Menuju konten utama

Kasus Corona Jawa Tengah: Tes Rendah, Sengkarut Data & Klaster Baru

Penularan Corona di masyarakat Jawa Tengah diduga telah banyak, tapi sedikit yang terdeteksi.

Kasus Corona Jawa Tengah: Tes Rendah, Sengkarut Data & Klaster Baru
Petugas medis menunjukkan hasil negatif pada alat diagnostik cepat (rapid test) COVID-19 usai memeriksa salah satu pedagang di Pasar Babadan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (4/6/2020). ANTARA FOTO/Aji Styawan/nz.

tirto.id - Peningkatan kasus Corona di Jawa Tengah dalam beberapa pekan terakhir dipicu beragam faktor. Per 14 Juli, kasus positif mencapai 6.263, menempati urutan empat secara nasional setelah Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat tingginya positivity rate di Jateng: 18 hingga 20 persen. Ini diperoleh dari jumlah pemeriksaan yang rendah, di bawah 0,5 per 1.000 penduduk selama tiga pekan, mulai 15 Juni hingga 5 Juli. Positivity rate adalah gambaran rasio jumlah kasus positif dari hasil tes COVID-19.

Berdasar data Kementerian Kesehatan, rasio tes PCR Jateng pada 30 Juni-6 Juli atau selama seminggu adalah 184 per 1 juta penduduk. Untuk mencapai standar WHO, per pekan harus ada 1.000 tes PCR per 1 juta penduduk. Dengan kata lain, tes COVID-19 di Jateng di bawah standar WHO.

Tingginya positivity rate dan rendahnya tes COVID-19 di Jateng memicu kekhawatiran ada banyak orang yang terinfeksi tapi belum diperiksa. Contohnya Jepara. Kasus Corona di kota ini hanya lima sebelum Idulfitri, yaitu akhir Mei. Kemudian melonjak menjadi 709 per 14 Juli. Jepara kini zona merah dan berada di urutan kedua di Jateng setelah Kota Semarang.

Klaster Tenaga Kesehatan

Penularan Corona Jepara di antaranya terjadi dalam fasilitas kesehatan. Seorang dokter di Jepara yang tak mau namanya ditulis menceritakan penularan di sebuah fasilitas kesehatan. Ia merupakan satu di antara 120 tenaga kesehatan yang kini positif COVID-19 di Jepara.

Ia sebelumnya tanpa gejala, tapi tetap ikut tes setelah ada koleganya positif Corona. Setelah tes cepat dua kali dengan hasil non-reaktif dilanjutkan tes usap, dia justru positif.

“Dalam bertugas saya sudah pakai APD (alat perlengkapan diri) lengkap. Tapi realitanya kami tidak tahu pasien atau nakes (tenaga kesehatan) itu sudah tertular atau belum. Sulit menentukan tertular dari mana, karena kami sesama nakes juga berinteraksi,” kata dokter itu dalam wawancara telepon, Rabu (8/7/2020).

Tragisnya, dokter tersebut sama sekali belum menerima dana insentif sejak Maret seperti yang telah pemerintah janjikan. Padahal, ia juga mengadakan kunjungan rumah untuk tes swab dan perlu ongkos transportasi. “Saya tak tahu kenapa belum turun. Saya menunggu saja. Ini toh tugas kemanusiaan juga,” ujarnya.

Tenaga kesehatan yang ikut rombongan tes COVID-19 dengannya rata-rata punya gejala ringan seperti batuk dan demam. Setelah menjalani tes PCR, banyak koleganya positif meski sewaktu rapid test hasilnya non-reaktif.

Penularan tenaga kesehatan di Jepara memicu penutupan dua puskesmas di kecamatan Mlonggo dan Bangsri. Klinik dan instalasi gawat darurat di rumah sakit daerah juga hendak ditutup, karena belasan tenaga kesehatan positif.

Kepala Puskesmas Mlonggo, dokter Eko Cahyo Puspeno, menyatakan karena 24 dari 77 tenaga kesehatan positif Corona, layanan puskesmas dialihkan ke kantor cabang pembantu. “Kondisi penularan di masyarakat Jepara, terutama wilayah kami, itu sudah besar. Banyak yang tak terdeteksi dan sudah terjadi transmisi lokal,” kata dia, lalu menambahkan puskesmasnya menjangkau 87 ribu warga.

