja membuat drama ini. “Kelihatannya Novel memang benar-benar ingin mengungkapkan siapa sebetulnya dalang di balik penyerangnya,” kata Hendri.
Hendri mengatakan perkara Novel merupakan pertaruhan bagi kepolisian. Citra kepolisian akan terdegradasi apabila tidak mampu menyelesaikan kasus Novel. “Ini [turunnya Citra kepolisian] akan begini terus sebelum apa yang diinginkan Novel terjadi,” kata Hendri.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono sudah melakukan berbagai macam cara untuk mengungkap kasus Novel. Ia mencontohkan, kepolisian sudah mengajak KPK bekerja sama mengungkap kasus Novel.
“Semua metode. Penegak hukum lain sudah ikut bergabung. KPK juga ada penyidik yang ikut bergabung, kurang apa nanti disampaikan ke polisi,” kata Argo.
Argo mengungkapkan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan Inspektur Pengawas Umum Mabes Polri mengawasi langsung proses penyelidikan kasus Novel. Selain itu, organisasi eksternal seperti Ombudsman dan Kompolnas juga ikut memantau. Sehingga Argo menilai TGPF tak perlu dibentuk.
“Kami kan sudah ditempel sama KPK, kita komunikasi terus. Semua kita sampaikan kepada KPK," kata Argo.
Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan, dalam waktu dekat Kapolri akan melakukan pertemuan dengan presiden untuk membahas kasus Novel. "Pak Kapolri baru tiba dari umroh dan mungkin satu dua hari ini beliau sudah siap memberikan keterangan kepada bapak Presiden," kata Setyo di Jakarta, Jumat (2/3).
Setyo memastikan pertemuan itu tidak akan membicarakan pembentukan TGPF. Tim penasihat hukum Novel Baswedan Asfinawati mempertanyakan kerja sama polisi dengan KPK dalam pengusutan kasus Novel. “Publik tidak pernah dengar kerja sama itu bentuknya, siapa timnya, kapan dibentuk, dan apa hasilnya,” kata Asfinawati.
“Jadi, kita perlu TGPF untuk mengurai dan menunjukkan arah kasus ini.”
Penasihat hukum Novel lainnya, Haris Azhar menilai pengungkapan kasus Novel tidak selesai karena dua hal. Pertama penyidik tidak mengelola bukti dan saksi secara optimal. Kedua, ada aktor besar yang menurutnya tidak ingin kasus ini diungkap
“Ini bukan soal enggak bisa, ini soal enggak mau: takut,” kata Haris.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Muhammad Akbar Wijaya