tirto.id - Pelbagai startup bertitel unicorn secara mengejutkan ramai-ramai melakukan aksi penawaran saham perdana (IPO) di tengah pandemi SARS-CoV-2 yang tak kunjung sirna hingga membuat inflasi melonjak di mana-mana. Dengan cara itu mereka bertransformasi dari perusahaan privat--yang dipompa uang melimpah kapital ventura (VC)--menjadi perusahaan publik.
Zomato, startup penyaji ulasan serta pengantaran makanan asal India, memulai fenomena ini pada 14 Juli 2021. Kemudian secara berurutan perusahaan-perusahaan ini melakukan hal serupa: Paytm (fintech, India), Nubank (fintech, Brasil), dLocal (fintech, Uruguay), Bukalapak (ecommerce, Indonesia), Grab (ride-hailing, Singapura), serta GoTo alias Gojek dan Tokopedia (ride-hailing & ecommerce, Indonesia).
Namun keputusan ini ternyata tidak berjalan mulus. Harga saham mereka terjungkal.
Misalnya saham Zomato. Harga pembuka per saham mereka sebesar 76 rupee (sekitar Rp14.300) dan sempat mencapai 125,8 rupee (sekitar Rp23.700) di penghujung hari IPO dilakukan. Dalam hitungan hari, saham terus melorot hampir 35 persen, menyentuh angka 75,55 rupee (sekitar Rp14.200).
Nasib yang sama juga dialami Bukalapak, perusahaan garapan Achmad Zaky, Fajrin Rasyid, dan Nugroho Herucahyono yang dibentuk pada 2010. Harga pembuka saham ini Rp850 per lembar dan terus melorot hingga ke angka Rp352.
Mereka memang sempat perkasa sesaat. Pada hari pertama melantai, Bukalapak sukses memboyong dana sekitar Rp21,9 triliun (1,5 miliar dolar AS). IPO Bukalapak hanya kalah setingkat dari PT. Telkom yang berhasil menghimpun dana senilai 1,7 miliar dolar AS ketika pertama kali melantai pada 1995 silam.
Perusahaan lain pun demikian. Saat IPO harga Nubank sebesar $9, sementara harga saat artikel ini ditulis $7,16, sementara dLocal menjadi $26,20 dari $34, dan Grab dari $10,15 menjadi $3,01. GoTo, yang belum genap dua pekan melantai di bursa, telah terjungkal 5,6 persen dari harga pembuka sebesar Rp338.
Singkatnya, pelbagai startup dibantai habis di bursa saham. Situasi ini menghilangkan mimpi indah para startup itu usai dimanja modal "bakar-bakar duit" lebih dari $32,6 miliar (data dari Crunchbaseyang menghitung pendanaan yang dibuka/disiarkan) dari pelbagai kapital ventura.
Melempemnya banyak startup di bursa mungkin terlihat aneh bin ganjil dengan mempertimbangkan status mereka sebagai unicorn (bahkan decacorn), yaitu "aplikasi yang mendisrupsi tatanan konvensional" hingga "pendongkrak ekonomi masa depan." Namun, berkaca pada prospektus yang diterbitkan, khususnya milik Grab dan GoTo, fenomena ini sebetulnya tak terlalu mengherankan.
Di sana dijelaskan ada berbagai beban yang terlampau tinggi hingga menggembosi pendapatan.
Grab mengaku menghamburkan uang senilai $2,3 miliar (sekitar Rp33 triliun), $1,2 miliar (Rp17,2 triliun), serta $740 juta (Rp10,6 triliun) berturut-turut dari 2019 hingga 2021. Uang tersebut dipakai untuk insentif, bonus, dan diskon bagi konsumen dan merchant serta mitra yang tujuannya tidak lain untuk mendongkrak popularitas.
Sementara GoTo mengklaim menghabiskan uang Rp4,4 triliun sepanjang 2021 untuk dana promosi kepada konsumen. Pada 2020 mereka menggelontorkan uang Rp5,1 triliun, Rp6,4 triliun pada 2019, dan Rp2,8 triliun pada 2018.
Terhadap situasi tersebut Grab menulis: "Kemampuan kami untuk mengurangi kerugian bersih guna mencapai profitabilitas bergantung pada kemampuan kami untuk mengurangi jumlah insentif mitra dan konsumen yang kami berikan."
Namun, di tengah masyarakat yang sensitif terhadap harga, strategi "mengurangi jumlah insentif mitra dan konsumen" juga tak serta merta dapat dilakukan. Andai Grab melakukan itu, pesaingnya--khususnya Gojek--dapat mengambil momentum dengan memberikan promo yang lebih besar. Begitu pula sebaliknya.
Grab memahami dilema ini dengan mengatakan bahwa jumlah insentif di masa depan mungkin tetap saja "melebihi jumlah komisi dan biaya (atau pendapatan) yang kami terima untuk layanan kami."
Tentu tak bisa langsung disimpulkan bahwa masa depan startup raksasa akan suram hanya karena saat ini harga saham mereka tergerus. Musababnya, pertama, karena masih ada kemungkinan harga saham membaik di masa depan. Itika Sharma Punit untuk Rest of World mengatakan potensi tersebut muncul karena investor individu (masyarakat) pasti ingin portofolio mereka juga diisi oleh saham perusahaan unicorn.
Kedua, merujuk paparan Erin Griffith dan Taylor Johnston di The New York Times, meskipun hancurnya startup rutin digembar-gemborkan (istilahnya: startup bubble burst), toh para investor tak pernah berhenti memompa uang untuk mereka. Hal ini terutama berlaku bagi perusahaan yang meraih gelar unicorn. Uang para investor besar itu pula yang membuat merekaterus cemerlang di tengah masyarakat.
Usai menggelontorkan $45 miliar untuk pelbagai startup di dunia sepanjang 2011, investor melanjutkan aksinya dengan menyuntikkan $14,2 miliar (2016), $100 miliar (2019), dan $143 miliar tahun lalu. Para investor percaya bahwa startup yang berjamuran saat ini adalah masa depan dan untuk memperoleh masa depan cemerlang memang harus membayarnya dengan mahal.
Tapi mungkin juga memang perusahaan-perusahaan tersebut akan bermasa depan suram. Dua alasan di atas sama-sama tak bisa ditelan mentah-mentah.
Faktanya, sebagaimana Yun Li tulis di CNBC, dalam sejarah lebih dari 60 persen startup yang melakukan IPO sejak 1975 hingga 2011, yang jumlahnya lebih dari 7.000, memberikan hasil negatif pada para investornya. Hanya segelintir saja yang benar-benar menghasilkan keuntungan bagi para pemegang saham. Salah satunya adalah Google.
Andai seorang investor membeli $500 saham Google pada hari pertama IPO, yaitu ketika harga dipatok $85, maka ia sudah mendapatkan untung $15.230.
Editor: Rio Apinino