Menuju konten utama
Lian Gouw

"Kalau Saya Mengaku Indonesia, Masak Tak Bisa bahasanya?"

Pergi meninggalkan Indonesia pada awal 1960an, ia kembali dan mencoba memberikan sesuatu bagi bahasa Indonesia.

Ilustrasi Lian Gouw. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sudah setengah abad Lian Gouw, perempuan Tionghoa-Indonesia, pergi meninggalkan Indonesia. Pada 1960, saat Indonesia sedang mengalami zaman revolusi, Lian Gouw bersama suami dan dua anaknya terbang ke Amerika Serikat.

Alasannya, dia kecewa dengan pemerintahan Sukarno. Sebagai orang berlatar belakang Tionghoa dan terdidik dalam bahasa Belanda, ia merasakan sentimen anti-Barat di era Orde Lama. Segala yang berbau Belanda dianggap barang haram yang harus dijauhi.

Di negeri Paman Sam itu, dia menetap di kota San Mateo, kota yang jaraknya sekitar 40 menit hingga 1 jam perjalanan darat dari kota San Francisco. Tanpa pernah ia duga, kepergiannya ini sekaligus juga menghentikan laju impiannya menjadi penulis.

Baru pada 2009, Lian Gouw menulis novel perdananya, Only a Girl. Novel tersebut ditulis dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Amerika Serikat. Setahun kemudian, pada 2010, Only a Girl diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan di Indonesia dengan judul Only a Girl: Menantang Phoenix.

Setahun kemudian dia mendirikan penerbit Dalangpublishing. Total sudah sembilan novel karya penulis Indonesia yang telah dia terbitkan ke dalam bahasa Inggris untuk dipasarkan di Amerika Serikat.

“Saya sudah lama suka menulis. Waktu sekolah dulu saya juga menang beberapa penghargaan. Untuk menulis Only a Girl dibutuhkan waktu tujuh tahun,” kenang Lian Gouw.

Pada 2010 Lian Gouw "pulang" ke Indonesia. Dia pun mulai menyusuri kembali kampung halamannya, Bandung. Meski tidak menemukan lagi rumah yang dulu dia tinggali, Lian Gouw ingat rumah itu sempat menjadi tempat belajar dia dan anak-anak lainnya pada zaman Jepang.

Namanya Sekolah Kolong. “Dinamakan kolong karena kami sembunyi. Itu [proses belajar mengajar dilakukan] di rumah orang-orang atau rumah sendiri. Tidak bisa di rumah satu orang karena nanti ketahuan,” kenang Lian Gouw.

November 2017 Lian Gouw kembali berkunjung ke Indonesia. Pada Selasa (14/11), di Cipinang, Jakarta, Lian Gouw berbincang-bincang dengan reporter Tirto, Husein Abdul Salam.

Pada waktu berangkat ke Amerika Serikat, Anda merasa kecewa dengan pemerintahan Sukarno?

Tidak hanya kecewa. Ibu jengkel. Terus terang saja ibu merasa jengkel karena amat merasa terpojok. Itu sudah cukup, buku berbahasa Belanda semua dibakar. Lalu saya mau baca apa? Saya penggemar baca. Buku itu lebih berharga dari sofa, atau meja.

Mereka gebrak pintu, dilihat terus dirampas buku-buku. Tahu-tahu saja ada yang gedor pintu, terus mereka ambil itu buku-buku.

Saat kejadian itu Anda tinggal di mana?

Waktu itu saya tinggal di jalan Riau, Bandung. Tetapi saya cari lagi sudah tidak ada rumahnya atau saya yang sudah tidak ingat lagi. Saya meninggalkan Bandung pada 1950-an untuk ke Jakarta, lalu tahun 1960 saya pergi ke Amerika Serikat.

Saya hadir di Bandung lagi tahun 2011. Pas sampai di sana jiwa saya pingsan. Bingungnya waktu saya masuk kota Bandung. Dahulu saya biasa naik mobil 4 jam lewat puncak. Kalau sekarang, kan, lewat jalan tol. Saya bertanya-tanya kapan ini muncul gunungnya?

Kemudian saya bilang ke rekan saya, “Lah, ini seperti Pasteur.”

Dia jawab, “Iya, tante. Ini, kan, Pasteur.”

Lalu kami lewat jalan Dago. Dahulu jalan Dago hanya rumah besar-besar dan indah, jalanan bagus, ditambah pohon besar-besar. Rasanya Dago itu lebar sekali jalannya. Yang lewat situ mobil. kadang-kadang ada delman dan kreteg -- Kalau sekarang sudah tidak ada.

Daerah ITB indah sekali. Daerah [sekitar] Gedung Sate itu rumah-rumahnya tidak bertingkat, rumah biasa. Tetapi sekarang, kan, pertokoan atau restoran.

Bagi saya Bandung sekarang itu bukan kota, tetapi pasar besar. Tidak ada yang tinggal di sana, hanya ada orang-orang yang menjual sesuatu. Seperti pasar loak yang besar sekali. Jangan dipanggil Bandung, tetapi pasar raksasa.

Berarti umur Anda sekitar 10 tahun saat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Masih ingat dengan momen itu?

Masih. Waktu itu orang teriak, “Merdeka, merdeka”, dengan membawa bambu runcing segala. Pada waktu itu kami dikasih tahu kalau mereka orang-orang tidak beres. Tetapi sebenarnya yang tidak beres itu kau (Belanda), karena kau yang menjajah kami. Jadi kita yang harus berontak.

Kami sebagai anak-anak dikasih tahu, mereka adalah orang yang nggak beres atau perusuh. Misalnya dalam buku-buku sejarah, Pangeran Diponegoro dinamakan perusuh. Padahal kalau bukan Pangeran Diponegoro, siapa lagi yang bisa melawan Belanda.

Sekarang sedih sekali. Rumah Pegangsaan no. 56 sudah tidak ada. Saya cari tidak ada. Kamu cari saja, hanya gedung kecil rumahnya Presiden Soekarno dan tiang bendera di mana pertama kali bendera kita berkibar.

Baca juga:

Di sekitar tahun 1945, terasa sekali orang ingin kembali ke masa rust en orde [zaman kolonial Hindia Belanda]?

Iya, rust en orde karena ingin kembali ke zaman yang nyaman, tidak ada kerusuhan, ketakutan, dan semua tertib. Hidup biasa-biasa saja, jangan dirusuhi.

Selama di Amerika Serikat, apakah Anda tidak kepikiran soal Indonesia?

Saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Bahkan ada peristiwa 1998, saya tidak tahu.

Soeharto lengser Anda juga tidak tahu?

Saya tidak peduli. Sudah kutinggal, ya, sudah. Saya tahunya ada peristiwa 1998 setelah tiba di Indonesia pada 2010. Baru tahu ada yang begitu.

Kalau Soeharto naik jadi presiden tahun 1967?

Itu cukup kedengaran karena ada berita. Kalau melihat berita pagi atau berita malam, kan, ada sedikit diberitakan.

Kalau bisa kembali ke masa lalu, Anda ingin pergi ke Amerika Serikat atau tetap di Indonesia?

Tetap di Indonesia sebab pada masa itu ada banyak hal harus dibereskan. Tentang itu saya menyesal. Karena saya tidak memikirkan masyarakat. Saya hanya memikirkan diri sendiri. Karena pada waktu itu bahasa dibungkam. Tidak boleh ada sesuatu yang berbau Belanda. Sedih sekali.

Sekarang jungkir balik. Kita menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang berbau Barat. Aneh sekali kalau kita sedang bicara, “tidak besok, now saja.” Saya bingung dengan kata "now" itu, rasanya seperti auman kucing.

Persis tadi pagi juga, ada orang memberi tahu petunjuk jalan. Katanya, “lewat bakery”. Saya tidak tahu maksudnya. Kenapa, sih, tidak bilang toko roti saja? Saya kira itu lonceng untuk membangunkan kita kalau pagi – jam beker.

Aneh tetapi kita terbiasa dengan hal itu. Padahal itu merusak dua bahasa, bahasa Indonesia rusak, bahasa Inggris rusak.

Baca juga: Lie Kim Hok dan Utang Bahasa Kita

Waktu 1960-an bahasa Indonesia sendiri belum dibakukan seperti sekarang, sedangkan di Amerika Serikat Anda menggunakan bahasa Inggris. Pada 2011, Anda belajar bahasa Indonesia (lagi), seperti proses yang Anda jalani saat itu?

Sangat ribet. Awalnya tidak satu pun kata dalam bahasa Indonesia yang saya ketahui. Tetapi karena saya amat terdorong untuk belajar, hasilnya seperti sekarang ini.

Seminggu dua kali, selama dua jam, dari Amerika saya belajar bahasa Indonesia lewat Skype, dipandu Wisma Bahasa yang berlokasi di Yogyakarta. Seperti sekolah saja. Setiap hari paling tidak selama 3 jam saya mengerjakan PR-nya. Hal itu saya lakukan selama 3 tahun.

Saya masih kagok membedakan imbuhan me-(kata kerja)-i atau me-(kata kerja)-kan. Saya berhenti belajar itu karena mesti menerbitkan empat judul buku. Waktu itu untuk Frankfurt Book Fair.

Sekarang saya sudah sering menggunakan bahasa Indonesia, terkadang suara-suara dari ingatan di masa lalu muncul. Bukan bahasa Indonesia, tetapi kata-kata Jawa atau Sunda. Misalnya kata "kacandak". Saya pernah menyebut itu kepada rekan-rekan saya. Mereka ketawa. Katanya itu bukan kata dalam bahasa Indonesia, tetapi bahasa Sunda.

Tidak perlu kita mengacak-acak bahasa Indonesia. Bahasa dasar saya adalah Belanda. Pada waktu itu, bahasa Belanda tidak mungkin dipergunakan secara tidak baik, karena tidak diperbolehkan. Jika kita melakukan itu, nanti kita dihina, ya terpaksa kita menggunakan bahasa dengan baik dan benar.

Orang yang menegur kerap disebut grammar Nazi.

Ya, tidak apa-apa. Mau dibilang Nazi kosakata biarkan saja. Karena saya sebagai orang Indonesia merasa amat prihatin jika nanti bahasa kita terhapus. Kalau mereka menganggap kita aneh, ya, biarkan saja, justru yang aneh mereka karena tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia atau kata serapan secara baik dan benar.

Baca juga: Polisi Bahasa Penting, Tapi Tidak Mahabenar

Lantas apa sih yang membuat seorang Lian Gouw akhirnya belajar bahasa Indonesia lagi?

Kalau saya mengaku bangsa Indonesia, masak tidak bisa bahasanya. Lagipula kalau saya mau menjalankan perusahaan penerbitan yang menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris, masak saya tidak paham? Terus bukunya diterbitkan? Aneh.

Siapa penulis Indonesia yang buku-bukunya Anda baca?

Mulai pertama kali membaca, jangan ketawa, ya, Remy Sylado, Namaku Mata Hari. Kemudian saya terjemahkan buku itu ke dalam bahasa Inggris lewat Dalangpublishing. Setelah itu saya terjemahkan Mangunwijaya dan Mochtar Lubis. Kemudian pada 2013 kami tebitkan bukunya Lan Fang, Perempuan Kembang Jepun.

Menurut Anda, apa hal yang paling nggak beres terjadi di Indonesia saat ini?

Pertama, bahasa. Kedua, korupsi. Saya bilang kalau orang korupsi, ditembak mati saja. Beres. Sebab itu yang menjadikan kebusukan masyarakat. Kok orangnya sudah salah, gunakan uang negara, [masih] bisa jadi pejabat. Itu bagaimana, sih?

Baca juga: Ejaan Resmi, Apa Pun Namanya, Bukan Batas Suci

Setelah tiba lagi di Indonesia, apa yang menjadi cita-cita Anda untuk Indonesia?

Para pemimpin, seperti guru, pemerintah, mahasiswa, mereka kaum yang mampu memikirkan dan membangun kesadaran supaya kita tidak merasa perlu menampilkan atau berusaha menjadi orang asing. Adanya kebanggaan pada diri, kebanggaan pada bangsa dan negara sendiri. Dan lindungilah kita punya milik. Milik itu berarti kita punya bumi, air, dan tanah, yang diberikan bumi kita. Dan itu disayang, jangan enak-enak aja dijualbelikan atau disewakan.

Itu, kan, yang disuarakan Sukarno dan Anda kesal dengan beliau.

Iya, dulu saya tidak mengerti. Saya bodoh sekali. Dia, kan, ambil alih [nasionalisasi aset-aset asing]. Dulu saya pikir, “ngapain, orang kerja keras kok malah diambil separuhnya, gila banget.”

Baca juga artikel terkait EKSIL atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS