tirto.id - Surga bawah laut. Demikian kebanyakan orang mengenal Raja Ampat, gugusan pulau dan laut di kepala burung Pulau Papua. Sejalan dengan itu, pemerintah lokal pun mendapuk Raja Ampat sebagai kabupaten bahari. Hal itu tak lepas dari sumber daya utama yang ada di sana: laut, terumbu karang, dan ikan.
Laut begitu sentral bagi Raja Ampat hari ini, terlebih di era pariwisata (bahari) yang sudah berlangsung sejak dua dekade ke belakang. Namun, hubungan antara masyarakat Raja Ampat dan lautnya bukanlah relasi yang baru. Keduanya sudah intim berhubungan sejak dulu, lengkap dengan semua manis pahitnya.
Raja Ampat telah mengalami berbagai fase yang membantu kita memahami relasi manusia dan laut. Mulai dari era pra-dagang, era dagang, dan era pariwisata. Dari situ akan terlihat tegangan-tegangan yang terjadi, serta bagaimana pariwisata memperbarui dan merenovasi hubungan manusia-laut Raja Ampat.
Masa-Masa Lampau
Pak Orgenes duduk termangu di depan homestay miliknya di Desa Saporkren.
“Alam itu Ibu. Melahirkan manusia, siap memberi kehidupan, begitu pula siap menemani manusia beristirahat untuk selamanya," ujarnya tiba-tiba.
Kata-katanya mencerminkan hubungan yang khusus antara manusia dan alam di Raja Ampat. Pria berusia 60 tahun ini seperti mengingat masa-masa yang lampau, jauh sebelum turis-turis memenuhi lautan Raja Ampat.
Kisah romantis antara laut dan manusia di Raja Ampat digambarkan secara manis oleh banyak warga yang berusia lanjut. Mereka tak lupa bagaimana orang tua mereka selalu berhati-hati dalam mencari ikan agar tak merusak terumbu karang. (Meski generasi sekarang sangsi apakah orang tua jaman dulu mengerti bahwa terumbu karang yang baik dapat mengundang ikan untuk datang)
Sebagai komunitas nelayan, mereka menjalin relasi dengan laut melalui kesadaran bahwa mereka hidup dari apa yang disediakan laut. Mereka merasakan dan mengalami sendiri bahwa laut memperlakukan manusia dengan baik, dengan selalu memberi apa yang mereka butuhkan tiap harinya. Sebagai timbal balik, para orang tua selalu mengajarkan anak-anaknya tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan laut.
Mereka hidup serba berkecukupan. Para nelayan berusia lanjut masih ingat betul: orang-orang tua mereka menangkap ikan hanya untuk makan sehari-hari. Apabila ada pasokan ikan lebih, mereka akan keringkan untuk dikonsumsi keesokan harinya. Dengan begitu, mereka tak harus pergi melaut setiap hari.
Pada masa-masa itu, kira-kira 30 tahun yang lalu, kisah hubungan manusia dan laut di Raja Ampat terjalin mesra. Seperti yang diutarakan filsuf Roger Scruton, pada masyarakat pra-modern yang identik dengan kegiatan berburu hewan (termasuk menangkap ikan), tercipta hubungan intim dan saling menghargai antara alam dan manusia.
Yang terjadi di Raja Ampat pada era pra-dagang adalah hubungan yang sejajar antara manusia dan laut. Tak ada superioritas manusia atau non-manusia. Laut hidup dengan manusia, bukan menentang manusia. Begitu pula sebaliknya. Hal ini dipengaruhi kesadaran dan pemahaman bahwa laut bukan sesuatu yang eksterior dan yang liyan, melainkan, tulis Mike Brown dalam Seascapes, bagian penting tentang siapa diri kita.
Jadi, laut adalah bagian dari manusia Raja Ampat. Begitu pula sebaliknya. Baik secara praktis maupun ontologis, hubungan keduanya tak terpisahkan. Mengutip Ian McNiven dalam Sentient Sea, laut bukan hanya latar bagi pengalaman-pengalaman manusia, tapi juga aktor yang aktif dalam memilin kehidupan ala Raja Ampat.
Orgenes, di awal bagian ini, sudah menyebut alam sebagai Ibu. Hubungan anak-Ibu itu sakral, karena ia terkait dengan peristiwa kelahiran dan kematian, serta apa-apa yang terjadi di antara keduanya: kehidupan. Jadi, selain secara spiritual, manusia dan laut Raja Ampat terikat secara praktis pula. Laut "memberi kehidupan" bagi manusia di sana, sebagai sumber makanan yang tak habis-habis memberi.
Lalu Masuk Uang
Seperti halnya hubungan antarmanusia, ada kalanya hubungan alam dan manusia melonggar. Ada beberapa faktor yang mendorong perubahan relasi manusia-laut di Raja Ampat. Kebutuhan akan uang menjadi faktor yang menentukan.
Dulu, masyarakat Raja Ampat tidak membutuhkan uang untuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Pelan tapi pasti, uang lantas menjadi begitu dominan sebagai alat pembayaran. Masyarakat di Desa Saporkren, misalnya, mulai mengenal sistem ini di awal 1990-an. Aktivitas perdagangan pun kian jamak di kalangan masyarakat. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan membelinya di Waisai atau Sorong.
Selain itu, kedekatan geografis antara Saporkren dan wilayah perkotaan memberi masyarakat peluang untuk bekerja di sektor perdagangan. Akhirnya, mereka alpa akan laut sebagai Ibu dan menjadikannya sebagai ladang uang semata. Eksploitasi. Dominasi.
Di masa-masa ini, manusia mengambil ikan sebanyak-banyaknya untuk dimakan dan dijual. Saat tangkapan ikan terlalu banyak, mereka buang kembali ke laut. Masyarakat mengaku memakai beberapa cara cepat untuk menangkap ikan. Misalnya dengan bom rakitan atau akar borek sebagai racun tradisional. Ini dilakukan agar mereka tak ketinggalan dari masyarakat lain dalam pendapatan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Hal-hal di atas memberi efek domino yang mengerikan. Banyak terumbu karang rusak. Kualitas alam bawah laut menurun. Populasi ikan menipis karena penangkapan yang terlalu masif atau menjauhnya ikan ke tengah laut karena rusaknya terumbu karang. Agostini et al. dalam risetAchieving Fisheries and Conservation Objectives within Marine Protected Areas menyebut periode awal 2000-an sebagai yang terburuk bagi laut Raja Ampat.
Era dagang mengubah relasi manusia-laut Raja Ampat yang tadinya sejajar menjadi asimetris. Manusia menempatkan dirinya sebagai superior, dan laut sebagai inferior. Tak ada lagi hubungan yang sakral dan yang tak terpisahkan. Atas nama aktivitas ekonomi, manusia dan laut berada di dunianya masing-masing, terasing satu sama lain.
Tak bisa dipungkiri, rusaknya relasi itu adalah "warisan modernitas" (meminjam ide I.J. Klaver di Placing Water and Culture), lewat eksistensi uang, mekanisme dagang, dan pengultusan kapital. Laut hanya dipandang sebagai sumber daya dan komoditas ekonomi untuk memaksimalkan penghasilan. Tak lebih. Lalu laut ditempatkan sebagai objek yang pasif, yang harus dikontrol dan diatur oleh manusia, si makhluk yang berpikir.
Rasionalitas dan ambisi untuk menjadi modern itulah yang kemudian merenggangkan hubungan manusia Raja Ampat dengan lautnya. Laut menjadi liyan. Masuknya uang dan maraknya perdagangan membuat semuanya berantakan. Yang sakral jadi banal. Yang Ibu jadi asing.
Pariwisata: Yang Meruwat, yang Merawat
Setelah periode mengenaskan awal 2000-an, pariwisata muncul di Raja Ampat. Sebelumnya, di akhir 1990-an, seorang pejalan Belanda bernama Max Ammer membentuk pusat selam (dive center) dan resor pertama di Raja Ampat untuk menarik turis datang. Ia begitu mencintai Raja Ampat dan memutuskan tinggal di sana sampai hari ini.
Rasa cinta itu mendorong Max untuk terlibat dalam berbagai kegiatan konservasi. Konon, ia pernah membayar seekor kura-kura yang ditangkap seorang nelayan muda. Setelah membelinya, ia meminta si nelayan mengembalikan kura-kura ke laut. Ia berkata pada nelayan itu: “Hewan ini lebih berharga saat hidup daripada saat mati”.
Perlahan, pariwisata – yang terkait erat dengan konservasi – memperbaiki relasi manusia-laut di Raja Ampat. Pada 2003, pemerintah menetapkan Raja Ampat sebagai kabupaten bahari dan mendukung penuh perkembangan pariwisata. Untuk itu dibuatlah berbagai aturan dan kebijakan demi menjaga laut, seraya membatasi dan mengurangi upaya perusakan alam.
Berkembangnya pariwisata Raja Ampat membuat masyarakat sadar: bahwa laut yang selama ini mereka eksploitasi bisa dijadikan sumber pendapatan tanpa harus mengambil sumber daya di dalamnya – terlebih dengan cara-cara yang merusak. Malahan, kualitas alam baguslah yang diharapkan para turis. Interaksi dengan turis dan pemerintah memunculkan kesadaran warga untuk merawat alam demi kepentingan pariwisata.
Waktu terus berjalan dan masyarakat semakin terbiasa menjaga lautnya. Larangan pemakaian bom atau akar borek dan pembatasan daerah pancing kembali meningkatkan kualitas bawah laut Raja Ampat. Akhirnya di periode ini, manusia teringat kembali pada ‘Ibu’-nya. Mereka terus berusaha menjaga relasi yang baik dengan laut.
Secara konseptual, dalam konteks hubungan manusia-laut, ada dua hal yang ditawarkan era pariwisata untuk Raja Ampat. Pertama, pariwisata memperbaiki hubungan yang sempat renggang dan terpisah antara keduanya. Kedua, pariwisata mengembalikan lagi posisi laut sebagai subyek yang aktif, bukan sekadar obyek yang pasif.
Titik beratnya terletak pada hubungan timbal balik yang sejajar. Nyatanya, laut dan manusia saling membutuhkan. Setelah melewati masa-masa suram, laut butuh manusia untuk mengubah sifat mereka yang eksploitatif menjadi protektif. Di sisi lain, manusia memerlukan laut untuk terus bertahan hidup dengan baik. Dengan itu, laut pun ‘kan terus memberi kehidupan bagi manusia.
Peran vital pariwisata tak bisa dipungkiri dalam membangun kesadaran manusia merawat laut. Pariwisata telah membuat masyarakat Raja Ampat belajar kembali untuk hidup harmonis bersama lautnya. Kendati begitu, sebagai catatan kritis, masyarakat pada akhirnya "terpaksa" mengingat pentingnya menjaga laut karena kebutuhan ekonomi, yang dapat dipenuhi dengan sektor pariwisata berbasis kualitas alam bawah laut.
Dalam riset yang berjudul The Human–Nature Relationship and Its Impact on Health, Seymour melihat bahwa perubahan hubungan manusia dan alam di era modern banyak dipengaruhi peningkatan rasionalitas masyarakat. Jadi, aspek ekonomi begitu ditekankan dalam hubungan manusia dengan alam. Namun, apa pun alasannya, setidaknya alam saat ini bisa bernafas lega karena tidak dirusak. Sebab, pariwisata membutuhkan itu.
Editor: Nuran Wibisono