Klaster di Jepara semula hanya dari pedagang pasar ikan, lalu menjalar ke masyarakat seperti penularan dalam keluarga, ke nakes dari pasien, dan sesama nakes.

“Kasusnya meledak setelah Idulfitri. Saat Lebaran, warga tetap silaturahim dan kumpul-kumpul. Ada pesta Lomban (acara budaya). Intinya ada beberapa kegiatan yang mengakibatkan risiko penularan dari pemudik dan warga,” ujar Cahyo.

Meningkatnya kasus tak berimbang dengan ruang isolasi. Salah satu pasien tipes yang reaktif rapid test justru dirawat di puskesmas Mlonggo karena ruang isolasi rumah sakit penuh. Belakangan, setelah dirujuk dan tes PCR, hasilnya positif. Setelah berinteraksi dengan pasien itu, pegawai dites dan hasilnya positif.

Masalah Laten: Data Tak Sinkron

Kota Semarang mengalami lonjakan kasus dari klaster industri. Ada ratusan orang tertular. Kenaikan tajam terekam dari laporan harian di Semarang per 6 Juli dengan 238 kasus. Namun, laporan di level provinsi dan nasional berbeda data.

Kendati melaporkan di hari sama 6 Juli, data nasional dari Gugus Tugas COVID-19 mencatat 127 kasus di level provinsi, sedangkan Jateng mencatat 333 kasus baru.

Pangkalan data Semarang memperbarui data sehari dua kali pada sore dan malam hari. Pada 6 Juli sore, ada sekitar 700, lalu berubah jadi 900 saat malam.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, M Abdul Hakam, menyebut perubahan data ini masalah teknis saja dan sengaja tidak mencantumkan ‘jam’ usai data diperbarui. Demikian juga akumulasi kasus justru dibiarkan kosong. Katanya, akumulasi Corona cukup dihitung sendiri dari kasus positif, sembuh, dan meninggal. Hal ini menjelaskan mengapa pangkalan data menunjukkan jumlah kasus sembuh melebihi positif.

“Terkait lonjakan 200 kasus pada tanggal 6 Juli dalam 15 menit tersebut karena secara teknis kita sudah punya data kasus tersebut dalam format Exel yang kemudian tinggal di-import ke dalam sistem,” ujar Hakam.

Dengan akumulasi kasus 2.587 per 14 Juli, rasio angka kematian (CFR) COVID-19 di Kota Semarang 10,12 persen, lebih tinggi dari CFR Jateng 8,39 persen dan nasional 4,7 persen.

Berkaitan sengkarut data COVID-19, Iqbal Elyazar, kolaborator saintis LaporCOVID-19, lembaga nirlaba pemantau Corona di Indonesia, menyebut pemerintah yang jujur dalam menjelaskan data dan situasi yang sesungguhnya adalah kunci mengatasi pandemi. Menurutnya, pengaturan data dan tertutupnya data yang sesungguhnya hanya menurunkan kewaspadaan masyarakat dan memberikan pesan yang salah kepada sesama aparat, sekaligus menurunkan kredibilitas penanganan COVID-19.

"Statistik pandemi haruslah statistik kebenaran, bukan dengan statistik pembenaran, apalagi pembegalan dan pengaturan statistik," ujarnya.

Melonjaknya Corona di Jateng, menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Hanifa M Denny, tak hanya soal jumlah tes yang diklaim pemerintah daerah meningkat dan pemeriksaan spesimen telah keluar.

Tak hanya itu, program pemerintah daerah bernama ‘Jogo Tonggo’ (menjaga tetangga) dianggap gagal, karena warga justru lebih memilih bekerja tanpa perhatikan protokol.

Di sisi regulasi, Denny menyoroti lemahnya penegakan protokol kesehatan. Selama ini, warga yang melanggar hanya ditegur, sedangkan perusahaan yang melanggar protokol kesehatan terkesan dibiarkan.

“Semakin banyak warga Jateng abaikan protokol kesehatan. Klaster industri menandakan kurangnya penerapan protokol kesehatan. Disarankan ada regulasi yang memaksa agar masyarakat disiplin,” katanya.

Baca juga artikel terkait CORONA DI JATENG atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino