tirto.id - Orang-orang bersantai tanpa memakai masker, berenang di kolam tanpa memperhatikan kemungkinan penularan COVID-19, dan mengabaikan protokol kesehatan untuk menjaga jarak. Di tengah pandemi, tindakan demikian berpotensi membahayakan nyawa. Pemicunya adalah diskon 90% yang dilakukan oleh pengelola Waterboom Lippo Cikarang. Diskon ini menyebabkan pengunjung membludak.
Kejadian tersebut hanya berselang sehari sebelum pemerintah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) jilid I dan II sebagai antisipasi penyebaran COVID-19. Sejak 11-25 Januari 2021 dan 26 Januari-8 Februari 2021, sepanjang kurang lebih 1 bulan, penambahan kasus mencapai 321.119 orang. Presiden Joko Widodo menyadari ini ketika melihat hasil PPKM jilid I di Pulau Jawa-Bali. Dalam rapat kerja terbatas bersama kabinetnya, Jokowi menyebut PPKM tak efektif.
"Kita harus ngomong apa adanya ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi karena kita memiliki indeks mobility-nya, sehingga di beberapa provinsi COVID-nya tetap naik," kata Jokowi.
Rapat terbatas itu dilakukan pada Jumat (29/1/2021) di Istana Bogor. Menurutnya, sejumlah provinsi tidak tegas dalam menerapkan PPKM. Kendati demikian, Jokowi tidak merinci provinsi mana saja yang masuk di dalamnya.
"Namanya saja kan pembatasan kegiatan masyarakat, tetapi yang saya lihat di implementasinya ini kita tidak tegas dan konsisten," ungkapnya.
Sebelum PPKM, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB untuk mencegah penularan COVID-19. Sampai akhir 2020, jumlah kasus terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia mencapai 743.198. Tren setiap harinya, kasus masih terus bertambah.
Grafik penambahan kasus per hari memang fluktuatif, tapi tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Masuk ke bulan Desember, tidak ada penambahan kasus per hari yang di bawah 5.000.
Pada 3 Desember penambahan kasus mencatat rekor terbanyak dengan 8.369 kasus. Ketika beralih ke PPKM di bulan Januari, penambahan per hari malah lebih parah. Pada 16 Januari 2021 penambahan mencapai 14.224 kasus.
Jokowi Tutup Mata?
Meremehkan COVID-19 sebenarnya bukan gejala baru yang melekat pada pemerintah belakangan ini. Sejak COVID-19 masuk ke Indonesia, respons pemerintah cenderung lambat. Pada 2 Maret 2020, ketika kasus pertama COVID-19 terkonfirmasi di Indonesia, pintu masuk internasional masih terbuka lebar.
Kebijakan ini tak jauh berbeda dengan sekarang. Ketika pandemi masih mengganas, pemerintah justru mengadakan Pilkada serentak 2020 dan tidak melarang orang-orang melakukan liburan panjang ke luar kota.
Di beberapa daerah yang mengadakan Pilkada, peningkatan kasus semakin masif setelahnya. Di Kota Tangerang Selatan, misalnya, kasus baru bertambah 5.800 dalam jangka waktu 2 minggu sehabis Pilkada dilakukan. Di Kabupaten Pandeglang juga demikian, kasus bertambah 2.082 dalam jangka waktu yang sama.
Liburan panjang Natal dan tahun baru 2021 juga berpotensi menambahkan penularan. Corporate Communication & Community Development Group Head PT Jasa Marga Dwimawan Heru memaparkan setidaknya ada 323 ribu kendaraan yang kembali ke Jakarta setelah libur panjang.
Hitungan itu baru menyertakan kendaraan yang melewati jalan tol. Belum lagi ada dari mereka yang mungkin mengambil jalur alternatif. Jumlah ini bahkan lebih banyak daripada libur Natal dan Tahun Baru 2020 yang hanya di angka puluhan ribu.
“Angka ini merupakan jumlah kendaraan yang melewati GT Cikupa (arah barat), GT Ciawi (arah selatan), dan GT Cikampek Utama serta GT Kalihurip Utama (arah timur)," kata Heru dalam keterangan tertulis, Senin (4/1/2021).
Hasilnya, mereka yang kembali ke Jakarta berpeluang membawa virus COVID-19 atau justru menularkannya ke luar kota. Setelah libur Natal dan tahun baru, perkembangan kasus COVID-19 memburuk.
Pada 6 Januari 2021 kasus terkonfirmasi per hari mencapai 8.854. Esoknya, angka ini bertambah menjadi 9.321. Pada 8 Januari 2021 penambahan per hari mencapai rekor dengan tambahan 10.617 kasus. Jakarta menyumbang 2.959 kasus, Jawa Barat 1.824, dan Jawa Tengah 1.185 kasus. Pulau Jawa lagi-lagi menjadi penyumbang terbanyak.
Sejak awal pemberlakuan PSBB di beberapa daerah, misalnya Jakarta, kasus COVID-19 tidak menunjukkan tanda-tanda penurunan. Apalagi ketika Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk meringankan pembatasan dengan menerapkan PSBB Transisi.
Kendati demikian, hasil kajian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 7-14 September 2020 yang dilakukan kepada 90.967 responden menunjukkan “tingkat kepatuhan responden dalam pencegahan COVID-19 sudah baik.”
Penilaian ini berdasarkan enam tindakan pencegahan penyebaran COVID-19 yang ditanyakan kepada responden. Sebanyak 91,98% mengaku sudah memakai masker setiap pergi keluar; 77,71% mengaku sudah terbiasa menggunakan hand sanitizer atau disinfektan setiap pergi ke luar; 75,38% mengklaim sudah mencuci tangan selama 20 detik dengan sabun; 81,85% juga sudah menghindari jabat tangan; 76,69% tidak lagi berkerumun; dan 73,54% sudah menjaga jarak 1 meter.
Dalam survei ini, BPS juga mencatat bahwa responden tersebut merasa berbagai tindakan itu efektif untuk mencegah penyebaran COVID-19. Hanya saja, 55% dari mereka berpendapat “tidak ada sanksi” menjadi alasan terbesar orang lain tak menerapkan protokol kesehatan.
Sanksi sebenarnya sudah ada. Di Jakarta, tidak memakai masker bisa didenda Rp250 ribu hingga Rp1 juta. Namun alternatif lainnya, mereka boleh melakukan kerja sosial membersihkan fasilitas umum selama 1 jam. Kebanyakan orang mengambil opsi kedua.
Kendati survei BPS menunjukkan tingkat kepatuhan memakai masker mencapai lebih dari 90%, tapi angka sisa sebesar 8% yang membandel tak bisa dipandang sebelah mata. Jika angka 8% itu diterapkan di Jakarta, yang jumlah penduduknya mencapai 10.557.810 orang, itu artinya ada 844.000 orang yang berpotensi menularkan COVID-19.
Memang, di lapangan, pada setiap razia, Satpol PP terbiasa menemukan orang-orang yang membandel tidak menerapkan protokol kesehatan. Orang-orang jenis ini lazimnya tidak bisa dinasihati oleh warga biasa. Bahkan ketika ditegur aparat, mereka terbiasa naik pitam.
Pada 14 September sampai 11 Oktober 2020, Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) menyebut ada 5,7 juta pelanggar protokol kesehatan yang terjaring razia seluruh Indonesia. Dari situ, denda mencapai Rp 3,27 miliar.
Selain itu Bawaslu mencatat setidaknya ada 2.126 pelanggaran protokol kesehatan pada saat kampanye Pilkada 2020 dari 26 September 2020-24 November 2020. Masuk ke Desember dan Januari 2021, jumlah pelanggar protokol kesehatan bisa mencapai 1 juta per hari. Selama periode 24 Desember 2020-3 Januari 2021, ada 1,18 juta orang di tempat wisata yang dipantau oleh TNI/Polri dan Duta Perubahan Perilaku.
Bukannya mengetatkan PSBB, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri justru menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 01 tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dianggap lebih ringan daripada PSBB.
“Kalau PSBB kesannya nanti skalanya masif seluruh Jawa dan Bali, padahal kan tidak,” kata Mendagri Tito Karnavian seperti dilansir KompasTV.
Sedangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengaku pemberlakukan PPKM lebih longgar dengan “asumsi tingkat kesadaran masyarakat itu sudah terbangun lebih baik dibanding April (PSBB).”
Padahal data-data di lapangan tidak mengatakan demikian. Hingga saat ini masih ada mereka yang tidak menerapkan protokol kesehatan dan angka konfirmasi kasus terus saja bertambah.
Sampai sekarang, Jokowi enggan melakukan lockdown untuk wilayah-wilayah banyak terdampak COVID-19. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi justru menyinggung negara yang melakukan lockdown didera kerugian ekonomi. Dia berharap Indonesia tidak sampai pada tahap tersebut. Jokowi juga bersyukur sampai sekarang dia merasa Indonesia tak perlu lockdown.
"Kita ini kalau saya lihat masih, alhamdulillah, masih beruntung tidak sampai lockdown," kata Jokowi di Istana Bogor, Jumat (8/1/2021).
Jokowi sempat menyinggung juga bahwa ekonomi turun tidak masalah, asal kasus COVID-19 juga ikut turun. Pernyataan ini sebenarnya bertentangan dengan Jokowi versi tahun 2020 kala dia menyatakan meski kesehatan nomor satu, “tetapi memprioritaskan kesehatan bukan berarti mengorbankan ekonomi. Karena jika kita mengorbankan ekonomi, itu sama saja dengan mengorbankan kehidupan puluhan juta orang.”
Imbas dari pertimbangan Jokowi kemudian membuat Indonesia masuk dalam tahap PSBB dan PPKM, tanpa adanya lockdown. Hasilnya justru kontraproduktif. Menurut Jokowi, saat ini ekonomi turun, tapi kasus positif COVID-19 justru bertambah.
Di tengah kebijakan pemerintah yang masih gamang selama 11 bulan antara kesehatan dan ekonomi, lagi-lagi masyarakat yang menjadi kambing hitam.
“Selama pemberlakuan PPKM Jilid I, masih banyak ditemukan masyarakat yang belum patuh terhadap protokol kesehatan 3M, termasuk juga masih banyak melakukan mobilitas, yang keduanya dapat meningkatkan risiko penularan,” kata Juru Bicara Satgas COVID-19 Wiku Adisasmito, Selasa (2/2/2021).
Kebiasaan masyarakat yang membandel dan melanggar protokol kesehatan sudah ada sejak awal PSBB diterapkan dan pemerintah sudah tahu. Yang sekarang masih sulit ditemui adalah bagaimana kebijakan pemerintah bisa betul-betul membuat mereka jera.
Sekarang, Jokowi melakukan PPKM skala mikro di Jawa-Bali pada 9 hingga 22 Februari 2021. Satu sisi, Jokowi ingin menguatkan peran RT/RW dalam pelacakan COVID-19. Namun dari segi ekonomi, Jokowi membuka kesempatan bagi restoran, mal, dan perkantoran untuk lebih aktif. Jika saat PSBB kapasitas maksimal tiga lokasi itu adalah 25 persen, sekarang pemerintah memperbolehkan hingga 50 persen.
Restoran dan mal yang biasa tutup jam 20.00 kini boleh tutup lebih malam lagi, yakni di jam 21.00 pada PPKM Mikro. Padahal ketika larangan pertama tutup jam 19.00 kemudian menjadi 20.00, kasus COVID-19 juga terus bertambah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menkoperek) Airlangga Hartarto sekaligus Ketua KPCPEN menyatakan PPKM Mikro di Jawa-Bali salah satunya dilandasi karena ranjang rumah sakit di Wisma Atlet sudah mulai lowong. Selain itu Jakarta, sebagai episentrum COVID-19, sudah menunjukkan perkembangan kasus yang tidak parah alias landai.
"Jakarta sudah mulai flat kemudian yang masih ada kenaikan adalah Jawa Barat dan Bali sedangkan Jawa Tengah Jawa Timur Banten Jogja itu sudah turun," kata Airlangga dalam konferensi pers, Senin (8/2/2021).
Airlangga boleh saja mengatakan landai di Jakarta, tetapi grafik tidak berbicara demikian. Peningkatan kasus di Jakarta masih fluktuatif, kebanyakan justru meningkat. Di tanggal 11 Januari ada 2.461 kasus baru. Hari berikutnya ada 2.669 dan terus naik sampai di atas 3 ribu. Angkanya baru turun pada 15 Januari dengan 2.541. Pada hari-hari berikutnya, situasinya sama dan salah satu yang paling tinggi adalah pada 22 Januari dengan penambahan kasus 3.792.
Di PPKM jilid II, situasi ini belum berubah. Fluktuasi tetap terjadi, tapi rata-rata setiap hari terus mengalami peningkatan. Sejak tanggal 26 Januari-8 Februari ada total 41.345. Jika dirata-rata selama 2 minggu PPKM jilid II, maka penambahan kasus setiap hari bisa 3.180. Angka itu jauh berbeda dengan penambahan awal pada 26 Januari yang mencatat 2.314 kasus. Justru setiap harinya kira-kira ada peningkatan 866 kasus.
Tapi dengan hasil begini, setidaknya bagi pemerintah, situasi sudah bisa dianggap "landai" dan aturan dilonggarkan. Ketika suatu kebijakan, yang dibuat sendiri oleh pemerintah, tidak efektif, Jokowi lantas kecewa. Jokowi seperti menegur dirinya sendiri.
Editor: Ivan Aulia Ahsan