tirto.id - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) menyatakan sejumlah bukti transaksi yang mengindikasikan dugaan gratifikasi Gubernur Papua Nonaktif, Lukas Enembe.
"Terdakwa l menerima uang dari Pitun Enumbi pada 10 Januari 2017 sebesar Rp1,1 miliar sebagaimana surat dan alat bukti berupa print out dari bank yang sudah dilegalisir," ujar JPU KPK, Yoga Pratomo di sidang pembacaan replik di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).
Yoga menjelaskan, uang tersebut telah dikirimkan secara bertahap ke rekening bank BCA milik Enembe. Selain penerimaan uang tersebut, ia juga pernah menerima uang sebesar Rp3 miliar dari Pitun Enumbi lewat saudara Benjamin Tiku.
"Kami menyatakan tetap pada tuntutan, yakni supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar sebagaimana surat tuntutan kami," ujar Jaksa Yoga Pratomo.
JPU KPK menyatakan argumentasi Lukas Enembe dan penasihat hukum dalam nota pembelaan atau pleidoi harus ditolak atau patut untuk dikesampingkan. Jaksa komisi antirasuah itu menilai tuduhan penasihat hukum dalam pleidoi maupun pernyataan Lukas Enembe dalam pleidoi pribadinya tidak sesuai fakta.
Saat pembacaan replik, Jaksa memberikan tanggapan atas pleidoi dari tim kuasa hukum Lukas Enembe. Jaksa menilai Lukas telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jaksa KPK tetap meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman terhadap Lukas Enembe dengan pidana penjara selama 10 tahun dan enam bulan, serta pidana denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan pengganti selama enam bulan.
Selain itu, tuntutan membayar uang pengganti sejumlah Rp47,8 miliar juga tetap dilayangkan kepada Lukas. Apabila Lukas tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama tiga tahun.
"Menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana," lanjut Yoga.
Walaupun JPU telah menjelaskan secara rinci, pengacara Enembe, Petrus Bala Pattyona meragukan bukti yang ditunjukkan JPU KPK.
"Satu hal yang ingin kami sampaikan, kami meragukan semua bukti surat yang katanya dari BCA," ujar Petrus di Pengadilan Tipikor di PN Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).
"Salah satu bukti yang ditampilkan jaksa adalah slip setoran dari BCA Timika pada 12 April 2013. Sementara BCA Cabang Timika itu belum ada tahun 2013. Baru beroperasi tahun 2015," lanjutnya.
"Kalau dari slip saja banknya belum muncul, apa kami bisa percaya dengan keterangan yang lain," tutur Petrus.
Senada dengan Petrus, saksi bernama Budi Sultan juga menerangkan bahwa ia baru membuka rekening BCA pada 2015.
"Kalau dari sekian banyak bukti yang disodorkan, satu bukti saja 'diragukan' validitasnya bagaimana kita bisa percaya?" ucapnya.
Lebih lanjut Petrus menyayangkan bahwa pihak bank yang bersangkutan tidak diundang ke persidangan untuk memberikan klarifikasi. Padahal, keterangannya bisa menjadi saksi kunci untuk dugaan tindak pidana pencucian uang yang membelit kliennya.
"Mau bilang gimana juga ini seperti sulap," tukasnya.
Sebelumnya, Lukas Enembe dituntut 10 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum. Ia juga harus membayar uang pengganti sejumlah Rp47,8 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah keputusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkrah). Apabila Enembe tidak membayar dalam kurun waktu yang ditentukan, maka jaksa akan menyita harta bendanya.
Selain kasus suap dan gratifikasi, KPK juga kembali menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Penetapan tersebut merupakan pengembangan dari kasus dugaan gratifikasi yang telah lebih dahulu menjerat Lukas.
Penulis: Iftinavia Pradinantia
Editor: Maya Saputri