tirto.id - Artikel ini saya awali dengan narasumber yang karena alasan tertentu tak bisa disebutkan namanya. Hendi, tentu saja bukan nama sebenarnya, beberapa kali berinteraksi dengan beberapa orang yang mengamalkan ajaran Aliran Kebatinan Perjalanan yang diilhami Mei Kartawinata, M. Rasyid, dan Sumitra.
“[…] kalau kita mengikuti telapak kaki hewan maka yang akan kita temui hutan belantara, kalau kita mengikuti telapak kaki jalmo kita akan sampai di negara, kalau kita mengikuti telapak kaki manusia maka kita akan bertemu dengan tanah air, dan kalau kita mengikuti sang kuring maka kita akan pulih ka gusti pulang ke asal tinggal sagaraning raos,” tulis laman resmi Aliran Kebatinan Perjalanan.
Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Bandung itu mulanya mengenal mereka lewat aktivitas karya seni yang berkaitan dengan benda pusaka. Pertemuan demi pertemuan membuatnya perlahan memahami apa yang diajarkan koleganya itu.
“Saya bingung cara menjelaskannya, tapi akhirnya menemukan hal-hal yang saya pikir oh memang dari sini ternyata akar saya dan dulu pernah begini,” ujarnya kepada Tirto.
Ia menambahkan, orang-orang yang mengikuti aliran kebatinan tersebut hanya menurunkan hal-hal yang logis kepadanya. Seperti misalnya saat hendak membuat sebuah karya, mesti terlebih dulu melakukan pelbagai hal dengan alasan disesuaikan dengan kondisi tubuh dan bagaimana agar karya tersebut hasilnya baik.
“Tapi ternyata di balik itu punya nilai-nilai spiritual. Jadi itu hal plus yang saya dapat,” imbuhnya.
Ia mengaku bukan penghayat aliran kebatinan tersebut. Jika merujuk pada keterangan yang tertulis dalam laman resminya, warga Aliran Kebatinan Perjalanan ada dua kategori. Pertama, yang telah menyatakan persetujuannya secara lisan dan tulisan dan disebut warga penghayat. Kedua, mereka yang oleh satu dan lain hal belum dapat diterima tetapi sudah menyatakan kesediaannya sebagai warga penghayat, dan disebut prawarga.
Saya menghubungi sekretariat aliran kebatinan ini lewat sambungan telepon pada Rabu (23/1/2019). Mula-mula diangkat oleh seorang perempuan, lalu gagang telepon diberikan kepada perempuan lain.
“Oh, gak tahu ya, saya mah di sini hanya tamu,” ujar suara perempuan kedua saat saya bertanya soal aliran kebatinan ini.
Lalu saya meminta dihubungkan dengan orang penghayat yang barangkali sedang ada di sekretariat. Dan perempuan itu menjawab tidak ada.
“Lagi pada gak ada, beliau [Andri Hernandi, Ketua Umum Dewan Musyawarah Pusat Aliran Kebatinan Perjalanan] juga sedang di luar kota. Maaf ya,” terangnya.
Setelah itu telepon ia tutup dengan terburu-buru.
Pada hari yang sama saya menghubungi Ketua Umum Kapribaden, Suprih Suhartono. Dalam laman resminya, Kapribaden disebut sebagai “sebuah laku spiritual dengan memulai mengenal diri sendiri sebagai manusia. Tujuannya dengan mengenal diri sendiri yang sebenarnya lebih dulu barulah akan bisa mengenal Tuhan Yang Maha Esa (Allah, God Almighty, Gusti Ingkang Moho Suci, atau apapun di sebut-Nya.”
Suhartono menjelaskan, ritual yang utama adalah sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa ketika mau tidur dan bangun tidur.
“Itu yang rutin. Kemudian ada apa-apa dan tidak ada apa-apa. Artinya ketika sedang ada masalah, ada kesulitan, atau apa pun, itu dilakukan dengan sujud,” imbuhnya.
Laku ini, terang Suhartono, bisa dijalankan sejak kecil. Menjadi warga Kapribaden, yang paling muda, biasanya mulai dari usia delapan tahun. Usia anak-anak membuatnya cepat menangkap ajaran dan tidak mudah luntur.
“Bagi kami, usia-usia dini mulai berbicara pun sudah mulai diajarkan tentang keyakinan ini dengan ritual yang terbatas. Sebatas yang bisa ditangkap oleh anak-anak. Misalnya kalau sujud itu menyembah siapa? Ya, menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Seperti itu contohnya,” ucapnya.
Cara sujudnya menurut Suhartono adalah dengan cara kedua tangan menyembah dan menghadap ke mana saja, karena Tuhan ada di masa saja. Dan setiap mau melakukan apa saja diawali dengan hening sesaat.
Saya kemudian menghubungi sekretariat Subud (Susila Budhi Darma).
“Subud merupakan pengakuan terhadap kekuasaan Tuhan, yang meliputi dan menguasai seluruh alam raya, baik yang kasatmata maupun yang gaib. Subud juga merupakan pengalaman tentang faal kekuasaan Tuhan di dalam kepribadian manusia,” tulis laman resminya.
“Mohon maaf, Mas, kami sedang mempersiapkan kongres. Jadi baru bisa dihubungi nanti paling bulan Februari,” jawab seseorang di balik telepon saat saya menghubungi sekretariat Subud.
Minoritas dan Diskriminasi
Aliran kepercayaan, penghayat kebatinan, agama lokal, atau apa pun penamaan yang mengacu kepada keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di luar agama-agama arus utama di negeri ini, jumlahnya tidak diketahui secara pasti.
Namun, menurut riset mandiri yang dilakukan Tirto yang mengacu kepada Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang. Jumlah yang sukar diketahui salah satunya dipicu pelbagai bentuk diskriminasi oleh negara kepada mereka. Kolom KTP pun, sebelum Mahkamah Konstitusi memutuskan, kerap dikosongkan.
Belakangan, bentuk lain dari diskriminasi itu adalah diluncurkannya aplikasi Smart Pakem oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Aplikasi ini dianggap berpotensi memicu persekusi terhadap mereka.
Narasi yang dibangun Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta lewat aplikasi itu adalah pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara dan mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama. Dari sini jelas bahwa negara bukan membantu menyosialisasikan keberadaan mereka, tapi malah sebaliknya. Aplikasi yang bisa diakses luas oleh masyarakat itu justru mendorong pelbagai pelaporan dan persekusi.
Suprih Suhartono selaku Ketua Umum Kapribaden menerangkan, ia dan sejumlah perwakilan Aliran Kepercayaan hadir pada saat pembicaraan awal tentang pembuatan Smart Pakem. Mulanya mereka menyambut positif hal ini karena tujuannya untuk menyosialisasikan keberadaan Kepercayaan terhadap masyarakat luas. Namun, pada saat aplikasinya diluncurkan yang terjadi malah sebaliknya.
“Karena aktualnya seperti itu kami menolak, [ini] tidak sesuai dengan yang dibicarakan di awal. Yang terjadi justru malah bisa memicu konflik di masyarakat. Mereka bisa melaporkan kegiatan kami yang mungkin menurut mereka aneh atau tidak umum,” ucapnya.
Selanjutnya ia dan sejumlah perwakilan Aliran Kepercayaan, LBH, Komnas Perempuan dan lembaga non-pemerintah lainnya mendatangi Kejaksaan Agung untuk menyampaikan keberatan, dan meminta aplikasi itu untuk ditangguhkan.
Antara Klenik dan Kebatinan
Aliran kepercayaan, penghayat kebatinan, agama lokal, dan lain-lain, yang masih hadir sampai hari ini, menurut pengajar Program Studi Sastra Jawa Universitas Indonesia Prapto Yuwono, adalah gambaran tentang penggalian ulang kehidupan masa lampau.
Menurutnya, kebatinan secara umum adalah upaya menyelami kepekaan jiwa, menghayati dunia, dan menghayati kehidupan. Kepekaan ini kemudian menjadi tumpuan dalam konteks kehidupan di dunia.
Saat kehidupan urban yang serba modern semakin menggerus, kepekaan rasa kian terabaikan. Mengasah dunia batin akhirnya jadi tidak populer dalam konteks kehidupan masa kini.
Prapto Yuwono membatasi penjelasannya tentang kebatinan bagi orang Jawa. “Saya tidak tahu kalau di luar suku Jawa, tapi suku Jawa ini aneh. Semakin ke sini menurut saya kok semakin marak. Pemikiran-pemikiran Kejawen mulai diungkap orang-orang yang sudah merasa kenal, sudah merasa tahu, sudah mentok kepada dunia modern,” ungkapnya.
Orang Jawa, imbuhnya mengutip dari Franz Magnis Suseno, semakin menghadapi kebudayaan-kebudayaan asing, justru semakin menjadi Jawa. Ia menambahkan, filsafat Jawa mengatakan bahwa kepekaan adalah muara dari semua kehidupan.
Yuwono mengibaratkannya seperti laut di mana semua aliran sungai menuju kepadanya. Kedalaman dan keluasan jiwa, terangnya, menelan segala persoalan dan pemikiran mana pun.
“Orang Jawa itu soal kebatinan paling percaya diri, meskipun tidak kelihatan. Tetapi saya kira pemikiran-pemikiran ini menjadi muncul kembali karena orang Jawa sudah mulai mentok. Apa sih kehidupan modern? Apa sih kehidupan duniawi? Jadi sekarang sedang melirik, mencari kembali kepada jati dirinya. Saya kira itu. Makanya masyarakat urban Jawa mulai menengok kembali masa lampaunya, mulai mencari-cari, apa itu jati diri? Jati diri ternyata kebatinan,” ungkapnya.
Lebih lanjut Yuwono menjelaskan, jika bagi agama-agama Tuhan itu transenden dan berjarak, dalam kebatinan Tuhan itu imanen—ada dalam diri sendiri.
“Manunggaling kawulo gusti itu imanen. Tuhan ada dalam diri kita. Mencari Tuhan dalam diri sendiri. Maka saat mencari akan bertemu dengan jati diri. Itu puncak dari kebatinan,” ujarnya.
Menurut Yuwono, kebatinan bukan sebuah laku yang mudah. Di dalamnya terdapat sejumlah godaan dari “dunia lain” yang iri kepada manusia sebagai makhluk rasional tapi mencoba menembus ketajaman batin.
“Ada kesalahan yang dituduhkan kepada orang Jawa, yakni identik dengan klenik. Ini justru salah. Tapi memang betul banyak orang Jawa yang salah jalan ke dunia klenik. Ketika mencari ketajaman batin itu godaannya luar biasa. Salah satu rintangannya ‘dunia lain’. Dunia astral yang ingin mengganggu,” imbuhnya.
Editor: Ivan Aulia Ahsan