Menuju konten utama

Eskalasi Politik di Balik Lahirnya Smart Pakem

Kehadiran aplikasi Smart Pakem ditentang sejumlah pihak karena berpotensi meningkatkan intoleransi terhadap kelompok minoritas.

Eskalasi Politik di Balik Lahirnya Smart Pakem
Kondisi setelah terjadinya pengrusakan dan pengusiran 7 Kepala Keluarga penganut Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Kec. Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. FOTO/Doc. JAI

tirto.id - Baru-baru ini Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta meluncurkan aplikasi bernama Smart Pakem. Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan (Pakem) merupakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum (Trantibum).

“Untuk menyelenggarakan giat pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara dan cegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama,” tulis laman resminya.

Informasi yang tersedia pada aplikasi ini ada lima, yakni Keagamaan, Kepercayaan, Ormas, Laporan Masyarakat, Undang-undang, dan Fatwa.

Pada menu “Keagamaan”, terdapat 16 organisasi yang dinilai berpotensi membahayakan masyarakat dan oleh karena itu patut diawasi. Beberapa di antaranya adalah Ahmadiyah (Jakarta Utara), Gafatar (Jakarta Utara), Jamaah An-Nazir (Jakarta Utara), Yayasan Mahdi Syiah (Jakarta Utara), dan Kerajaan Tuhan Eden (Jakarta Pusat). Dari 16 nama yang tercantum, hanya 7 organisasi yang tertulis mempunyai pengikut.

Pada menu “Aliran Kepercayaan”, jumlah organisasi yang tercantum juga berjumlah 16, di antaranya Paguyuban Penghayat Kapribaden (Jakarta Utara), Paguyuban Sumarah (Jakarta Selatan), Himpunan Amanat Rakyat Indonesia (Jakarta Selatan), Mangudi Kawruh Roso Sejati (Jakarta Selatan), dan Organisasi Kebatinan Satuan Rakyat Indonesia “Murni” (Jakarta Selatan). Dari 16 nama organisasi aliran kepercayaan yang tercantum, hanya 2 organisasi yang tertulis mempunyai pengikut.

Sementara menu “Ormas” mencantumkan 11 organisasi, di antaranya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kreatifitas Pemuda Bangsa (Jakarta Barat), Lembaga Pengkajian Keuangan Pemerintah (Jakarta Barat), Barisan Muda Demokrasi Indonesia (Kepulauan Seribu), Lembaga Pengembangan Potensi Pariwisata dan Konservasi Kelautan (Kepulauan Seribu), dan Dewan Pimpinan Wilayah Terminal Aspirasi Jakarta (Kepulauan Seribu). Dari 11 organisasi tersebut, tidak ada satu pun yang tertulis mempunyai pengikut.

Per tanggal 28 November 2018, pukul 12.40, aplikasi Smart Pakem yang tersedia di Google Play baru direspons 13 akun. Sepuluh akun memberikan komentar yang mayoritas menolak aplikasi ini, sementara 3 akun lagi hanya menerakan gambar bintang dengan jumlah yang berbeda.

Akun bernama Akang Roestandi mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap pembuatan Smart Pakem. Menurutnya, aplikasi ini cenderung akan menimbulkan konflik dan berpotensi mendorong masyarakat untuk main hakim sendiri. Aplikasi ini, tambahnya, akan membuat masyarakat seolah-olah telah memiliki legalitas untuk mengawasi kelompok tertentu yang dianggap menyimpang.

“Tugas pengawasan ini adalah tugas para intel dari Bakor Pakem (Bakor Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan), bukan dari kalangan masyarakat awam. Lantas kalau membuat aplikasi ini nantinya kerja Bakor Pakem itu apa?” imbuhnya.

Sementara Akun bernama Andreas Wibowo hanya berkomentar pendek, “Berpotensi menimbulkan fitnah dan kegaduhan.”

Hanya sebuah akun bernama “Pengguna Google” yang berkomentar mendukung aplikasi ini. Menurut akun tersebut, Smart Pakem bagus sebagai benteng dari derasnya penyebaran paham dan aliran sesat di Indonesia.

“Terutama aliran sesat Syiah yang sangat agresif mempersiapkan kader-kadernya untuk melakukan kudeta, seperti yang terjadi di Yaman, kemudian Khawarij teroris seperti Aman Abdurrahman juga sufi ekstrim yang sudah sampai tingkat wihdatul wujud,” tulisnya.

Regulasi Bertabrakan dengan Konstitusi

Menanggapi kehadiran Smart Pakem yang dianggap berpotensi picu intoleransi, Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi menegaskan akar masalahnya ada pada regulasi yang masih bias terhadap keberagaman kepercayaan dan keyakinan.

Regulasi yang dibuat, imbuhnya, bertabrakan dengan prinsip-prinsip konstitusi tentang hak beragama dan hak berkeyakinan. Smart Pakem hanya menambah daftar panjang bias tersebut.

“Sebelum ada aplikasi ini, pengawasan-pengawasan terjadi melalui pelbagai cara. [Misalnya] melalui forum yang dibentuk oleh Bakor Pakem yang melibatkan beberapa organisasi yang dianggap 'pelurus' keagamaan dan seterusnya. Dengan adanya teknologi informasi, dia menambah alat lagi untuk semakin mendiskriminasi kelompok beragama dan kelompok berkeyakinan yang berbeda dengan mayoritas,” ucapnya.

Ia menambahkan, kehadiran Smart Pakem bukan hanya berbahaya terhadap sikap toleransi, tapi juga menunjukkan beberapa regulasi yang berkaitan dengan keragaman keyakinan masih bermasalah.

“Ini harus kita tangani lebih sistematis. Pemerintah sebagai penanggungjawab dan DPR sebagai pembuat regulasi perlu betul-betul mempertimbangkan hal ini karena efek sosialnya akan sangat besar. Ini bisa mempertajam sumber-sumber konflik,” ujar master antropologi lulusan UI itu.

Selain itu, Mujtaba juga tidak setuju dengan penyantuman sejumlah organisasi masyarakat pada aplikasi tersebut. Menurutnya, organisasi seperti Pemuda Pancasila dan organisasi lain yang terdaftar dalam menu “Ormas” bukan merupakan aliran kepercayaan dan keagamaan.

“Saya juga tidak sepakat gebyah-uyah sampai ke Pemuda Pancasila. Karena mereka, walaupun ada beberapa record yang kabarnya cenderung berlaku kekerasan di masyarakat, itu kan bukan masalah keyakinan,” katanya.

Bagi Mujtaba, hal ini tidak relevan dan menunjukkan arah yang tidak jelas.

Eskalasi dan Peran Politik

Dalam catatan Wahid Foundation, seperti disampaikan Mujtaba Hamdi, salah satu faktor penting yang membuat naiknya peristiwa dan tindakan intoleransi di Indonesia adalah pemilihan kepala daerah (pilkada).

“Pemilihan kepala daerah menjadi arena yang memicu atau membuat lingkungan potensial untuk tindakan intoleransi itu meningkat. Terutama di arena perbincangan publik. Ujaran kebencian itu meningkat di saat-saat menjelang pilkada,” ungkapnya.

Pendapat serupa Mujtaba diungkapkan Yendra Budiana, Juru Bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Menurutnya, setiap kali eskalasi politik meningkat, Ahmadiyah selalu menjadi bagian dari komoditas isu yang paling utama.

“Pengalaman kami seperti itu. Maka jauh sebelum aplikasi ini muncul, kami memang sudah menduga dan sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi tahun politik,” ujar Yendra.

Praduga dan pengalaman seperti itu, imbuhnya, terbukti karena dalam tiga bulan ini di pelbagai daerah Ahmadiyah dipanggil oleh Bakor Pakem yang isinya kadang-kadang tidak jelas.

Bagi Ahmadiyah kehadiran aplikasi ini tidak membuat kaget, karena sudah ada gerakan-gerakan sebelumnya, yakni pemanggilan oleh Bakor Pakem, yang begitu aktif dalam dua-tiga bulan terakhir.

“Kami sudah sepuluh tahun berpengalaman. Setiap pilkada di pelbagai daerah, isu Ahmadiyah dijadikan komoditas oleh para petualang politik,” ucapnya.

Ia juga menambahkan, persekusi yang belakangan kerap terjadi justru dilakukan oleh pemerintah daerah lewat sejumlah instrumen perda, daripada oleh masyarakat.

Sikap pemerintah daerah yang seperti itu, termasuk dengan membuat aplikasi Smart Pakem, pada akhirnya menimbulkan pertanyaan dari Ahmadiyah: apakah pemerintah ingin membangun peradaban yang lebih baik, membangun masyarakat Indonesia yang harmoni dalam keberagaman, atau justru malah menimbulkan potensi konflik yang tak berkesudahan.

Infografik Aplikasi smart pakem

Sementara menurut Heru Susetyo, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta agak berlebihan karena pengawasan seharusnya dilakukan intelijen dan tidak perlu menjadi konsumsi publik.

“Pemantauan dan investigasi itu kan sebetulnya ranah intelijen, bukan konsumsi publik. Kalau dibuka ke publik, ini malah cenderung diskriminatif, karena sudah memberikan label tanpa ada proses hukum sebelumnya. [Lagi pula] menyebut orang sesat, menyimpang, itu kan harus ada dalilnya,” tutur Heru.

Masalah lain dari aplikasi Smart Pakem adalah kemungkinan menyeret aliran keagamaan minoritas kepada pasal penodaan agama kian besar. Sementara undang-undang tersebut, menurut Heru, agak kontroversial.

Undang-undang penodaan agama bukan sekadar peraturan hukum, tapi juga ada unsur politis dan ideologis.

“Kalau sekadar hukum sih gampang. [Jika] tidak memenuhi syarat, ya udah lepaskan. Tapi kan [undang-undang ini terkait juga dengan] misalnya kelompok ini mengganggu agama mayoritas, atau dianggap menyinggung umat mayoritas, dan sebagainya,” pungkas Heru.

Baca juga artikel terkait DISKRIMINASI AGAMA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan