tirto.id - Russel Mayor berapi-api menceritakan perjuangannya menghalau kapal yang menangkap hiu di perairan Misool, Raja Ampat. Kala berpatroli, ia mencurigai Kapal Nelayan Harapan Baru 01. Benar saja, kapal milik La Ode, seorang nelayan asal Sorong, menangkap hiu dengan alat tangkap rawai dasar alias bottom long line.
Saat digeledah, nelayan itu telah mengantongi Surat Izin dari Dinas Kelautan dan Perikanan Raja Ampat, yang diperkuat surat (mengetahui) Kepala Kampung Yellu. Namun, lampiran surat izin menyebutkan ada wilayah penangkapan terlarang meliputi daerah konservasi, daerah wisata bahari, Pulau Kofiau, Pulau Boo, dan Misool Timur Selatan. Sementara La Ode tertangkap tim patroli gabungan di Pulau Jaam, salah satu pulau di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKLD) Misool Timur Selatan.
“Tim patroli gabungan terdiri dari warga saja. Sebagai bentuk tanggung jawab menjaga alam sekitar kita,” ujar Russel, kordinator patroli kepada saya, yang datang ke Raja Ampat, daerah 'kepala burung' Papua beberapa waktu lama bersama The Nature Conservancy (TNC), organisasi sosial-lingkungan berbasis di Virginia, Amerika Serikat.
Tim gabungan berpatroli 4 kali setiap bulan. Dalam sekali jalan, mereka bisa menghabiskan lima hari di lautan. Total 428 warga terlibat dalam patroli pengawasan di kawasan konservasi Kofiau dan 773 warga di Misool.
Tak sekali Russel menghadapi nelayan-nelayan nakal macam La Ode. Hampir setiap patroli, antara 2007 hingga 2011, ia selalu menemukan pelanggaran serupa. Ia menceritakan bagaimana ia harus mengeluarkan senjata tajam dan bom saat memergoki penangkapan ikan secara ilegal.
“Mereka melakukan perlawanan, menghujani kami dengan anak panah,” katanya.
Kepulauan Raja Ampat merupakan salah satu wilayah yang diincar para pemburu hiu. Letaknya yang strategis, di pusat segitiga karang dunia, membuatnya memiliki potensi tinggi keragaman hayati laut. Pelbagai penelitian menunjukkan keragaman spesies ikan dan karang di perairan ini. Potensi ini jadi incaran dan dilirik dan dimanfaatkan oleh nelayan, baik dari dalam Raja Ampat maupun daerah lain.
Secara geografis kawasan Raja Ampat dikategorikan sebagai kawasan rawan ancaman karena memiliki akses terbuka. Para nelayan dari luar Raja Ampat memiliki kebebasan dan melakukan penangkapan ikan di kawasan ini. Mereka berasal dari Pulau Seram, Halmahera, Maluku, Sulawesi, dan Flores. Sementara nelayan internasional umumnya dari Filipina, Taiwan, dan Thailand.
“Raja Ampat memang termasuk wilayah ekstrem penangkapan hiu. Wilayah lain adalah NTT, NTB, kepala burung (Papua bagian barat), dan selatan Jawa yang masyarakatnya gemar makan hiu,” ujar Syarif Hidayat, Dirjen Tangkap Kementerian Kelautan Perikanan, kepada Tirto.
Tak hanya satu-dua kali wilayah ini jadi sasaran para pemburu hiu. Pada 2015, KKP pernah meledakkan sebuah kapal asal Vietnam yang memuat daging, kulit, dan sirip ikan hiu dan pari. Jumlah ikan hiu yang ditangkap oleh kapal bernama KM Thank Cong berbobot 55 tonase kotor (GT) ini ditaksir 700-an ekor, terdiri ikan hiu jenis lontar bintik (42 persen), hiu lontar polos (41 persen), dan hiu zebra (11 persen). Sementara total Ikan pari melebihi 200-an ekor.
Asumsi kerugiannya mencapai Rp700 juta dengan hitungan Rp1 juta untuk sirip ikan hiu seberat 5 kg. Angka ini belum menghitung jenis tangkapan ikan lain.
Perburuan Hiu di Raja Ampat
Populasi hiu di seluruh dunia saat ini menurun karena ketimpangan antara permintaan pasar dan pasokan. Maraknya produk berbahan dasar hiu, termasuk hidangan sirip hiu, ragam kosmetik, serta obat-obatan, membuat predator di puncak rantai makanan ekosistem laur ini makin diburu. Sedikitnya 26-73 juta hiu dibunuh setiap tahun, dan paling banyak cuma untuk diambil siripnya.
Padahal hiu membutuhkan waktu 10 tahun atau lebih untuk tumbuh dewasa secara seksual. Perkembangbiakan mereka juga memakan waktu cukup lama. Sebagai contoh, ikan hiu martil membutuhkan 15 tahun untuk tumbuh dewasa dan berkembang biak. Setiap 1-2 tahun mereka melahirkan 12 sampai 41 hiu muda. Hiu Banteng membutuhkan waktu 15 tahun untuk tumbuh dewasa, dan melahirkan 6-12 hiu muda setiap dua tahun.
Ketika hiu ditangkap dengan intensitas yang sama dengan ikan lain, populasinya akan habis dalam waktu cepat. Hal ini dibenarkan oleh Purwanto, peneliti kemaritiman dari The Nature Conservancy (TNC).
“Bahkan populasi hiu yang sudah di ambang kepunahan kemungkinan tidak akan dapat pulih kembali,” katanya kepada Tirto.
Akibatnya, banyak spesies hiu yang singset lebih dari 75 persen, bahkan dalam beberapa kasus melebihi 90 persen. Dan Indonesia termasuk negara yang turut menyumbang kondisi tersebut.
Dalam setahun, Indonesia dapat menangkap lebih dari 100 ribu ton hiu untuk kebutuhan dunia. Di beberapa wilayah, hiu dijadikan tangkapan sampingan. Misalnya pada kapal tuna, tangkapan hiu bisa mencapai 11 persen.
Beberapa jenis hiu ditangkap karena nilai ekonomisnya tinggi, biasanya hiu-hiu dengan tubuh dan sirip besar. Seperti hiu martil (Sphyrna spp), hiu tikus (Alopias spp), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), hiu tenggiri (Isurus paucus), dan hiu lanjaman (Carcharhinus spp).
“Sekarang, sirip hiu bisa mencapai Rp1 juta - Rp1,5 juta per kilo. Dulu, saat masih marak tahun 2012, ada satu toko di bandara Soekarno-Hatta menjual sirip hiu seharga 1.350 dolar AS,” kata Purwanto.
Berbeda dari aturan penangkapan hiu secara nasional yang berlandaskan CITES, untuk kali pertama di Indonesia, Kabupaten Raja Ampat menjadi wilayah satu-satunya yang menetapkan sebagai wilayah terlarang penangkapan ikan hiu. Wilayah seluas 46 ribu kilometer persegi ini dijadikan kawasan pelindungan hiu dan pari manta lewat penetapan Perda Nomor 9 Tahun 2012.
Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati, menyatakan alasan di balik larangan penangkapan ikan hiu, pari manta, dan jenis-Jenis ikan tertentu di perairan laut kabupaten Raja Ampat. Sebelum diterbitkan perda, pemerintah daerah telah mengawasi meluasnya perburuan hiu di Raja Ampat.
Kondisi ini membuat ekosistem laut di Raja Ampat menjadi kritis sehingga perlu ada tindakan tegas untuk meregenerasi populasi hiu. Lewat perda tersebut, pemburu yang masih nekat menangkap hiu di kawasan Raja Ampat akan dihukum pidana enam bulan atau denda Rp50 juta.
“Hiu termasuk top predator di laut. Kalau jumlahnya berkurang akan mengganggu ekosistem di laut,” kata Umlati kepada Tirto.
Menurut Purwanto, sebagai predator puncak, hiu berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem. Tanpa predator puncak, ekosistem dapat berubah dan menurun tingkat produktivitasnya, bahkan dalam beberapa kasus, ekosistem itu bisa punah karena ketiadaan hiu.
Eksploitasi terhadap hiu dapat menurunkan spesies ikan komersial dan kerang. Termasuk ikan-ikan utama seperti tuna dan spesies ikan penting lain yang menjaga kesehatan terumbu karang. Perubahan pada struktur perikanan atau fungsi dari ekosistem tersebut berdampak pada sektor perikanan lokal.
"Akhirnya juga berdampak pada penghidupan masyarakat," ujar Purwanto.
Hiu sebagai Objek Wisata
Seorang pria bercelana pendek mencelupkan kakinya ke laut. Tangan kirinya memeluk ember. Sejenak ia memandang sekitar, lalu menuangkan isi ember itu dengan cekatan. Cacahan ikan dan sisa-sisa darah meluncur ke dasar pantai.
Sekitar lima menit kemudian hiu-hiu kecil seukuran telapak tangan orang dewasa berdatangan. Mereka berkerumun di pantai itu. Berebut pakan, lantas kembali berpencar setelah tandas.
“Lima tahun lalu enggak ada hiu di pantai. Mereka cuma ada di perairan dalam karena habis diburu,” ujar Andi Dharmawan, atau biasa dipanggil Cagi oleh warga setempat.
Cagi semula pemburu hiu, lantas banting profesi menjadi penjaga hiu di perairan Raja Ampat untuk Pulau Jaam dan sekitarnya—atau kerap disebut Sektor A.
Setelah lima tahun perda berlaku, populasi hiu di Raja Ampat berangsur pulih. Dari pantauan peneliti TNC di dua wilayah Raja Ampat, yakni Misool dan Kofiau, populasi hiu meningkat tajam.
Di Misool, jumlah hiu naik dari di bawah 10 ekor pada 2011 menjadi 30 ekor pada 2013, lalu 60-an ekor pada 2014. Sementara di Kofiau, jumlah hiu naik dari di bawah 20 ekor pada 2011 menjadi 30-an ekor pada 2013, lalu naik 50-an ekor pada 2015.
“Raja Ampat termasuk wilayah yang meregenerasi hiu dalam waktu singkat karena masih punya bibit. Negara lain untuk regenerasi hiu bisa mencapai puluhan tahun karena bibitnya habis semua,” ujar Purwanto.
Pulau Jaam hanyalah salah satu yang menjadi contoh keberasilan penerapan perda pelindungan hiu di Raja Ampat. Kini wisatawan bisa menikmati hiu-hiu kecil di pinggir-pinggir pantai Raja Ampat. Bahkan, bila mujur, para penyelam bisa menemui hiu hanya dalam jarak kedalaman 30-an meter. Hiu-hiu ini pun menjadi daya tarik wisata.
Lantaran itulah, sejumlah riset digelar untuk mengampanyekan bahwa pelindungan hiu "jauh menguntungkan" bagi ekonomi warga setempat ketimbang diburu dan dijual. Sebagai contoh adalah penelitian di Kepulauan Bahama, Afrika Selatan, Palau, Maldives, dan Australia.
Ketika memilih tujuan penyelaman, banyak penyelam menempatkan hiu dan pari manta di urutan pertama sebagai hiburan paling menarik, lebih tinggi dari pemandangan terumbu karang atau penyu.
Keuntungan dari wisata selam dengan hiu disebut-sebut melebihi potensi keuntungan dari penangkapan. Misalnya, rata-rata nilai wisata di setiap wilayah hiu karang abu-abu yang hidup di Maldives sekitar 3.300 dolar AS per tahun, dan nilai ekonominya meningkat 33.500 dolar AS per tahun di lokasi penyelaman terkenal. Di Fiji, 100 hiu di Beqa Lagoon dapat menagguk 30 ribu dolar AS per hiu, atau 3 juta dolar AS per tahun melalui wisata selam.
“Jelas ini jauh melebihi pendapatan dari satu kali menangkap hiu," tegas Purwanto.
======
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fahri Salam