Menuju konten utama
9 Desember 1947

Karena Tak Mendapatkan Lukas, Belanda Membantai Penduduk Rawagede

Pasukan Belanda membantai penduduk Rawagede, Karawang, pada 9 Desember 1947. Pasalnya mereka tak mendapatkan gerilyawan Lukas Kustaryo. 

Karena Tak Mendapatkan Lukas, Belanda Membantai Penduduk Rawagede
Header Mozaik Pembantaian Rawagede. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada masa Perang Kemerdekaan, Karawang adalah basis kaum Republik. Rengasdengklok, sebuah daerah di Karawang, merupakan tempat disembunyikannya Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Karawang menjadi daerah pertahanan setelah Bekasi jatuh ke tangan Belanda. Para gerilyawan banyak yang dikejar di kota ini.

Suatu kali, pasukan Belanda pimpinan Mayor Alphonse Jean Henri Wijnen alias Fons memasuki Rawagede. Dalam A Bridge Too Far: The Classic History of the Greatest Battle of World War II (2010) karya Cornelius Ryan, Fons disebutkan pernah menjadi letnan satu dalam Princes Irene Brigade. Sementara dalam majalah bulanan veteran Checkpoint (Nomor 8, Oktober 2012: 22) dalam artikel "Dodental Rawagede-Strookt Niet Met Werkelijkheid" yang ditulis Dick Schaap, pada tahun 1947 Fons adalah Mayor dalam staf Brigade Infanteri ke-2.

Pasukan Belanda itu mencari seorang kapten tentara Republik bernama Lukas Kustaryo.

”Beliau (Lukas Kustaryo) berbadan pendek dan berkulit kuning, tetapi keberaniannya bukan main!” kata seorang wanita dalam buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi '45 (1995:346).

Lukas bergerilya di sekitar Rawagede dan sangat merepotkan Belanda. Dia sulit ditemukan, sehingga kepalanya dihargai 10.000 Gulden. Militer Belanda yang bertugas di sekitar Karawang-Bekasi menyebut Lukas sebagai Begundal Karawang.

Karena jejaknya sulit ditemukan, akhirnya militer Belanda mengumpulkan dan menghabisi laki-laki di Rawagede yang dianggap pro Republik. Seolah tidak mau kalah dengan kejamnya pasukan Kapten Raymond Westerling di desa-desa Sulawesi Selatan, korban di Rawagede yang dibunuh pada 9 Desember 1947, tepat hari ini 73 tahun lalu, mencapai 431 orang. Sebelum terjadi pembantaian, Lukas sempat tinggal di Desa Pasirawi, tak jauh dari Rawagede.

Lukas berduka karena banyak orang sipil dibunuh tentara Belanda yang kesulitan menangkapnya. Lukas sendiri kehilangan banyak anggota kompinya selama bergerilya di sekitar Karawang- Cikampek. Dalam Kharis Suhud: Catatan Seorang Prajurit (2002) disebutkan bahwa kompinya yang seharusnya berjumlah seratusan orang, tersisa tinggal 40-an orang.

Hingga militer Belanda hengkang dari Indonesia, Lukas tidak tersentuh para pengincarnya. Dia lalu meneruskan karier militernya. Batalion Lukas sempat dikirim ke Maluku untuk melawan angkatan perang Republik Maluku Selatan (RMS). Pasukannya berada di Maluku ketika Letnan Kolonel Slamet Rijadi terbunuh pada November 1950.

Pertengahan tahun 1950-an, Lukas menjadi politikus dan menjadi anggota parleman mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang didirikan Abdul Haris Nasution beserta koleganya. Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988:172), pangkat terakhir Lukas adalah Brigadir Jenderal.

Menculik Perwira Panembahan Senopati dan Menyikat Komunis di Madiun

Lukas memulai karier dari bawah. Di zaman Jepang, saat usianya 20-an tahun, seperti ditulis Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010:34), Lukas adalah Budancho (komandan regu, setara sersan) dalam Pembela Tanah Air (PETA).

Kecik menambahkan, biasanya golongan bintara PETA lebih bernyali daripada golongan perwira yang kebanyakan priyayi. Maka itu, para pemimpin pemberontakan PETA biasanya seorang bintara. Alizar Thaib dalam 19 September dan Angkatan Pemuda Indonesia (1993:28) menyebut Lukas pernah jadi Shodancho (komandan peleton) di Pacitan, Jawa Timur.

Infografik Mozaik Pembantaian Rawagede

Infografik Mozaik Pembantaian Rawagede. tirto.id/Sabit

Ketika Indonesia baru memproklamasikan kemerdekaan, Kapten Lukas adalah salah satu Komandan Kompi dari Batalion Banu Mahdi. Satuan itu masuk dalam Divisi III Siliwangi yang dipimpin Kolonel Abdul Haris Nasution. Dien Madjid dan kawan-kawan dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moeʼmin (1999:193) menyebut pasukan Lukas adalah andalan Resimen V Cikampek yang dipimpin Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min.

Di kompi Lukas terdapat seorang prajurit rendahan berkacamata--sebetulnya pendidikannya di atas rata-rata pemuda zaman itu karena lulusan MULO dan jebolan AMS--yang bernama Kharis Suhud. Usianya hampir lima tahun di bawah Lukas. Namun, dalam hitungan bulan Kharis Suhud—yang terikat hubungan keluarga dengan Lukas karena perkawinan Lukas dengan putri keluarga Suhud—akhirnya naik jadi Letnan sejak awal 1946.

Lukas dan Suhud ikut hijrah ke Jawa Tengah. Lukas, seperti dicatat Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak (2011:110), berdasarkan hasil penyelidikan Letnan Kolonel Omon Abdurachman dan Letnan Kolonel Sadikin, termasuk salah satu perwira yang terlibat dalam penculikan Mayor Esmara Sugeng--perwira dari Divisi Panembahan Senopati.

Ketika Peristiwa Madiun bergolak pada 1948, Lukas dan Suhud yang berasal dari Magetan dan Madiun, ikut bergerak ke Jawa Timur melawan para kombatan komunis. Seperti dicatat dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa (1968:260), selama Divisi Siliwangi hijrah Lukas menggantikan Mayor Umar Wirahadikusumah pada 17 November 1948 sebagai komandan batalion.

Sementara Lukas menjadi komandan batalion, Kharis Suhud menjadi komandan kompi. Di zaman revolusi, nama komandan batalion kerap dijadikan nama batalion. Maka batalion yang dipimpinnya pun dikenal sebagai Batalion Lukas sebelu akhirnya berganti nama menjadi Tajimalela.

Setelah Ibukota RI di Yogyakarta diserbu, Lukas beserta ribuan prajurit Siliwangi lainnya kembali ke Jawa Barat. Selain pernah memimpin Batalion Infanteri 313/Tajimalela, Lukas juga sempat memimpin Batalion Infanteri 305/Tengkorak di Jawa Barat.

==========

Artikel ini pertama kali diterbitkan pada 5 November 2020. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh